Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Opa di akhir tahun

Drama opa karangan rahman arge yang dipentaskan di ujung pandang terasa kurang mantap karena persiapan kurang matang. wali kota ujung pandang d. patompo akan berjanji memperbaikinya tahun depan.

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA jam sebelum tahun 1975 berakhir, berakhir pulalah pertunjukan drama Opa karangan Rahman Arg yang disutradarainya sendiri. Pementasan yang disaksikan oleh sejumlah terbatas peminat di Ujung Pandang itu tidak bisa dikatakan berlangsung dengan tenteram. Pada jam-jam itu berdentuman petasan serta gemuruh suara motor yang terasa berebutan menyambut tahun baru, hanya beberapa meter dari pentas arena di Balai Wartawan di tepi pantai Ujung Pandang. Kemungkinan Lain Suka cita penonton dengan demikian tidak seluruhnya bersumber pada lelucon Rahman Arge. "Ada faktor surprise", kata M Ramto, anggota Dewan Kesenian di kota itu. Sepanjang ingatan orang, karangan-karangan Arge -- yang bergiat teater sejak tahun limapuluhan -- senantiasa dihubungkan dengan kerut kening. Nah, mereka yang siap untuk serius itulah yang mendapat suguhan lain dari ketua Dewan Kesenian Makassar itu. Arge ikut "absurd"? "Saya tidak tahu pasti. Barangkali hanya semacam minat untuk mencari kemungkinan-kemungkinan lain", jawabnya. Ceritanya sederhana. Seorang lelaki tua tidak tahu kapan lahirnya -- satu-satunya yang ia ingat adalah keterangan ayahnya bahwa ia lahir beberapa saat sebelum tahun baru muncul. Lelaki yang kemudian kaya dan mempunyai banyak anak cucu itu kemudian menghilang bersama tiga orang pembantunya yang setia. Tapi pada akhirnya semua keturunan dan bekas temannya tahu tempatnya bersembunyi: di sebuah gua. Dan orang banyak itu berdatangan ke sana setelah tahu bahwa lelaki tua itu di gua bersama sejumlah harta karun. Ulang tahunnya yang selalu berlangsung dalam sepi. malam itu mendadak jadi ramai. Sudah tentu terjadi berbagai cara untuk ikut kebagian harta tak terkira itu. Tapi yang ditinggalkan oleh lelaki tua itu -- si Opa -- cuma secarik kertas 'Dan alangkah kejamnya harapan . . . " (kalimat pendek itu memang kutipan dari sajak penyair Perancis, Apollinaire) Bukan cuma di akhir cerita munculnya nama dan tokoh asing. Pada berbagai bagian drama ini para penonton bisa bertemu dengan nama-nama yang kini lagi populer di dunia ketiga. Ada misalnya nama Gunnar Myrdal, yang nampaknya dilibatkan penulis bukan saja untuk memamerkan bacaannya, tapi sembari mengejek mereka yang suka "mencampur-campur". Bisa dibayangkan bahwa yang akhirnya menikmati lelucon macam ini hanya mereka yang suka sibuk diskusi. Drama ini didukung oleh hampir semua grup teater di Ujung Pandang. Yang paling menonjol tentulah tingkah para pemain yang tidak hapal dialog. "Waktu cuma 5 hari, naskah belum ada, aktor-aktor baru dicari", begitu pleidoi pengarang terhadap pertunjukannya yang merupakan bagian dari "Kenduri Seni" akhir tahun DKM (acaranya meliputi: pembacaan puisi, ceramah film, pameran lukisan, pagelaran tari dan diskusi novel). Tidak kehabisan akal, pemain yang jumlahnya sudah banyak itu ditambah saja dengan seorang tokoh "pembisik" yang hadir di tengah arena, naskah di tangan dengan tugas meneriakkan dialog-dialog kepada pemain yang masih belum hapal. Hal itu lumayan juga memancing ketawa. "Tapi mtuk pementasan di Jakarta nanti, cara santai ini tidak akan kita ulangi", kata Arge pula. Mau Main Di Mana? Yang barangkali harus dipertahankan adalah para pemainnya. Anggota berbagai grup teater itu memang merupakan modal potensiil. "Tapi tidak banyak kesempatan main bagi anak-anak muda yang bersemangat tinggi itu", kata Husni Djamaluddin, anggota DKM. "Mau main di mana? Pentas tak ada, dan uang pun tidak selalu cukup untuk menyewa Balai Wartawan", kata Fahmi yang turun main dalam Opa. Untunglah menjelang akhir masa tugasnya sebagai Wali Kota Ujung Pandang, Haji Daeng Patompo, ada juga menyadari kekurangan itu. "Akhir tahun nanti sudah akan beres". kata Patompo di malam tahun baru yang lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus