Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Film dokumenter tentang Hakim Agung Artidjo Alkostar berjudul Alkostar: Insan Kesepian dalam Keramaian diluncurkan perdana di Gedung Auditorium Lantai 4 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Jumat, 14 Juni 2024. Film tersebut merupakan visualisasi dari buku biografi Artidjo berjudul Artidjo, Sebuah Biografi yang ditulis Puguh Windrawan, sekaligus menjadi sutradara dan penulis naskah film tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dan judul film dokumenter ini diambil dari buku yang ditulis Pak Artidjo,” kata Puguh dalam konferensi pers menjelang pemutaran film tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puguh mengisahkan, saat Artidjo menjadi dosen Fakultas Hukum UII pernah melakukan riset gelandangan di Ujung Pandang (sekarang disebut Makassar). Penelitian sosial itu dilakukan selama 8-9 bulan. Bahkan salah satu cara Artidjo menyelami kehidupan gelandangan adalah tidur bersama gelandangan itu.
Penelitian Artidjo Alkostar Jadi Inspirasi Judul Film Dokumenter
Salah satu yang menarik menurut Puguh, bahwa istilah “gelandangan” pada 1980-an itu belumlah popular. Buku hasil riset Artidjo yang diberi judul Insan Kesepian dalam Keramaian dan diterbitkan LP3ES itu turut mempopulerkan istilah “gelandangan” yang digunakan sampai sekarang.
“Judul bukunya menarik dan puitis, sesuai karakternya (Artidjo) yang melankolis dan puitis,” ucap Puguh yang juga dosen Hukum di beberapa kampus.
Film berdurasi sekitar 50 menit itu mengisahkan secara singkat kehidupan Artidjo masa kecil hingga meninggal pada 2021. Mulai menjadi dosen sejak 1976, pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, lalu menjadi Hakim MA (2000-2018) dan berakhir sebagai Dewan Pengawas KPK hingga meninggal pada 2021. Film ini juga menyoal pemikiran, ideologi, serta kasus-kasus yang ditangani sekaligus membentuk karakternya.
Saat menjadi pengacara, Artidjo pernah menangani kasus penembak misterius (petrus) pada 1983-1985. Ketika menjadi Hakim MA, Artidjo langsung ditempatkan di Kamar Pidana dan menangani kasus-kasus kakap, seperti korupsi Bank Bali Rp546 miliar oleh Djoko Tjandra, juga kasus korupsi yayasan dengan Presiden Soeharto sebagai terdakwa.
Dekan Fakultas Hukum UII Prof. Budi Agus Riswandi menyimpan pengalaman unik saat menjadi mahasiswa Artidjo. Ketika mengajar mata kuliah Etika Profesi, Artidjo menyampaikan dengan menggunakan film. Padahal masa itu, dosen mengajar dengan menggunakan media film masih jarang.
“Beliau mengajak untuk membedah bagaimana penegak hukum itu seharusnya. Terutama mengajar profesionalisme dan integritas,” kata Budi yang menjadi mahasiswa Angkatan 1994.
Hal Menarik di Film Alkostar
Dalam film Alkostar: Insan Kesepian dalam Keramaian yang ditonton Tempo, juga dikisahkan Artidjo suka menonton film-film India di bioskop. Bukan hanya soal romantismenya, tetapi juga karena ada karakter penegakan hukum yang acapkali dimunculkan dalam film-film itu.
Budi pun berencana membuat studio film di kampus FH UII. Selain mengaplikasikan gaya mengajar Artidjo, juga menjadi metode yang dinilai memudahkan mahasiswa untuk menyerap pengetahuan dengan baik.
“Mahasiswa sekarang kalau membaca nggak masuk, kalau dikasih film akan melekat di pikirannya. Biar jadi juris yang profesional dan berintegritas,” kata Budi.
Tak banyak penampakan visualisasi Artidjo dalam film itu, karena film dibuat setelah Artidjo meninggal. Sebagai pengganti menggunakan visualisasi foto dari dokumentasi pribadi Artidjo maupun keluarga. Puguh juga menghadirkan fragmen wayang, seperti kisah masa kecil dan sepak terjangnya di meja hijau.
Selain itu juga menghadirkan suara asli Artidjo yang merupakan hasil wawancara Puguh dalam proses penyusunan buku biografi dulu. Serta sejumlah narasumber lain, seperti mantan Menkopohukam Mahfud MD, mantan Pimpinan KPK Busyro Muqoddas, mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki.
Sementara dalam penggarapannya, film tersebut melibatkan dosen dan mahasiswa ISI, khususnya dalam visualiasi gambar dan suara. Sedangkan dalam pengambilan gambar dan editing dilakukan oleh Komunitas Jejak Imaji Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Sedangkan pendanaan ditopang dari Yayasan Badan Wakaf UII sebesar Rp 90 juta.
“Secara pribadi, saya berharap film ini bisa diunggah lewat YouTube dan didiskusikan seperti film Dirty Vote. Sebab Pak Artidjo adalah milik publik, bukan pribadi atau FH UII saja,” kata Puguh yang mantan jurnalis Gatra itu.