Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berita Tempo Plus

Mengkritik Manusia ala Iwan Suastika

Upaya Iwan Suastika menggarap ruang artistik nan liar lewat corak visual surealistik.

 

27 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Patung berjudul "The Mortal" dalam pameran tunggal Iwan Suastika bertajuk "The Man Who Carried a Mountain" di D Gallerie, Jakarta, 16 Agustus 2023. Karya ini berbahan resin, brass, dan alumunium dengan dimensi 100x200x90 cm. TEMPO/ Indra Wijaya
Perbesar
Patung berjudul "The Mortal" dalam pameran tunggal Iwan Suastika bertajuk "The Man Who Carried a Mountain" di D Gallerie, Jakarta, 16 Agustus 2023. Karya ini berbahan resin, brass, dan alumunium dengan dimensi 100x200x90 cm. TEMPO/ Indra Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Perupa Iwan Suastika menggelar pameran tunggal bertajuk The Man Who Carried a Mountain di D Gallerie, Jakarta.

  • Dalam pameran tersebut, perupa berusia 30 tahun itu mengekspos tentang sosok astronaut. 

  • Sebagai perupa, Iwan merasa bertanggung jawab mengajak manusia merenung atas kerusakan lingkungan yang semakin buruk.

Sebuah patung setinggi orang dewasa berdiri gagah di tengah ruang pameran D Gallerie, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Patung yang terbuat dari resin, brass, dan aluminium itu berbentuk laki-laki yang mengenakan jaket dan celana panjang berkelir jingga dengan aksen karet di pinggang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sepintas, patung ini mirip karakter anime Uzumaki Naruto. Tapi, bedanya, patung ini memakai helm pelindung yang mirip helm astronaut, bahkan mirip juga dengan helm yang sering dipakai penyelam skuba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kesan mengerikan tampak dari benda mirip sabuk juara tinju yang dipasang di depan perut. Terdapat gambar tengkorak dan dua tulang saling menyilang pada sabuk tersebut. Pada tangan kanan patung terdapat sebuah pena raksasa dengan bagian pangkalnya terbakar. Adapun tangan kirinya seperti memegang miniatur gunung berapi yang sedang meletus. Hebatnya lagi, patung ini dibuat berdiri di atas buku besar. Terdapat aksen cipratan air di atas lembar buku tersebut. 

Patung tersebut berjudul The Mortal dan menjadi bagian dari puluhan karya perupa asal Yogyakarta, Iwan Suastika. Ya, seniman berusia 30 tahun itu sedang menggelar pameran tunggal bertajuk “The Man who Carried a Mountain” sejak 12 Agustus lalu hingga 12 September nanti.

Uniknya, tepat di belakang patung terdapat lukisan besar berukuran 170 x 200 sentimeter dengan gambar manusia berhelm astronaut yang mirip patung tersebut. Judul karya lukisnya pun sama, The Mortal

Bedanya, dalam lukisan itu, sosok astronaut digambarkan sedang menggendong miniatur rumah, kasur lawas yang berbahan kapuk, tong air, hingga jagung. Sosok astronaut itu juga dilukis berdiri di tengah hutan dengan seekor harimau yang tidur melingkar di sekitar kaki sang astronaut.

Menurut Iwan, lukisan tersebut menggambarkan manusia yang menjadi makhluk yang paling dominan di alam. Bahkan harimau yang gagah perkasa bergelar raja rimba pun tak akan menyaingi manusia, khususnya dalam hal kecerdasan

Mirisnya, di tengah pemandangan hutan yang lebat, tersimpan sindiran bahwa alam yang begitu indah itu semakin sulit ditinggali lantaran tingginya ego manusia merusak lingkungan. Seakan-akan manusia hanya berpikir dirinyalah yang hidup di alam semesta ini. 

Lukisan berjudul "Billion Dollar Man and The Mad Mas Era" dalam pameran tunggal Iwan Suastika bertajuk "The Man Who Carried a Mountain" di D Gallerie, Jakarta, 16 Agustus 2023. Karya ini berbahan cat akrilik di atas kanvas dengan ukuran 200x300 cm. TEMPO/ Indra Wijaya

Di sudut lain ruang pameran, terpasang lukisan besar lain yang berukuran 200 x 300 sentimeter. Lagi-lagi sosok manusia berhelm astronaut sedang duduk santai di sebuah ruangan yang mirip perpustakaan.

Tokoh astronaut itu digambarkan sedang membaca sebuah buku. Di sekitarnya terdapat beberapa hewan tak wajar, seperti singa, burung hantu, anak domba, bahkan ikan yang beterbangan di dalam ruangan. Selain itu, terdapat lembaran uang dan batang emas berserak di lantai. 

Lagi-lagi isu kerusakan lingkungan masih menjadi tema dalam lukisan ini. Iwan menggambarkan alam yang semakin rusak membuat manusia tak bisa pergi ke mana-mana. Meski punya harta melimpah dan bisa hidup abadi sekalipun, ia tidak akan bisa beranjak dari rumahnya. 

Ada pula lukisan karya Iwan Suastika berjudul In Love and War yang menggambarkan sepasang kekasih sedang berdansa. Lagi-lagi kedua figur lukisan itu memakai helm astronaut. Sosok pria dilukis memakai setelan jas berkelir merah, sedangkan yang perempuan memakai gaun biru. 

Uniknya, sembari berdansa, masing-masing menggenggam sebuah pistol flintlock. Adapun di sekitar sepasang kekasih itu terdapat beberapa ikan koi beraneka warna yang berenang bebas. Ada pula planet Mars, Venus, dan Saturnus yang ikut melayang-layang di sekitar kedua penari. 

Menurut Iwan, lukisan ini menunjukkan sifat manusia yang bertentangan. Manusia mengklaim mencintai lingkungan, tapi di sisi lain mereka menciptakan perang dan kehancuran alam dari senjata yang mereka buat sendiri. 

Iwan Suastika mengatakan pameran “The Man who Carried a Mountain” dibuat sebagai ikhtiar menampilkan sudut pandang lain dan refleksi dirinya sendiri sebagai manusia. Iwan ingin menyampaikan pesan bahwa manusia harus membuka kesadaran bahwa semua tindakannya terhadap alam akan diwariskan kepada generasi mendatang. 

Menurut dia, sejatinya manusia tidak bisa mengukur seberapa parah kerusakan lingkungan yang kini sudah terjadi. Alam punya sudut pandang dan cara ukur kerusakan yang terjadi pada dirinya sendiri. Sebab, pada dasarnya, alam punya kemampuan mengendalikan dirinya sendiri. 

Bahkan, menurut Iwan, jika melihat mundur ke masa lalu, alam semesta sudah punya pola sendiri. Alam mampu menghancurkan dirinya sendiri, menyembuhkan dirinya sendiri, kemudian menyusun dirinya lagi. “Dalam sejarahnya, manusia selalu berupaya mengakali pola tersebut hingga lahir peradaban yang terus berkembang, menjadikan manusia bisa bertahan sampai sekarang.”

Lukisan berjudul "Battle of Mind" dalam pameran tunggal Iwan Suastika bertajuk "The Man Who Carried a Mountain" di D Gallerie, Jakarta, 16 Agustus 2023. Karya ini berbahan cat akrilik di atas kanvas dengan ukuran 150x120 cm. TEMPO/ Indra Wijaya

Adapun tokoh astronaut memang diakui Iwan sebagai salah satu ciri khas karyanya. Iwan bercerita, sosok astronaut itu muncul pertama kali dalam lukisan di atas kanvas pada 2018-2019. Saat itu hanya sesekali Iwan melukis sosok manusia dengan helm astronaut atau penyelam skuba. Namun, sejak 2020, ia semakin sering memunculkan sosok astronaut tersebut. “Ditandai dalam pameran tunggal saya yang pertama, berjudul Reflection in Period,” kata Iwan. 

Mulanya, Iwan hanya ingin membuat simbol manusia dengan pakaian khusus yang mampu beradaptasi dengan situasi atau keadaan di luar kemampuan manusia. Namun sosok tersebut tetap digambarkan sebagai lazimnya astronaut yang punya mimpi dan ambisi tinggi. 

Soal lingkungan hidup yang kerap ia bawa, menurut Iwan, sejatinya seniman atau perupa punya andil sendiri dalam isu tersebut. Iwan yakin seni adalah sesuatu yang mampu menyentuh jiwa manusia. Adapun jiwa manusia bisa menggerakkan pikiran yang berujung pada munculnya beragam gagasan yang memicu berbagai perbuatan dan kebudayaan manusia.

Selain itu, seniman bisa memberikan pilihan sudut pandang yang berbeda dalam melihat sebuah peristiwa. Seniman juga mampu memberikan pertanyaan yang memang perlu untuk direnungkan manusia. “Memberi nilai pada setiap era dan sering kali karyanya mengandung sejarah dan pengetahuan,” kata Iwan. 

Pengunjung menghadiri pameran tunggal Iwan Suastika bertajuk "The Man Who Carried a Mountain" di D Gallerie, Jakarta, 16 Agustus 2023. TEMPO/ Indra Wijaya

Iwan Suastika lahir di Yogyakarta pada 1992. Ia menempuh studi formal seni desain komunikasi visual grafis di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Iwan menerima penghargaan Silver Award oleh UOB Painting of the Year pada 2014. Pameran “The Man who Carried a Mountain” merupakan pameran tunggal keduanya setelah pameran sebelumnya bertajuk “Reflection in Period di Yogyakarta” pada 2021. 

Kurator pameran, Ignatia Nilu, mengatakan, sebagai perupa, Iwan sedang menggarap ruang artistik nan liar lewat narasi dan corak visual yang surealistik. Walhasil, kanvas menjadi mantra semesta atas mimpi dan harapannya atas dunia yang lebih baik. 

Karya-karya Iwan, Ignatia melanjutkan, merupakan bukti bahwa sang perupa sedang mengungkapkan kesadaran dan kekhawatirannya atas pergeseran berbagai nilai pada masa sekarang. Khususnya nilai dan metode edukasi dalam memahami kehidupan, terutama babak baru yang berpengaruh besar terhadap cetak biru manusia masa depan. 

“Iwan ingin menggambarkan keadaan sekitar yang dilihat dan dialaminya melalui banyak idiom, simbol, dan metafora. Termasuk narasi identitas serta imajinasi yang terjadi sehari-hari.”

INDRA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Indra Wijaya

Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus