Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Vu thy mee

Dalam mimpi penulis bertemu dengan vu thy mee, pejabat tinggi di kantor perdana menteri vietnam do muoi. mereka bertukar pikiran mengenai keberhasil- an ekonomi indonesia dan vietnam. vu merendah.

1 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA terkejut bukan main tatkala ketemu Vu Thy Mee kembali. Saya kira ia lari keluar dari Saigon ketika kota itu dibebaskan. Atau setidak-tidaknya memilih menetap di kota yang lebih liberal daripada menyepi di Hanoi, ibu kota yang cantik tetapi bergaya hidup serba tirakat itu. Ternyata, Vu Thy Mee lebih menyenangi kedamaian nurani daripada kenyamanan lahiriah di Kota Ho Chi Minh -- nama baru Saigon yang dulu serba hiruk-pikuk itu. "Saya kangen sekali. Bayangkan. Sejak tahun 1969 kita berpisah. Bagaimana kabar teman-teman saya dari Indonesia, yang semuanya baik hati dulu itu?" Vu Thy Mee membuka pembicaraan. Raut mukanya menampakkan kematangan. Rambutnya yang mulai ditumbuhi uban itu kini dipotong pendek. Ia tetap cantik seperti dulu biarpun baju nasional yang dikenakan tidak setipis dan transparan seperti waktu bertemu di Washington dulu. Kini ia pejabat tinggi di kantor Perdana Menteri Do Muoi yang menjadi pusat kesibukan pemerintahan Vietnam. "Mereka baik-baik. Saya berbahagia sekali bisa ketemu Anda lagi justru di Hanoi. Ternyata, Anda benar, tatkala meramal Hanoi akan unggul. Biarpun saya tahu, suami Anda mengabdi sebagai prajurit di medan pertempuran pihak tentara Vietnam Selatan waktu itu." Saya menimpali sopan santunnya yang menyentuh. "Jangan kita bicarakan masa lalu yang pahit itu. Kini saya sadar. Memang, bangsa Vietnam banyak terbuai oleh sanjungan orang berkat kemampuannya mengusir penjajah Prancis dan Amerika Serikat. Namun, pengalaman perang itu terlalu panjang dan memanjakan kebanggaan nasionalisme kami. Sekarang kami harus membangun kembali Vietnam dari sisa kancah perjuangan mengusir penjajah itu. Vietnam merasa jauh tertinggal dibanding bangsa-bangsa membangun di kawasan ini. Maka itu, bimbinglah kami, saya ingin belajar dari pengalaman Indonesia dalam pembangunan ekonomi." Vu Thy Mee toh tetap berperadaban Cina. Ia merendahkan diri dan mempraktekkan kesopanan Timur. Semua orang tahu Vietnam miskin, tetapi toh masih berhasil mengekspor berasnya. "Kamu tahu, apa yang menarik dari pengalaman Indonesia bagi kami di Vietnam?" Vu mulai membeberkan kecerdasannya, lewat cara merendah-rendahkan diri. "Sementara mempraktekkan ekonomi pasar, Anda tetap bisa konsisten dengan tekad konstitusi. Indonesia menolak free fight liberalism. Peran negara dalam pembangunan ekonomi masih sangat nyata terlihat. Imbangan investasi pembangunan Indonesia mencerminkan realitas itu." Ia memuji, tanpa terkesan berbasa-basi. "Yang Anda maksud yang mana? Banyak teman saya risau tentang pilihan kebijaksanaan ekonomi kami itu biarpun pemimpin-pemimpin kami tidak pernah ragu-ragu!" Saya pun pura-pura bertanya, untuk memancing ketulusannya. "Lihatlah sistem pengendalian, penyediaan, distribusi, dan harga kebutuhan pokok rakyat kecil di Indonesia itu. Beras, gula, minyak tanah, garam, tekstil, bahkan juga biaya pendidikan dan kesehatan. Efektivitasnya mengalahkan sistem catu sosialis di mana pun. Dengan menggunakan mekanisme pasar, lewat Badan Urusan Logistik dan kebijaksanaan pengendalian harga dan operasi pasar, rakyat Indonesia tidak mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya. Dengan harga yang terjangkau pula. Itu sebabnya indeks harga konsumen dan inflasi Anda sungguh sangat terkendali." "Iya. Tetapi banyak teman saya di Indonesia mengeluh. Kebijaksanaan stabilisasi itu dilancarkan atas beban pengorbanan pada sektor pedesaan. Harga produk pertanian sangat dikendalikan. Padahal, di sanalah letak kemiskinan dan bagian terbesar rakyat kami." Saya mencoba mengimbangi sanjungan yang perlu diuji ketulusannya itu. "Saya melihat pilihan tranformasi ekonomi ke arah menyeimbangkan struktur perekonomian di Indonesia itu memang demikian dampaknya. Toh subsidi di sektor pertanian, walaupun tidak disukai negara-negara pemberi pinjaman, tetap Anda lancarkan pada saat yang tepat. Begitu juga investasi di sektor infrastruktur dilaksanakan pemerintah Anda dengan sangat konsisten. Kini bahkan inflasi Anda lawan dengan menyalurkan dana kota menjadi potensi modal untuk sektor pedesaan melalui pendirian bank-bank perkreditan rakyat. Itu kan peran sektor negara? Itu bukan kekuatan pasar liberal yang bekerja sewenang-wenang." Saya terkesima. "Namun, biaya politik dan sosialnya juga sangat mahal. Untuk menjaga stabilitas sosial politik di awal pembangunan kita, petani dan buruh tidak bisa secara efektif mengorganisasikan diri, memperjuangkan kepentingannya. Semua menahan diri, demi pembangunan." Saya mengemukakan sisi lain dari pembangunan Indonesia. "Buat apa kebebasan, kalau perut lapar?" Vu Thy Mee memandang dengan sorot mata perestroika. Memang, untuk menjadi muara semua sungai, laut pun harus meletakkan diri di bawah permukaan sungai-sungai itu. Itulah budaya dan sopan santun Vietnam yang mengagumkan. Dan itulah akhir mimpi pertemuan saya dengan sahabat, Vu Thy Mee, yang cantik dan tak pernah bisa saya lupakan itu. Saya belum sempat tukar pikiran tentang kesenjangan, konglomerat, dan suksesi, tatkala tiba-tiba terbangun. Hari ternyata masih sangat pagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus