Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mengungkap kehidupan pribadi HB X

Pengarang : majalah tempo jakarta : pustaka utama grafiti, 1988 resensi oleh : atmakusumah.

11 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SRI SULTAN Hari-hari Hamengku Buwono IX Oleh: Majalah Tempo Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1988, 188 halaman KEMATIAN Sri Sultan Elamengku Buwono IX lima bulan yang lalu telah mendorong beberapa penerbit untuk secara tergesa-gesa memproduksi sejumlah buku atau buklet tentang raja Jawa dan pemimpin nasional dari Yogyakarta itu. Ini bukanlah gejala yang tidak biasa terjadi pada akhir hayat seorang pemimpin yang sepopuler HB IX. Tetapi yang tidak sering terjadi ialah daya serap yang demikian besar dari khalayak pembaca, yang dalam waktu relatif amat singkat telah menempatkan buku-buku tentang HB IX dalam daftar bacaan paling laris. Daya serap demikian biasanya mengikuti penerbitan-penerbitan mengenai tokoh atau permasalahan kontroversial. Tetapi HB IX bukanlah pemimpin kontroversial. Buku Sri Sultan, umpamanya, terbit dan beredar hanya 40 hari setelah HB IX meninggal -- suatu hasil kerja yang luar biasa cepatnya. Kurang dari sebulan setelah diterbitkan, suatu hasil penelitian yang dimuat di harian Belanda NRC Handelsblad 3 Desember 1988 mendaftarkan Sri Sultan sebagai buku terlaris nomor 6 di Indonesia (TEMPO 11 Februari 1989). Hasil penelitian itu pun menempatkan Tahta Untuk Rakyat, Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, yang pertama terbit pada 1982, pada urutan ke-3 buku terlaris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa khalayak tidak dapat dipuaskan hanya oleh laporan dan tulisan pers sekalipun dilancarkan secara panjang-lebar setiap hari selama berminggu-minggu sejak HB IX meninggal. Peristiwa ini telah menaikkan sirkulasi beberapa surat kabar nasional dan daerah. Gejala apakah ini? Pendapat R. William Liddle, profesor ilmu politik Universitas Ohio, AS, agaknya mewakili pikiran banyak orang ketika ia mengatakan, "Sejak awal abad ini, ratusan juta orang Indonesia telah mengalami baik dan buruknya 'melayang antara dua dunia': asing dan asli, modern dan tradisional. Aspirasi baru terasa bersaing dengan nilai-nilai lama. Keharusan memilih antara kedua-duanya sering merupakan beban psikologis yang berat." "Selama dasawarsa 70-an dan 80-an," kata Liddle lebih lanjut, "keraguan dan kecemasan tentang hal ini makin meluas dan mendalam." HB IX, katanya, "merupakan semacam 'bukti hidup' bagi masyarakat Indonesia (setidak-tidaknya masyarakat Jawa, tetapi saya kira lebih dari itu) bahwa sifat-sifat yang baik dari dunia modern dan tradisional bisa dipadukan atau dikembangkan sekaligus dalam satu orang" (Kompas 11 Februari 1989). Walaupun demikian, barangkali banyak orang hanya dapat merasakan tetapi kurang bisa memahami sikap dan pendirian HB IX. Orang tidak sukar merasakan kehadirannya karena hampir setengah abad HB IX tak putus-putusnya mengabdikan diri pada segala rupa bidang kegiatan, di dalam atau di luar pemerintahan daerah dan nasional. Tindakan dan pengorbanannya selama masa perang kemerdekaan menimbulkan renungan di sebagian orang: Bagaimana jadinya Republik ini seandainya tidak ada HB IX? Karena itu, kedudukannya barangkali dapat disejajarkan dengan Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sudirman sebagai the founding fathers negeri ini. Lebih sulit daripada merasakan kehadirannya adalah memahami sikap dan pendiriannya. Ia bukanlah seorang penulis seperti Soekarno dan Hatta walaupun ia memiliki catatan harian seperti yang sepintas lalu diungkapkan dalam buku Sri Sutan. Ia jauh dari seorang orator. Pidatonya bisa "kurang begitu memikat". Usaha memahami HB IX telah dilakukan oleh para penyusun Tahta Untuk akyat, biografi HB IX agak lengkap -- dan terutama berdasarkan wawancara dengan HB IX sendiri -- yang pertama kali dapat diterbitkan. Tetapi, menghadapi sosok yang "lebih suka diam dan mendengarkan", agaknya tetap menyulitkan para penyusun untuk mengungkapkan letih dari apa yang dapat disajikan dalam buku itu. Sri Sultan, Hari-hari Hamengku Buwono IX, yang dikerjakan oleh lebih dari 50 staf TEMPO, karena itu, merupakan salah satu dokumen penting dan agak langka untuk memahami "raja demokratis" ini. Tidak sedikit di antara bagian riwayat hidup HB IX dalam buku ini sebenarnya merupakan kutipan dari Tahta Untuk Rakyat. Tetapi rincian baru, berkat wawancara dengan sumber-sumber yang dekat dengan almarhum, lebih melengkapi apa yang selama ini sudah diketahui umum. Buku ini pun lebih menukik lagi ke dalam kehidupan pribadi HB IX dengan mengungkapkan hubungannya dengan kelima istri dan ke-22 putra-putrinya, suatu hal yang baru akhir-akhir ini saja sering dibicarakan dalam penerbitan pers. Sebagai hasil kerja yang dikejar jadwal terbit yang ketat, buku ini tak lepas dari berbagai salah cetak dan beberapa kesalahan yang pasti diakibatkan oleh ketergesaan. Di halaman 177, misalnya, disebutkan bahwa Sultan HB IX dilantik oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 18 Maret 1940. Padahal, penobatan dilakukan oleh Gubernur Yogyakarta Lucien Adam, yang sebelumnya telah mengadakan perundingan politik dengan HB IX selama empat bulan sebagai syarat bagi pengangkatannya sebagai sultan. Nama Hamengku Buwono kadang-kadang tertulis dalam buku ini dengan satu kata: Hamengkubuwono. Almarhum sendiri menghendaki ditulis dengan dua kata, seperti juga pada Hamengku Negoro, gelarnya sebagai putra mahkota. Ditulis dengan gaya jurnalistik populer untuk pembaca umum, buku ini jelas tidak dimaksudkan untuk memberikan jawaban analitis atas berbagai pertanyaan tentang peranan politik HB IX selama ikut mengendalikan pemerintahan nasional. Ini merupakan karya reportase pers yang dialihkan ke dalam bentuk buku. Tetapi, suatu reportase terinci yang berusaha menempatkan HB IX dalam konteks sejarah nasional dan Kerajaan Mataram.Atmakusumah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum