Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mujtahid dari ciputat

Buku "prof.k.h.ibrahim hosen dan pembaruan islam" diluncurkan pada syukuran 70 tahun ibrahim hosen. ia dinobatkan sebagai mujtahid, karena dinilai me- menuhi prasyarat sbg pembaharu hukum islam.

1 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG kini bisa menyebut Prof. O K.H. Ibrahim Hosen sebagai mujtahid. Adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat K.H. Hasan Basri, yang menyebut julukan itu tatkala menyambut tasyakuran 70 tahun Ibrahim Hosen di gedung Dharma Wanita, Kuningan, Jakarta, Kamis pekan lalu. Sekitar 30-an ulama dan tokoh terkemuka menjadi saksi "penobatan" itu, sekaligus peluncuran buku biografi kiai kelahiran Bengkulu itu. Buku itu, Prof. K.H. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam, disusun oleh sebuah tim yang dipimpin oleh Prof. Dr. K.H. Hasbullah Bakri, S.H. Tentunya, baik Hasan Basri maupun tim buku (yang menyimpulkan, "kiai besar ini layak disebut mujtahid"), atau Menteri Agama Munawir Sjadzali yang memberi titel allamah (ini derajatnya lebih mulia daripada ulama), tak main-main ketika "berani" menilai begitu. Tidak mudah bagi seseorang, ulama sekalipun, sampai pada tingkat kealiman seperti itu. Ibrahim Hosen sendiri menolak predikat itu. "Saya masih jauh dari berijtihad. Saya hanya menukil kembali pendapat imam-imam lama, dan merangkumnya. Saya hanya awam plus, kelebihannya ya, rajin membaca kitab-kitab klasik itu," kata Ibrahim kepada TEMPO. "Sampai atau tidak, beliau telah banyak berijtihad dengan dasar yang kuat," ujar Dr. M. Quraish Shihab, ahli tafsir IAIN Jakarta. Tim Penulisan buku ini juga menilai Ibrahim telah memenuhi semua prasyarat sebagai "pembaru hukum Islam". Bahkan, tanpa melebih-lebihkan, tim beranggotakan 11 orang itu menyejajarkan posisi Ibrahim Hosen dengan Imam Nawawi, Imam Rafi'i, Imam Ibnu Hajar, dan Imam Ramli, yang dikenal dengan mujtahid mazhab atau mujtahid fatwa. Buku setebal 347 halaman ini sekitar 40 persennya berisi kumpulan pendapat Kiai Ibrahim tentang berbagai kasus aktual yang muncul ke permukaan, yang kadang dikomentari tim penulis. Mulai konflik pandangan umat terhadap pemerintah, hukum minum bir, bunga bank, sampai perannya ikut membidani lahirnya UU Perkawinan. Selebihnya berupa nukilan singkat riwayat hidup Ibrahim, serta tanggapan dari berbagai kalangan ulama terhadap Ketua Komisi Fatwa MUI sejak 1980 ini. Ibrahim Hosen adalah anak ke-8 dari 12 bersaudara yang merupakan buah pernikahan antara K.H. Hosen dan Siti Zawiyah. Saat berumur lima tahun, Ibrahim diajak orangtuanya merantau ke Jakarta. Di sinilah kemudian, pada 1922, ayahnya, Kiai Hosen, mendirikan Madrasah Mu'awanatul Khaer. Begitu madrasah ini ditutup tiga tahun kemudian, Ibrahim pun diboyong ke Singapura. Di sinilah awal Ibrahim mengecam dunia pendidikan formal. Ia dimasukkan ke Madrasah (Ibtidaiyah) As-Segaf. Ia pun mulai mengaji kitab kuning pada Kiai Nawawi. Pada kiai yang pernah mengajar di Mekah puluhan tahun itu, Ibrahim telah menamatkan sejumlah kitab kuning, baik di bidang fikih maupun tasawuf. Pada 1934, setelah menamatkan sanawiahnya, Ibrahim menyeberang ke Jawa. Di Jawa, ia menjalani peran sebagai "santri kalong" di berbagai tempat. Kematangan ilmu dan cara berpikir Ibrahim makin tampak ketika masuk Universitas Al-Azhar, di Mesir. Ia lulus dengan predikat terbaik ke-3, di fakultas syariah. Sekembalinya dari Mesir pada 1963, ia diangkat menjadi Dekan Fakultas Syariah di IAIN Palembang dan Jambi. Kemudian ia jadi rektor di IAIN Palembang, 1964. Pada 1969, Ibrahim mendapat gelar profesor di IAIN Jakarta. Dialah pendiri Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), 1971, dan Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) pada 1977. Ia kini tinggal di kompleks IAIN di Ciputat, Jakarta Selatan. Dalam konteks Indonesia, Ibrahim bisa disebut berada dalam garda depan ulama yang vokal dan "berani" mengemukakan pendapatnya. "Fatwa"-nya sempat mengundang kontroversi di kalangan ulama sendiri. Ia, tulis buku ini, adalah ulama Indonesia yang pertama kali membolehkan wanita menjadi hakim Pengadilan Agama. Pemakaian alat kontrasepsi KB, khususnya spiral (IUD), juga disimpulkannya boleh-boleh saja dengan dalih "karena hajat", atau adanya kepentingan. Dialah satu-satunya ulama yang berpendapat bahwa Porkas "bukan judi". Ini terlihat dalam bukunya Maa Huwa Al-Maisir (Apakah Judi itu?), yang terbit pada 1987. Kendati begitu, sebenarnya pendapat ini tidak baru. Seperti diyakini Ibrahim, fatwa "lotre tidak termasuk judi" ini pernah dilontarkan Syaikh Ahmad Surkati Al-Anshari, tahun-tahun sebelumnya. Hanya mungkin pendiri Al-Irsyad ini lebih "untung" ketimbang Ibrahim yang, karena keberaniannya itu, dihantam sana-sini. Ibrahim pun lalu dijuluki "ulama pesanan", yang tega "menjual agama". Apalagi ia dianggap tidak tegas menilai haram pada kasus lemak babi. "Karena memang belum terbukti," katanya. Akibatnya, kata Ibrahim, "muncul selebaran gelap yang menghalalkan darah saya." Toh Ibrahim tak gentar. "Belum ada ulama yang menegur saya, yang ada malah membela," katanya. Tentang perkara Porkas dan semacamnya yang menyangkut undian, Ibrahim mengaku hanya merujuk pendapatnya dari ulama terdahulu. "Bahwa maslahatnya ternyata lebih sedikit ketimbang mudaratnya itu soal lain," kilahnya. Sikap yang seolah menafikan "esensi" undian itulah (yang memang prakteknya berbeda dengan zaman Nabi) yang membuat Ibrahim dinilai sementara pihak sebagai ulama fikih formalistis. "Saya kira beliau cenderung bermetode fiksi yuridis dalam mencari terobosan baru bidang hukum, dengan mengabaikan esensinya," kata K.H. Ahmad Azhar Basyir. Maksud Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah ini, karena "formalitas" itulah, Ibrahim agaknya mengabaikan kenyataan yang terjadi di masyarakat luas. Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus