Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setyaningsih
Esais
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis, dalam format tipis dan ditulis secara jenaka, justru merupakan buah keseriusan dari pengalaman-mengalami, mendengar, dan membaca ketidakadilan gender dari kejadian sehari-hari, bahkan yang paling sepele. Menariknya, gabungan dua buku berjudul We Should All Be Feminist dan Dear Ijeawele: Feminist Manifesto in Fifteen Suggestions ini ditulis oleh seorang perempuan Nigeria sekaligus ibu dan berkulit warna. Dua alasan yang sangat cukup menjadi biang seksisme dan rasisme dalam perjalanan peradaban (ke)manusia(an).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari keduanya, Chimamanda memberi imperasi, "Tentu saja aku marah. Aku marah terhadap rasisme. Aku marah terhadap seksisme. Tapi akhir-akhir ini aku baru menyadari bahwa aku jauh lebih marah terhadap seksisme daripada rasisme […] Karena aku mencintai dan hidup di antara banyak orang yang mudah mengakui ketidakadilan ras, tetapi tidak dengan ketidakadilan gender."
Situasi seksis sering tidak tersadari, bahkan terkesan dianggap wajar karena tidak dinilai sebagai masalah serius. Begitu ada yang mempertanyakan, hal ini malah dianggap tidak lumrah atau mengganggu tatanan. Rasisme lebih bisa dilawan secara massal-kolektif, tapi seksisme tampak sebagai pertarungan perorangan dengan tata sosial dan kultural yang membesarkannya, sering kali justru diwakili oleh orang-orang terdekat. Kondisi semacam ini lebih menantang secara harfiah dan batiniah.
Di Nigeria, ketika mempromosikan novel berjudul Purple Hibiscus (2003) yang berkisah tentang suami yang suka memukul istri dan kisahnya tidak berakhir baik, Chimamanda mendapat tanggapan yang cukup menggelikan. Buku ini memang memboyong penghargaan Commonwealth Writers’ Prize dan Hurston/Wright Legacy Award, tapi segera saja dikatakan sebagai novel feminis.
Istilah feminis di Nigeria, bahkan juga di negara lebih maju pun, bukanlah hal yang bagus. Chimamanda segera dianggap "wanita tak bahagia karena sulit menemukan suami", terpengaruh secara negatif oleh buku-buku Barat karena feminis bukan budaya Afrika (klaim datang dari seorang wanita akademikus Nigeria), dan tentu yang sering salah dimengerti menjadi feminis berarti membenci laki-laki. Dengan cerdas, Chimamanda pun menciptakan sebutan eksistensial bagi dirinya, "seorang Feminis Afrika Bahagia yang Tidak Membenci Pria dan yang Suka Memakai Lip Gloss dan Sepatu Hak Tinggi untuk Dirinya Sendiri dan Bukan untuk Mengesankan Pria."
Meski dunia menciptakan tatanan yang terus berubah untuk menanggapi keterlibatan perempuan ataupun laki-laki dalam urusan lebih kolosal, laki-laki lebih tidak mengalami rintangan kultural untuk memimpin, berinovasi, atau sangat sepele bepergian sendirian. Takdir biologis sebagai laki-laki seolah-olah membawa kepastian bahwa laki-laki adalah sosok mandiri dan kuat, yang secara otomatis dianggap potensial kuasa. Chimamanda mencontohkan dari kejadian kecil. Saat ia memasuki hotel terbaik di Nigeria, ia ditanyai penjaga pintu masuk dan disodori pertanyaan seksis, "Apa nama dan nomor kamar yang hendak saya kunjungi? Bisakah saya membuktikan bahwa saya adalah tamu hotel dengan menunjukkan kartu kunci saya?-karena asumsi umum di sana adalah seorang wanita Nigeria yang masuk ke hotel sendirian pasti seorang pekerja seks. Sebab, perempuan Nigeria dianggap tak mungkin menjadi tamu dan membayar hotelnya sendiri."
Di bagian buku kedua, Chimamanda berangkat dari pertanyaan yang rumit meski kelihatan sederhana dari teman sekaligus ibu, "Bagaimana cara membesarkan anak perempuan menjadi seorang feminis?" Dalam pelbagai kebudayaan, memiliki dan mengasuh anak perempuan lebih memiliki beban moral. Patron-patron untuk mengatur dengan dalih menjaga, menjauhkan, atau menghindarkan ditegakkan lewat kebahasaan keseharian.
Chimamanda bercerita, "Seorang kenalan lain, seorang Amerika yang tinggal di Pacific Northwest, pernah mengatakan kepadaku, ketika ia membawa putranya yang berusia 1 tahun ke playground, dia memperhatikan bahwa para ibu yang memiliki anak perempuan terus-menerus menahan dan memberi tahu gadis-gadis itu untuk ‘jangan sentuh ini-itu’ atau ‘diam dan bersikap baik’, sementara para laki-laki didorong untuk mengeksplorasi lebih banyak, tidak sering dikendalikan, dan hampir tidak pernah diberi tahu untuk ‘diam dan bersikap baik."
"Jangan", "diam", dan "bersikap baik" adalah tiga kata kunci yang mungkin tak akan dikira membawa dampak jangka panjang motorik dan psikologis. Bahkan, sejak belia, seorang anak-hanya karena dia perempuan-harus mengikuti patron moralitas (dewasa) agar terlihat cukup baik dalam tatanan sosial. Di sini, ibu justru melanggengkan bahasa penghambatan dan menyemai seksisme tanpa sadar, entah terjadi di Amerika atau bukan.
Di kasus lain, Chimamanda menceritakan seorang teman yang tidak mau memanggil anak perempuannya dengan sebutan "tuan putri" dan lebih suka dengan sebutan "malaikat" atau "bintang". Merujuk pada dongeng, mitos, atau cerita rakyat, tuan putri sering dikondisikan pasif, terkungkung, atau menunggu diselamatkan. Hal ini menjadi alasan untuk mengganti sebutan yang terdengar sepele. Ada batasan yang dikaburkan dari istilah "malaikat" atau "bintang" yang mengartikan setiap anak-entah perempuan atau laki-laki-memiliki hak sama untuk bisa bersinar, cemerlang, mencintai, atau menjaga diri. Bahasa secara fundamental mencerminkan kesetaraan mewujud dan terjadi.
Pembaca boleh memuji dan bersyukur bahwa buku bertema gahar dan sering dianggap membosankan justru mendapat roh dari gaya bercerita yang lugas dan enteng, yang menyindir dengan jenaka serta menertawai secara bijak. Chimamanda tidak hanya mewakili dirinya, tapi juga para perempuan dalam konteks politik dan kultural.
Chimamanda bisa menghadirkan peristiwa dari skala keluarga sampai negara dengan tidak ngoyo, tidak menjadikan feminis dan feminisme sebagai retorika baru dunia modern. Menjadi feminis berarti memiliki laku dan upaya. Banyak dari kita, terutama perempuan, hidup dalam masyarakat dengan hierarki sosial dan otoritas politik yang kelihatan mapan tapi sebenarnya rapuh. Namun, seperti dikatakan Chimamanda, "Budaya tidak membentuk manusia. Manusialah yang membentuk budaya."
A Feminist Manifesto: Kita Semua Harus Menjadi Feminis
Penulis : Chimamanda Ngozi Adichie
Penerjemah : Winda A.
Penerbit : Odyssee Publishing
Cetak : Pertama, Agustus 2019
Tebal : 81 halaman
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo