Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kontroversi dan Perlawanan Pelukis Hardi

Pelopor Gerakan Seni Rupa Baru yang dikenang piawai melukis, menulis, dan memotret.

31 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pelukis Hardi dengan latar lukisan karyanya dalam Pameran lukisan Tunggal XIX "Gelora Imlek-Bhinneka Tunggal Ika" di Jakarta, 2009. Dok. TEMPO/ Arnold Simanjuntak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah sahabat mengenang karya dan pribadi pelukis Hardi.

  • Pelukis Hardi dikenang karena lukisan kontroversial pada era Orde Baru.

  • Hardi menimba ilmu seni dari Ubud, Yogyakarta, hingga Belanda.

Pelukis besar ini berpulang. Pria bernama asli R. Suhardi atau yang lebih dikenal dengan Hardi ini wafat pada usia 72 tahun, Kamis, 28 Desember 2023. Hardi adalah pelukis yang sangat peka terhadap isu sosial hingga politik. Perupa kelahiran 26 Mei 1951 itu adalah salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia bersama perupa lain, seperti F.X. Harsono, Bonyong Munni Ardhi, Siti Adiyati, Jim Supangkat, dan Nanik Mirna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hardi mengawali karier seninya pada 1970 di Ubud, Bali. Ia memulai melukis bersama W. Hardja dan Anton Huang. Selanjutnya, Hardi berkuliah lagi di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI Yogyakarta (kini bernama Institut Seni Indonesia Yogyakarta) pada 1971-1974. Pendidikan Hardi berlanjut di De Jan Van EYC Academie di Maastricht, Belanda, pada 1975-1977.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perupa sekaligus kolektor seni, Syakieb Sungkar, menyebut Hardi sebagai pelukis ekspresionis figuratif. Sebab, menurut dia, goresan Hardi bersifat spontan dan banyak memakai warna gelap, seperti hitam dan biru tua, dengan tambahan aksentuasi merah kadmium serta jingga. 

Menurut catatan Syakieb, Hardi banyak menggambar tokoh melalui bantuan foto. Tokoh-tokoh yang digambarkan Hardi kebanyakan tokoh politik, seperti Gus Dur dan Prabowo. Namun tokoh favoritnya yang dilukis berkali-kali adalah Raden Saleh. "Barangkali karena kekagumannya kepada pelukis itu. Saya juga pernah dilukis oleh Hardi," kata Syakieb.

Syakieb melanjutkan, belakangan Hardi banyak melukis macan tutul dengan dasar hitam atau ungu tua dan tutulnya dibuat warna-warni. Salah satu ciri lukisan Hardi adalah tambahan gambar matahari atau bulan berwarna merah atau jingga pada bidang yang masih kosong. Ia juga sering menambahkan tulisan atau kata-kata pada lukisan untuk lebih menekankan maksudnya.

Selain itu, Syakieb mengenang Hardi sebagai orang yang gemar bercerita tentang pengalaman masa lalu, seperti pertemanannya dengan Affandi, Hendra, Sudjojono, Nyoman Gunarsa, dan W.S. Rendra. Termasuk kisahnya dulu yang diam-diam melawan Soeharto.

Uniknya, Hardi terkenal mudah terpancing kalau berdebat dengan orang yang lebih muda. Jurus ilmu silat bangau putih kadang-kadang bisa terlepas menuju wajah lawan bicaranya. "Namun Hardi orang yang baik hati. Ia banyak membina pelukis muda Jakarta. Mengajarkan melukis, memamerkan, dan memasarkannya," Syakieb mengenang. 

Pelukis Hardi (kedua dari kanan) memberikan lukisan dalam pameran karya bertajuk "Pameran Seni Rupa Neo Pop Art" kepada Sugiharto yang saat itu menjabat Menteri Negara BUMN di Hotel Nikko, Jakarta, 2005. Dok. TEMPO/Tommy Satria

Karya-karya Hardi banyak dikoleksi pejabat-pejabat era Orde Baru sampai reformasi. Bahkan sejumlah lembaga, museum, dan galeri ikut menyimpan beberapa karya lukis Hardi. 

Salah satu kolektor terbanyak lukisan Hardi adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Fadli Zon. Politikus 52 tahun itu mengaku mengoleksi lebih dari 100 lukisan Hardi. "Termasuk karya beliau pada 1970-an dan karya-karya kontemporernya," kata Fadli ketika dihubungi, Jumat, 29 Desember lalu.

Fadli mengalami betul rasa kehilangan. Maklum, ia sudah cukup lama akrab dengan Hardi. Fadli ingat pernah berkolaborasi dengan Hardi sejak 2008 lewat berbagai kegiatan seni. Salah satu kegiatannya adalah mengkaji keris dan membuat kegiatan Keris for the World pada 2010. 

Saat itu Fadli dan Hardi sama-sama membuat karya untuk merespons pendekatan mereka terhadap keris. "Mas Hardi bikin jangker atau kujang keris. Lalu saya padukan karya keris, kujang, dan celurit," ujar Fadli.

Selain sebagai teman berkarya, Fadli menganggap Hardi sebagai lawan diskusi yang menarik. Bahkan, dari diskusi dan berkesenian, Fadli sempat menulis dua buku untuk Hardi. Pertama, buku sebagai perayaan usia Hardi ke-60 tahun. "Kedua, buku kumpulan tulisan Mas Hardi sejak 1970-an." 

Politikus Partai Gerindra itu menyebutkan Hardi juga punya kemampuan menulis yang luar biasa. Menurut dia, Hardi adalah penulis yang imajinatif, liar, nakal, dan autentik.

Pelukis Hardi. Dok. TEMPO/Rully Kesuma

Namun, bagi Fadli, karya Hardi yang paling berkesan berjudul Presiden RI Tahun 2001 Suhardi. Lukisan itu merupakan karya cetak saring atau sablon dengan medium kertas yang ditampilkan saat pameran Seni Rupa Baru pada 1979. Lukisan tersebut menampilkan potret Hardi yang memakai seragam upacara militer lengkap dengan jas dan tanda kehormatan satyalancana. Lukisan berkelir biru dan putih itu dipamerkan lagi di Taman Ismail Marzuki pada 1980. 

Saat itulah Hardi harus berurusan dengan tentara atas dugaan makar. Ia ditangkap dan diperiksa selama beberapa hari di markas tentara. Beruntung, saat itu Wakil Presiden Adam Malik memerintahkan tentara melepas Hardi. Saat ini karya kontroversial Hardi tersimpan baik di Galeri Nasional Indonesia. "Karya itu jadi tonggak seni rupa baru," ujar Fadli. 

Adapun jurnalis senior sekaligus pengamat seni, Bambang Bujono, mengenang Hardi sebagai perupa yang juga punya bakat hebat di dunia fotografi. Sebagai contoh, foto praktisi hukum kondang Adnan Buyung Nasution dalam setelan baju pengacara, W.S. Rendra saat membaca puisi, hingga foto serial tentang orang-orang biasa, seperti pemanjat kelapa. Foto-foto sebesar kartu pos itu disusun seenaknya membentuk komposisi dinamis. 

"Kepekaannya pada warna menjadikan foto serial itu sebuah komposisi yang indah, serta secara implisit mengandung cerita dan mungkin pesan," kata pria yang kerap disapa Bambu itu. 

Sayangnya, seni fotografi tak dilanjutkan Hardi. Bambang menduga Hardi lebih ingin berkarya dengan melibatkan seluruh tubuh dan langsung bisa dilihat. "Sedangkan foto pada zaman itu mesti menunggu dicetak untuk melihat karya."

INDRA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus