DUA jam sebelum tahun 1975 berakhir, berakhir pulalah
pertunjukan drama Opa karangan Rahman Arg yang disutradarainya
sendiri. Pementasan yang disaksikan oleh sejumlah terbatas
peminat di Ujung Pandang itu tidak bisa dikatakan berlangsung
dengan tenteram. Pada jam-jam itu berdentuman petasan serta
gemuruh suara motor yang terasa berebutan menyambut tahun baru,
hanya beberapa meter dari pentas arena di Balai Wartawan di tepi
pantai Ujung Pandang.
Kemungkinan Lain
Suka cita penonton dengan demikian tidak seluruhnya bersumber
pada lelucon Rahman Arge. "Ada faktor surprise", kata M Ramto,
anggota Dewan Kesenian di kota itu. Sepanjang ingatan orang,
karangan-karangan Arge -- yang bergiat teater sejak tahun
limapuluhan -- senantiasa dihubungkan dengan kerut kening. Nah,
mereka yang siap untuk serius itulah yang mendapat suguhan lain
dari ketua Dewan Kesenian Makassar itu. Arge ikut "absurd"?
"Saya tidak tahu pasti. Barangkali hanya semacam minat untuk
mencari kemungkinan-kemungkinan lain", jawabnya.
Ceritanya sederhana. Seorang lelaki tua tidak tahu kapan
lahirnya -- satu-satunya yang ia ingat adalah keterangan ayahnya
bahwa ia lahir beberapa saat sebelum tahun baru muncul. Lelaki
yang kemudian kaya dan mempunyai banyak anak cucu itu kemudian
menghilang bersama tiga orang pembantunya yang setia. Tapi pada
akhirnya semua keturunan dan bekas temannya tahu tempatnya
bersembunyi: di sebuah gua. Dan orang banyak itu berdatangan ke
sana setelah tahu bahwa lelaki tua itu di gua bersama sejumlah
harta karun. Ulang tahunnya yang selalu berlangsung dalam sepi.
malam itu mendadak jadi ramai. Sudah tentu terjadi berbagai cara
untuk ikut kebagian harta tak terkira itu. Tapi yang
ditinggalkan oleh lelaki tua itu -- si Opa -- cuma secarik
kertas 'Dan alangkah kejamnya harapan . . . " (kalimat pendek
itu memang kutipan dari sajak penyair Perancis, Apollinaire)
Bukan cuma di akhir cerita munculnya nama dan tokoh asing.
Pada berbagai bagian drama ini para penonton bisa bertemu dengan
nama-nama yang kini lagi populer di dunia ketiga. Ada misalnya
nama Gunnar Myrdal, yang nampaknya dilibatkan penulis bukan saja
untuk memamerkan bacaannya, tapi sembari mengejek mereka yang
suka "mencampur-campur". Bisa dibayangkan bahwa yang akhirnya
menikmati lelucon macam ini hanya mereka yang suka sibuk
diskusi.
Drama ini didukung oleh hampir semua grup teater di Ujung
Pandang. Yang paling menonjol tentulah tingkah para pemain yang
tidak hapal dialog. "Waktu cuma 5 hari, naskah belum ada,
aktor-aktor baru dicari", begitu pleidoi pengarang terhadap
pertunjukannya yang merupakan bagian dari "Kenduri Seni" akhir
tahun DKM (acaranya meliputi: pembacaan puisi, ceramah film,
pameran lukisan, pagelaran tari dan diskusi novel). Tidak
kehabisan akal, pemain yang jumlahnya sudah banyak itu ditambah
saja dengan seorang tokoh "pembisik" yang hadir di tengah arena,
naskah di tangan dengan tugas meneriakkan dialog-dialog kepada
pemain yang masih belum hapal. Hal itu lumayan juga memancing
ketawa. "Tapi mtuk pementasan di Jakarta nanti, cara santai ini
tidak akan kita ulangi", kata Arge pula.
Mau Main Di Mana?
Yang barangkali harus dipertahankan adalah para pemainnya.
Anggota berbagai grup teater itu memang merupakan modal
potensiil. "Tapi tidak banyak kesempatan main bagi anak-anak
muda yang bersemangat tinggi itu", kata Husni Djamaluddin,
anggota DKM. "Mau main di mana? Pentas tak ada, dan uang pun
tidak selalu cukup untuk menyewa Balai Wartawan", kata Fahmi
yang turun main dalam Opa. Untunglah menjelang akhir masa
tugasnya sebagai Wali Kota Ujung Pandang, Haji Daeng Patompo,
ada juga menyadari kekurangan itu. "Akhir tahun nanti sudah akan
beres". kata Patompo di malam tahun baru yang lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini