Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Langkah-langkah Alamsyah

Letjen H. Alamsyah ratu perwiranegara mengunjungi pondok pesantren di Jawa Timur. Dalam beberapa pidatonya menteri menyinggung soal aliran kepercayaan, onh, kerukunan umat beragama & kebebasan berda'wah. (ag)

10 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI halnya Mukti Ali dahulu, Letjen H Alamsyah Ratu Perwiranegara juga mempergunakan awal masa jabatannya sebagai menteri agama untuk mengunjungi pondok pesantren di Jawa Timur. Empat hari (25-28 Mei 1978) Alamsyah menyusuri jalan sepanjang 600 km, mengucapkan 1 kali pidato dan sekali menjadi imam sembahyang dhuhur. Berikut ini laporan Koresponden Dahlan Iskan, yang melengkapi kisah perjalanan dengan berbagai Wawancara: SAMBUTAN dari pondok pesantren ternyata tidak dingin -- meskipun juga tidak istimewa. Para pimpinan pondok rupanya juga sudah tahu "siapa" menteri agarna yang baru ini, sehingga acara penyambutan pun "disesuaikan". Di Pondok Tambak Beras (Jombang), Menteri disambut dengan lagu Selamat datang -- bukan Marhaban Ahlan Wa Sahlan misalnya -- dan dilepas dengan lagu Sayonara. Demikian pula di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Ketika Menteri memasuki aula, yang terdengar bukan suara kasidah, tapi instrumentalia Love Story yang mengalun sayup-sayup sampai. Bahkan ketika akan memberikan brifing di pendapa Kabupaten Ponorogo, Menteri Agama bukan disambut dengan shalawat nabi, tapi 10 gagrakan reog Ponorogo ..... "Keadaan pondok pesantren ternyata jauh lebih maju dan lebih baik dari yang kita perkirakan semula," komentar Alamsyah lalu. "Saya kira santri puterinya masih memakai cadar dan sebagainya, ternyata sudah ada yang berpakaian pramuka segala," katanya. Alamsyah sendiri berkali-kali menyatakan bahwa "kedatangan saya ini bukan untuk menyuruh memperdalam fikih atau syari'ah. Itu bukan bidang saya. Saya hanya mengatur bagaimana politik memajukan agama" -- seperti diucapkannya di Pondok Tebu Ireng pimpinan Yusuf Hasyim, Jombang. Dalam beberapa pidatonya -- yang tidak pernah diawali mukadimah dalam bahasa Arab sebagaimana menteri-menteri sebelumnya -- Alamsyah memberi "laporan" mengenai apa yang telah diperbuat selama 2 bulan ini. "Departemen Agama sudah mendekatkan yang dimaui ummat dan menjauhkan yang ditolak," ujarnya di Pondok Rejoso Jombang. "Dari rumah saya di Jakarta, saya pasaug teropong ke seluruh Indonesia, untuk mengetahui apa sebenarnya yang paling tidak disenangi ummat," ujar Alamsyah di Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran pimpinan H.M. Tarmudji. "Yang paling tidak disenangi ummat ternyata soal kepercayaan. Maka saya lapor Presiden supaya soal kepercayaan ini tidak dimasukkan dalam Departemen Agama. Bapak Presiden bilang: "Baiklah", lanjut Alamsyah yang mendapat keplok hadirin. Adapun Pondok PSM adalah pusat Tarekat Syattariah, punya cabang-cabang, dikenal sebagai "pondok Golkar" dan sudah dua kali melaksanakan transmigrasi 'bedol pesantren'. "Lalu saya pasang telinga lebar-lebar," lanjut Menteri, "untuk mengetahui apa yang paling dimaui ummat. Ternyata soal ONH. Maka saya lapor lagi pada Bapak Presiden, bahwa untuk tahun ini bisa diturunkan Rp 50 ribu. Bapak Presiden tanya, apa tidak bisa diturunkan lagi? Saya jawab: Untuk sementara, ini dululah," ujar menteri yang suka humor ini. Kegembiraan masih belum selesai. "Lalu datang pengaduan-pengaduan soal da'wah. Paling banyak dari Jawa Timur," kata Menteri, disambut gelak kelawa. "Oke, kita bicarakan dengan Kopkamtib. Dan mulai sekarang da'wah kembali sebagaimana biasa," katanya. "Tapi, jangan karena sudah bebas lalu srempet sana srempet sini. Kalau sampai hal itu terjadi maka tanggungjawabnya sendiri, sudah lepas dari tanggungjawab saya." TEMPO: Pidato-pidato bapak, membuat mereka sangat gembira. Tidakkah nanti timbul kekecewaan hanya karena praktek di lapangan tidak seperti yang mereka harapkan? Alamsyah: Asal da'wah kembali ke fungsi sebenarnya tidak akan mendatangkan kekecewaan. Makanya jangan berpendapat karena da'wah sudah dibebaskan lalu srenlpet sana srempet sini. Yusuf Husyim: Kita lihat dulu bagaimana praktek di lapangan. Tapi sebenarnya perlu rumusan-rumusan yang lebih kongkrit mana yang boleh dan mana yang sudah. Sebab selama da'wah itu masih berkaitan dengan amar ma'ruf nahi munkar, yah ..(tidak melanjutkan). Soal kerukunan ummat beragama juga menjadi tema pidato-pklato Menteri. Forum dialog antar ummat beragama yang berlangsung selama ini oleh Alamsyah dipandang perlu ditingkatkan menjadi musyawarah antar ummat beragama. Musyawarah, menurut Menteri, lebih berciri khas Indonesia dan mudah-mudahan bisa berlangsung tahun ini. Temanya tak jauh berbeda dari yang dulu: apa yang bisa diperbuat umat beragama dalam memperkuat bangsa, memantapkan Pancasila. UUI) '45 dan memperkuat negara. "Kalau hal itu bisa tercapai, 50% persoalan nasional sudah teratasi. Sebab umat beragama di Indonesia ini jumlahnya 95%," katanya. Dalam kaitan itu pula Menteri menyerempet soal penyebaran agama. "Penyebaran agama hendaknya hanya ditujukan kepada orang yang belum beragama." Jadi, karena yang sudah beragama meliputi 95%, maka yang belum beragama praktis tinggal lima persen. TEMPO: Siapa yang dimaksud 5% yang belum beragama itu? Apakah suku terasing atau termasuk mereka yang abangan? Octaviarius (Rektor Institut Injil Indonesia, Batu, Malang): Saya juga belum jelas apa yang dimaksud itu khusus suku-suku terasing atau juga yang diam-diam tidak percaya pada agamanya. Dan lagi kita tidak melakukan penyebaran agama, tetapi hanya mengabarkan injil. Alamsyah: Saya tidak mengakui abangan. Sekali dia mengucapkan "Yesus Tuhan saya," Kristenlah dia. Sekali dia mengucapkan "tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah," Islamlah dia. TEMPO: Bagaimana dengan keyakinan tidak menyebarkan agama melainkan hanya mengabarkan injil. Alamsyah: Untuk apa saudara mengabarkan kepada saya kalau saya sudah mendapat kabar lain? Terkecuali saya sendiri yang minta untuk mendapat kabar dari saudara. Yusuf Hasyim: Apa sih bedanya menyebarkan dengan mengabarkan? Karena itulah saya menyambut baik kalau diadakan musyawarah antar umat beragama. Di forum itu bisa dirumuskan bagaimana aturan permainan. Misalnya, kalau bertamu ke rumah-rumah, sebelum memberikan khotbah harus ditanya dulu apa agama yang dianut pemilik rumah itu. Kalau dia mengatakan Islam, khotbah jangan dilakukan. Ini berbeda dengan Da'wah Islam yang ciri khasnya bukan dari pintu ke pintu tapi secara kolektif. Kita tidak perlu tanya satu per satu kepada yang hadir. Sebab kehadiran dia berarti dia sendiri yang punya kemauan. Adapun Institut Injil di Malang dikenal sebagai milik Gereja Pantekosta, yang kebijaksanaan da'wahnya hanya salah satu saja dari berbagai kebijaksanaan yang berlain-lainan dari bermacam gereja Protestan. Alamsyah berkali-kali mengajak ponlok pesantren agar mengajarkan pelajaran umum, supaya tamatan pesantren bisa masuk ke Bea Cukai, PUTL dan lain sebagainya. Di zaman Mukti Ali sudah dikeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri, yang antara lain menyatakan tamatan 'aliah (SLA) bisa masuk ke perguruan tinggi umum. Untuk itu ada jurusan-jurusan: Agama, IPA, Sosial dan Paspal di madrasah tersebut. Namun beberapa madrasah 'aliah merasakan pelaksanaan SKB ini kurang lancar. TEMPO: Apakah SKB ini perlu disempurnakan? Alamsyah: Kalau dianggap perlu, lebih dari itu kita buat. Hanya saja sesuatu yang baru itu tidak lantas begitu terus lancar. Mencetak guru misalnya, tidak bisa satu hari. Setelah itu harus mencetak buku-buku pula. A. Alfatich (Direktur Madrasah 'Aliah Tambak Beras, Jombang): SKB itu perlu disempurnakan. Sebab dalam SKB itu belum diatur bagaimana penyediaan gurunya. Departemen Agama sendiri tidak mampu menyediakan guru-guru itu. Untuk membuka jurusan Paspal dan IPA, kami sangat kesulitan guru. Karena itu sampai sekarang belum ada yang membuka Jurusan Paspal. Kurikulumnya juga perlu disempurnakan. Misalnya di kurikulum disebutkan Pelajaran Ketrampilan dalam Kelompok Umum. Yang dimaksud ketrampilan di situ ketrampilan menjalankan praktek ibadah seperti shalat dan lain-lain. Padahal soal itu kan sudah masuk dalam Pelajaran Fikih di Kelompok Agama. Dalam praktek, ijazah Aliah belum seratus persen diakui P&K. Perguruan-perguruan tinggi Skalu menolak. Bahkan ada yang tidak tahu: sekolah apa 'aliah itu? Belum lagi kalau untuk mencari pekerjaan. Padahal, lepas dari beberapa kekurangan itu, siapa bisa mengatakan bahwa anak-anak lepasan madrasah di zaman ini lebih rendah mutunya dibanding lepasan sekolah umum?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus