MUSIM hujan segera tiba. Akan tiba pula bencana klasik di negeri
ini: banjir. Ratusan ribu meter kubik air akan datang menerpa,
menggenangi rumah-rumah, melayukan tetumbuhan, membunuh ternak,
memacetkan lalu lintas, menimbulkan berbagai penyakit sebelum
pada akhirnya air akan menguap ke langit atau terbuang percuma
ke laut.
Tiba pula musim saling tuding. Hutanlah yang dikatakan dibabat
gundul. Sampahlah yang dibuang sembarangan. Halaman rumahlah
yang seluruhnya di-vloer. Macamlah. Dan di sela-sela kesibukan
ini, ada pula yang mengeruk keuntungan seperti misalnya para
pendorong mobil mogok di jalan-jalan raya.
Ada yang sedikit aneh. Dalam musim hujan yang paling parah pun,
air sumur di Condet tidak mau mendekat ke permukaan burni kurang
dari 7 meter. Ini sudah berlangsung larna, dan rasanya terjadi
juga di tempat-tempat lain di negeri ini. Konon dulu, untuk
mendapatkan air cukup dengan menggali sumur sedalam 2 meter
saja. Sekarang ini, terutama dalam musim panas, jangan dikata
lagi. Hampir setiap sumur harus digali ulang. Sekedar menambah
kedalaman barang semeter lagi, sekedar untuk mendapatkan air
barang beberapa ember sehari.
Jelas ada yang mendapat keuntungan dari sumur-sumur rakyat yang
harus diperdalam ini: para penggali sumur. Namun setiap tahun
sumur makin dalam, dan rasanya tidak akan lama lagi akan
mencapai sampai 16 meter, sedangkan sekarang sudah kedengaran
bahaya fatal yang terjadi: para penggali sumur itu kehabisan
oksigen di bawah sana.
Air Sisa
Saya punya cerita lain. Rumah saya di Condet agak jauh dari
jalan, dan di sekitar itu tidak ada saluran pembuangan air. Oleh
karena itu, di samping septic tank biasa, saya buatkan sebuah
sumur, luas penampang sekitar 1 3/4 meter, dalam 8 meter.
Ditutup beton, diberi lubang angin. Itulah tempat buangan air
sisa kami. Tujuh tahun kemudian saya mulai heran mengapa saya
masih belum terpaksa menggali sumur baru. Bulan lalu tutup beton
saya buka, ternyata kedalaman sumur masih sekitar 5 meter, dan
3/4 nya berisi air!
Hebat juga. Segala air cuci dengan remah-remah makanan kotoran
dan daki dari 4 orang dewasa dan 1 anak-anak serta para tetamu
yang hampir tak putus-putusnya setiap minggu, dalam masa 7 tahun
hanya menghasilkan pendangkalan dan sisa air sekian saja.
Memang masih diperlukan banyak penelitian, seperti misalnya daya
serap tanah, banyaknya daki yang kami bawa pulang setiap
harinya, dan sebagainya, sebelum fakta di atas dapat dimasukkan
ke dalam, misalnya, The Guiness'Bookof Records.
Tapi saya teringat pada hal lain. Bayangkan sebuah rumah di
Jakarta, sebuah Toserba, atau sebuah hotel, yang seluruh
pelatarannya sudah di-vloer atau diaspal. Setiap turun hujan
setiap tetes air hujan itu akan dihibahkan ke halaman tetangga,
atau ke jalanan, dan bersama air hujan dari tempat-tempat lain,
akan terjadi penggenangan di tempat-tempat rendah, dan itulah
banjir itu.
Kalau ada saluran masih mendingan. Tapi saluran ini sering
mampat, dan juga persoalannya tidak selesai di situ saja, karena
pada tempat tertentu air menumpuk banyak sekali sehingga
merepotkan para pengawas banjir. Ini sama dengan memindahkan
penyakit dari kepala ke perut.
Seandainya rumah, Toserba atau hotel tadi mempunyai sumur
seperti sumur buangan saya, dan semua air hujan dimasukkan ke
sumur itu, pada setiap musim hujan, setiap sumur sudah
menghalangi 10 meter kubik air turun ke jalanan menimbulkan
huru-hara.
Seandainya di Jakarta ada 10.000 sumur seperti itu, setiap musim
hujannya sekitar 100.000 meter kubik air hujan Jakarta dihalangi
menjadi residivist. Dan kalau di daerah-daerah lain juga ada
sumur seperti itu, tidak akan ada istilah banjir kiriman.
Mungkin akan berkurang apa yang dinamakan tanah kritis.
Sumur Kembali Beraksi
Dalam musim kemarau, sumur-sumur ini sedikit demi sedikit akan
membiarkan airnya diserap bumi kembali,sehingga pada musim hujan
berikutnya para sumur sudah bisa kembali beraksi. Dan mungkin,
dalam waktu yang tidak terlalu lama, 20 atau 30 tahun,
lambat-lambat permukaan air tanah di Jakarta ini dapat naik
kembali, walaupun tidak setinggi masa yang konon dulu itu.
Dan jangan dilupakan keuntungan yang dapat ditarik para penggali
sumur. Sebuah sumur seperti itu akan memerlukan sekitar 6 hari
kerja/orang, dengan biaya seluruhnya sekitar Rp 17.500. Tapi
agaknya untuk tujuanyang mulia, seperti menghindarkan
penderitaan banjir pada sesama manusia, menaikkan permukaan air
kembali (hal ini masih perlu penelitian), serta pemerataan
pendapatan, agaknya bagi yang mampu tidak akan merupakan beban
yang mengesalkan, ketimbang misalnya harus membayar tukang
dorong mobil yang macet di tengah banjir.
Memang masih perlu banyak penelitian untuk ini, karena hal yang
diajukan ini adalah pendapat yang awam sekali.
Mungkin faedahnya tidak seimbang sarna sekali. Mungkin perlu
saringan jenis tertentu. Mungkin perlu sistem penjatahan, sekian
meter persegi tanah yang di-vloer memerlukan sekian buah sumur.
Mungkin perlu persyaratan lain lagi.
Namun membayangkan bahwa kitabisamenghalangi sekian ribu
meterkubik iair hujan dari berbuat kejahatan, serta menghalangi
air tersebut terbuang percuma ke laut, saya rasanya tidak sabar
lagi.
Dan agaknya patut pula saya ingatkan bahwa di sini masih belum
disinggung mengenai ratusan ribu meter kubik tanah galian dari
sumur-sumur itu. Soalnya karena saya memang belum tahu apakah
tanah sebanyak ini dapat dianggap sebagai keuntungan atau justru
kerugian.
Atau, para ilmuwan kita punya pendapat lain? Saya yakin ada
banyak orang yang ingin dengar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini