Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Aceh Damai, Jakarta Ribut

22 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harapan perdamaian, terutama bagi rakyat Aceh, semakin konkret tatkala memorandum of understanding (MOU) diteken pada 15 Agustus lalu di Helsinki. Namun, setelah membaca isi MOU, rasa lega mulai diliputi kekhawatiran. Ternyata biaya yang dibayar untuk mengakhiri konflik bersenjata dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berpotensi amat mahal. Selain itu, pelaksanaan kesepakatan kelihatannya akan cukup rumit untuk bisa jadi jalan keluar yang mulus.

Bagi rakyat Aceh, yang tak henti-hentinya dirundung perang puluhan tahun sejak zaman kolonial, tak ada yang lebih berharga daripada kedamaian dan kehidupan normal. Namun biaya MOU yang dianggap terlalu tinggi membuat kalangan politik, khususnya di Jakarta, mulai ribut. Alasannya bukan tidak ada, karena selain soal Aceh, isi MOU adalah masalah Indonesia juga. Di lain pihak Wakil Presiden Jusuf Kalla juga benar ketika dengan cerdik dia mengajukan alternatif yang sama-sama makan ongkos: memilih membayar biaya untuk perang atau mengeluarkan biaya untuk damai.

Biaya mahal bukan dalam arti finansial saja. Soalnya adalah mengenai apa yang harus dikorbankan, yang bisa menyangkut—mungkin menggoyahkan—aturan ketatanegaraan yang ada. Pemerintahan di Aceh akan diselenggarakan dengan undang-undang baru, yang akan memberikan banyak keistimewaan bagi Aceh. Banyak dari keistimewaan itu dianggap sebagian orang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Pandangan yang ekstrem bahkan mengatakan beberapa hak yang diberikan adalah inkonstitusional. Sebaliknya, pemerintah menganggap bahwa apa yang disepakati dalam MOU adalah berdasarkan undang-undang.

GAM tidak akan dibubarkan. Ini nyata dari isi MOU, walau tak langsung dikatakan begitu. Yang dibubarkan hanyalah pasukan GAM, dengan istilah demobilisasi pasukan dan decommissioning—tidak dipakai lagi dan disingkirkan— persenjataan mereka. Sofyan Daud, panglima GAM di Passe, Aceh, juga menyatakan bahwa setelah 15 Agustus perjuangan bersenjata GAM dihentikan, dan beralih ke perjuangan politik. Berarti GAM tidak dinyatakan selesai dan dihentikan, hapus dengan sendirinya atau dilikuidasi.

Aspirasi GAM dan usahanya tetap diteruskan, kata Sofyan, yaitu menuju selfgovernment bagi Aceh. Jika Sofyan tidak menggunakan perkataan ”kemerdekaan”, rupanya sengaja karena tidak ingin mengingkari isi MOU mengenai wilayah Aceh, yang disepakati tetap berada dalam lingkungan Republik Indonesia. Tapi, dari isinya, makna selfgovernment bisa diartikan tidak berbeda jauh dengan merdeka. Memang dalam MOU tak tertulis soal pembubaran GAM, atau tersirat bahwa umurnya dibatasi. Sebaliknya bisa disimpulkan bahwa GAM dianggap akan berdiri terus, sama seperti yang diandaikan bagi pihak lawannya berunding, yakni pemerintah RI, yang kelanggengannya tak dipersoalkan.

Kelangsungan diri GAM ini berpotensi menimbulkan masalah. Bukan saja karena aspirasi selfgovernment yang inheren pada dirinya, yang bisa mengganggu konsep kedaulatan negara kesatuan Indonesia. Berlanjutnya GAM juga tidak sesuai dengan dasar pemberian amnesti kepada semua orang yang terlibat dalam kegiatan GAM. Mengapa? Amnesti adalah pengampunan terhadap suatu kesalahan, dan kesalahannya terletak pada keterlibatan dengan GAM. Maka, jika GAM adalah sumber kesalahan, seharusnya GAM juga dihukum. Dibubarkan misalnya.

Dalam MOU, organisasi GAM tidak diampuni; yang mendapat amnesti hanya orang-orangnya. Kedudukan GAM seakan-akan dilegalisir, atau setidak-tidaknya memperoleh legitimasi dari pemerintah RI. Tidak konsisten dan kejanggalan juga terlihat dalam soal hak bagi Aceh untuk menetapkan suku bunga sendiri yang berbeda dengan ketetapan Bank Indonesia. Tidak jelas, apakah ini artinya Aceh diandaikan akan punya bank sentral dan peredaran mata uang sendiri juga, sementara Aceh tetap jadi bagian dari Republik Indonesia. Atau tingkat suku bunga tersendiri itu sekadar menyangkut utang luar negeri Aceh saja?

Kekaburan dan kelonggaran pasal-pasal MOU, yang sekarang membuahkan kesepakatan damai, bisa menimbulkan perselisihan kelak. Mungkin pemerintah ingin menekankan pentingnya improvisasi dalam pelaksanaan, ketimbang ribut mempersoalkan penafsiran teks MOU itu. Banyaknya ranjau dalam MOU tidak bisa disangkal, namun tidak perlu dilihat sebagai halangan mutlak. Seakan-akan pemerintah ingin berkata, jangan terlalu mempersoalkan pohonnya, tapi pandanglah hutan seluruhnya.

Keharusan pemerintah untuk melakukan penyesuaian sambil berjalan akan banyak bergantung pada kerja sama dengan DPR. Dalam soal perubahan undang-undang, soal anggaran khusus, persetujuan DPR mutlak harus diusahakan. Pemerintah harus sadar, yang jadi keberatan atau yang diributkan bukanlah pilihan membayar untuk perang atau damai. Soalnya adalah memilih membayar mahal atau membayar seperlunya untuk damai di Aceh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus