Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia menelurkan buku tentang sejarah dan perkembangan cerita horor Indonesia.
Cerita horor Indonesia yang beragam dianggap sebagai modal besar untuk dikembangkan menjadi karya sastra.
Cerita horor sudah tersaji di Nusantara lewat cerita Mahabarata.
KISAH horor sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Keberagaman suku dan budaya membuat cerita-cerita horor di Indonesia bak kitab tebal. Cerita-cerita berbau seram itu diturunkan dari generasi ke generasi lewat tulisan hingga tuturan. Dari dongeng asal-muasal suatu tempat, mitos larangan ataupun kewajiban perilaku, sampai sosok gaib hantu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meluncurkan buku berjudul Sastra Horor yang membedah sejarah dan perkembangan cerita horor di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekilas, buku setebal 1.052 halaman atau 6 sentimeter ini mampu menjadi gambaran nyata betapa kaya dan dalam cerita horor di Indonesia. Buku ini dikerjakan secara keroyokan oleh puluhan anggota HISKI serta terdiri atas 45 tulisan yang terbagi dalam lima subbab. Kelima subbab tersebut adalah horor dalam ritual, horor dalam sastra modern, etnografi horor, horor dalam mantra dan manuskrip, serta horor dalam industri kreatif.
Ketua Umum HISKI Pusat Novi Anoegrajekti mengatakan buku Sastra Horor merupakan hasil riset dan pengkajian beragam gejala horor yang dihidupi masyarakat dari berbagai wilayah di Indonesia. Di dalamnya termasuk lokasi, bangunan, roh halus, dan beragam peristiwa sejarah, serta bermacam peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Novi, yang menjadi penulis sekaligus editor Sastra Horor, mencontohkan subbab horor dalam ritual. Dalam tulisannya, ia menjelaskan tradisi seblang yang dilakukan dua desa, Bakungan dan Olehsari, di Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur.
Buku Sastra Horor. TEMPO/M Taufan Rengganis
Tradisi seblang merupakan ritual bersih desa dan tolak bala yang dilakukan sejak 1930. Ritual ini sekilas mirip tradisi sintren di Banyumas dan Cirebon. Tradisi seblang di Desa Olehsari digelar sepekan setelah Idul Fitri dan dilakukan penari perempuan yang masih perawan. Sedangkan seblang di Desa Bakungan dilaksanakan sepekan setelah Idul Adha dan dilakukan penari perempuan tua yang sudah menopause.
Novi mengatakan, pada 2011, warga Desa Bakungan pernah mengubah rangkaian ritual seblang, di antaranya dengan meniadakan atraksi adu ayam karena agama Islam mengharamkannya. "Terlebih ada unsur judi di balik adu ayam itu," kata Novi kepada Tempo dalam acara peluncuran buku Sastra Horor, Selasa, 23 April lalu.
Warga mengganti ayam dalam atraksi tersebut dengan patung ayam. Namun, setelah ritual seblang selesai, warga Desa Bakungan justru merasa tak aman lantaran sejumlah anggota panitia acara meninggal tidak wajar. Menurut Novi, sebagian warga desa percaya ada efek buruk penghapusan adu ayam dalam ritual seblang.
Walhasil, warga desa memutuskan mengembalikan prosesi adu ayam sungguhan dalam tradisi seblang pada tahun berikutnya. "Ritual ini bagian dari tradisi lisan. Dalam ritual itu ada mantra, kidung, nyanyian, dan narasi. Itu bagian dari sastra karena termasuk tradisi lisan."
Selain tentang ritual seblang, ada tulisan tiga dosen Universitas Sriwijaya: Nurhayati, Latifah Ratnawati, dan Emilia Sucini. Mereka membahas ritual mistis dalam perang ketupat yang menjadi tradisi tahunan masyarakat Tempilang, Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung. Masih pada subbab horor dalam ritual, ada pula tulisan tentang upacara bersih desa yang dilakukan di Telaga Rambut Monte, Desa Krisik, Kecamatan Gandusari, Blitar, Jawa Timur. Artikel tersebut ditulis Dwi Sulistyorini dari Universitas Negeri Malang.
Suasana Bedah Buku “Sastra Horor” di Gedung Widya Graha BRIN, Jakarta, 23 April 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Ada pula subbab horor dalam sastra modern yang terdiri atas beberapa tulisan yang mengkaji novel hingga cerpen horor karangan sejumlah penulis. Sedangkan pada subbab etnografi sastra, sejumlah penulis membedah beberapa mitos tentang hantu. Di antaranya hantu yang bergentayangan di perkebunan tebu Besuki Ujung di Tulungagung, Jawa Timur; legenda hantu pok-pok di Minahasa, Sulawesi Utara; sampai legenda persemayaman arwah etnik Lio Ende di Danau Kelimutu, Nusa Tenggara Timur.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Sudibyo, mengatakan horor sudah ada dalam sastra Nusantara sejak abad 12. Salah satunya terdapat dalam cerita klasik Mahabarata, tepatnya pada sebuah cerita pembunuhan Dursasana. Dalam perang besar Pandawa dan Kurawa, Dursasana dibunuh secara mengerikan oleh Bima. Tubuh Dursasana dipotong-potong menjadi lima bagian dan darahnya diminum Bima. "Cerita peristiwa kematian ini sangat mengerikan, membuat orang ketakutan membayangkannya," ujarnya.
Lalu ada pula cerita teks di Bali pada abad ke-16 tentang Calon Arang yang marah besar karena tak ada satu pria pun yang bersedia meminang putrinya. Calon Arang menggelar upacara pujian kepada Durga demi menghadirkan bencana besar di desanya. Diceritakan bahwa Calon Arang menyebabkan wabah penyakit mematikan. "Disebutkan pada pagi warga desa sakit, lalu sorenya meninggal. Ini kengerian atau horor mirip pandemi yang mematikan," ucap Sudibyo.
Sementara itu, peneliti dari Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN, Tirto Suwondo, mengatakan jalan industri sastra di Indonesia belum terlalu panjang karena baru dimulai pada 1920-1930-an. Secara umur, memang sastra Indonesia belum terlalu tua. Meski begitu, ia yakin sastra Nusantara, termasuk sastra horor, punya peluang besar untuk berkembang, di antaranya di dunia industri kreatif, seperti film animasi atau video, radio, dan platform digital lain.
"Adaptasi atau ekranisasi sastra ke film menjadi salah satu peluang yang menjanjikan," katanya.
Adapun Kepala Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan BRIN Sastri Sunarti menyatakan kekayaan cerita horor di Nusantara seharusnya menjadi modal kuat bagi penulis lokal. Menurut Sastri, cerita-cerita seram daerah, seperti hantu kuyang di Kalimantan, palasik di Minangkabau, dan manusia harimau di Sumatera, seharusnya bisa menjadi bahan kuat untuk melahirkan karya sastra menarik.
Bahkan cerita tersebut bisa dikreasi lebih lebar lagi menjadi sebuah komik digital yang sangat dekat dengan anak muda. "Sudah ada anak muda Indonesia yang mengembangkan cerita horor ini menjadi game. Ini contoh yang bagus."
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo