FRONT Naskah & Sutradara: Putu Wijaya Produksi: Teater Mandiri Pemain: Alimin Lesasi, Yantho Kribo, Ade Mawar, Warkop Prambors, dll. MENGGABUNGKAN sebuah drama dengan lawakan Prambors, juga breakdance, tidak sama sekali bebas dari ancaman. Dan itulah yang diperbuat Putu Wijaya dengan pementasannya, Front, di Taman Ismail Marzuki, sampai hari Sabtu pekan ini. Ini rasanya bukan sekadar kecenderungan ngepop. Ini lebih memperteguh jenis teater Putu sebagai "hanya tontonan" - yang bisa lebih kelihatan bila dibandingkan dengan teater Arifin C. Noer, atau lebih-lebih Rendra. Ciri itu juga menyata dalam perlakuannya kepada ide cerita. Front, yang dimainkan selama hampir 2,5 jam ini, sebenarnya lahir dari berita mutakhir yang genting: huruhara, pemberontakan, kerusuhan, kudeta, atau semacam itu. Tampaknya ada demonstrasi besar angkatan muda yang merongrong Baginda. Ada pula kaum veteran, yang, dengan memperalat patriotisme mereka, dieksploatasi oleh satu pihak untuk menghadapi keributan itu - dengan risiko mereka sendiri musnah, seperti yang memang dirancangkan. Tapi persoalan menjadi kompleks: Bukan hanya salah seorang "pahlawan" itu punya anak yang berada di pihak demonstran. Tapi ia juga membayar beberapa orang untuk mengobarkan perang: ia berkepentingan menyiapkan jalan bagi si anak ke pucuk kekuasaan, hal yang tak diketahui si anak sendiri, yang dalam kelompoknya justru merupakan suara damai. Untuk membuat alur cerita tak tunggal nada, suara damai juga terdapat di pihak Baginda: sang Pangeran - yang memprotes pembantaian tersembunyi terhadap para pahlawan itu, dan yang anehnya ditolak orang-orang tua itu sendiri, dan yang anehnya juga tak akur bersama unsur damai di kalangan pemuda. Si Pangeran akhirnya dibunuh pihak terakhir itu - pembunuhan yang diam-diam direstui Baginda sendiri. Hanya, bila ia gugur sebagai pahlawan, sang juru damai di kalangan pemuda mati sebagai begundal: ditembak ayahnya sendiri, si veteran, yang merasa harus berbuat - dengan penuh tangis - karena posisinya. Si veteran sendiri dihukum dengan kewajiban bunuh diri. Cerita yang tidak jelek - meski bukan tema yang berdimensi banyak - yang, andai kata memenuhi selera Arifin atau Rendra (yang tak lagi berpentas), boleh dibayangkan akan dihidangkan dengan semacam sikap. Tapi seorang Putu memang tidak bermaksud "bermisi-misi". Semua itu hanya tontonan. Dan justru nawaitu-nya ber-"tontonan" itulah yang menyebabkan penghargaannya kepada cerita tidak lebih tinggi dari kepada bentuk-bentuk dengan segala ingar-bingarnya - hal yang menyebabkan saya, penulis, tidak begitu memahami cerita kecuali setelah membaca naskahnya. Putu barangkali berargumen: memang bukan cerita yang paling penting. Lihatlah panggung - yang memang tak jelek. Di tengah setting Roedjito - yang selama ini memang susah dicari kelemahannya - para pemain bergerak dalam kostum penuh kain yang di sana-sini bermotif Bali, kompak dengan warna lingkungan yang cenderung berat. Masuknya Warkop Prambors di tengah pertunjukan benar-benar mulus. Diselipkan dari awal sebagai awak produksi (crew) TV dengan kamera-kameranya, di tengah berbagai dialog yang tangkas dan sembrono, mereka tak menyebabkan suasana robek ketika diberi session kocak tersendiri. Berbeda dari penampilan anak-anak remaja breakdance, yang kehadirannya justru kurang alasan - setidak-tidaknya sikap mereka yang, sebagai pemain, teramat mentah. Dan lebih-lebih dimasukkannya tokoh Korban yang berlogat Cina (di situ disebut "orang asing"), yang, meski barangkali bisa klop dengan "situasi di luar pentas", terasa dipakai sebagai pencari efek yang murah. Yang bagus, selain segi seni rupa (termasuk warna-warni tujuh buah ondel-ondel di bagian penutup), adalah kekompakan progresi yang terutama didukung tempo, yang justru dibikin lambat tapi dengan tegangan tinggi. Bahayanya: penggunaan suara model teriakan sejak awal (sebagian pemain sudah menjerit-jerit hampir tanpa bunyi, pada malam kedua) untuk menghindari kekenduran, pada struktur lakon yang klimaksnya - kalaupun ada - terserak-serak, menyebabkan Front justru tak punya dinamika dan ritme - kecuali oleh selingan Prambors. Padahal Harry Roesli sudah menjalankan fungsinya dengan bagus: bagai dalam lenong memberi aksentuasi pada pengucapan dialog, dan di satu dua tempat mengangkat pergantian adegan dengan semacam keagungan yang mengarah pada dimensi lebih. TAK hanya saya, saya kira, yang merasa penat. Ketika sebuah tontonan yang tidak jelek tak punya cukup daya terkam, ketika semata-mata bentuk visual ternyata - dan memang begitu - tak cukup memukau tanpa bayangan lindap di belakangnya, orang pun boleh merasa ada sesuatu yang disia-siakan. Dan itulah tema itulah cerita. Dan itulah bedanya Front misalnya - dari pertunjukan Arifin terakhir, Interogasi, yang tampak menyibak hiruk-pikuk panggung justru untuk memberi tekanan pada temanya yang obsesional: pergulatan Arifin miskin dan Arifin kaya. Bahkan pertunjukan Putu sebelum ini, Za dan Tai, misalnya, setidak-tidaknya punya bobot tema yang antep. Ini mungkin bukan pertanyaan Putu Benarkah sebuah "teater tontonan" haru bukan cerita? Syu'bah Asa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini