Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Kata, Kata, dan Kata

Sebuah pertunjukan karya Goenawan Mohamad, menghadirkan surat-surat Karna. Ruang tak bergerak, hanya kata.

27 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBENARNYA panggung, atau pentas, itu “tidak ada”. Juga para pemeran, properti, lampu, gambar-gambar yang disorotkan, bahkan musik. Yang kita tangkap adalah kata, kata, kata. Kata yang membentuk kalimat, kalimat yang menyampaikan sesuatu. “Aku Radha, tapi tak bisa membaca.” Atau, “Ia berdusta, dengan sangat pintar.” Kalimat yang lain, “Aku menang atau tewas, akan menjawab siapa diriku.” Atau yang agak panjang, “Aku terbunuh, atau Arjuna, putra Anda tetaplah lima. Tapi anak bukanlah angka-angka.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentu saja kutipan itu di luar kepala, tak persis benar. Yang terbawa dalam ingatan—setelah keluar dari Teater Kotak Hitam Salihara, setelah sekitar 90 menit “mendengarkan” pergelaran Surat-Surat Karnaterasa lebih “murni” dibanding, misalnya, mengutip naskah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebetulan saya tahu cerita tentang Karna, Adipati Awangga, kadipaten di bawah Kerajaan Astina dari pertunjukan wayang kulit, dari komik R.A. Kosasih. Maka, selama duduk mendengarkan dalam keremangan itu, “sesuatu” yang terkandung dalam kalimat-kalimat yang diucapkan saya biarkan singgah, menyisih, untuk diisi kalimat yang menyusul; begitu seterusnya hingga lampu ruang teater dinyalakan.

Saya tak mencoba merangkai kalimat-kalimat itu menjadi sebuah cerita lengkap tentang Karna yang sudah saya ketahui. Tak hanya karena hal itu tidak perlu, bahkan sebenarnya tak ada dorongan untuk merangkai cerita. “Sesuatu” yang disampaikan kalimat-kalimat itu, sepotong atau beberapa potong, memang merupakan cerita, atau sebuah pernyataan; tapi merangkai cerita-cerita atau pernyataan-pernyataan itu menjadi, misalnya, riwayat Karna, bahan tersebut tidak mencukupi. Atau, selain dorongan menyusun cerita itu tidak ada, yang hadir lewat kalimat-kalimat tersebut adalah sugesti-sugesti yang merangsang imajinasi untuk lebih mengamati, mungkin merenungkan, perihal yang disarankan oleh kalimat-kalimat itu.

Pentas Surat-Surat Karna di Teater Salihara, 18 November 2022. TEMPO/Magang/Martin Yogi Pardamean

Memang, nyawa pergelaran ini berada pada kata, pada kalimat. Indra yang kita perlukan adalah pendengaran. Ambillah, misalnya, narasi Parashurama, guru spiritual dan kanuragan Karna. Sang guru (Landung Simatupang) suatu ketika terlelap berbantal paha Karna.

Ia terbangun karena merasakan sesuatu. Ternyata Karna pingsan; seekor kalajengking menempel di paha, menyengat dengan leluasa. Karna rupanya tak hendak membangunkan gurunya. Ia bertahan hingga pingsan. Peristiwa ini membuktikan keberbaktian Karna, sekaligus membukakan kebohongannya agar diterima berguru kepada Parasu yang hanya menerima murid dari keluarga brahmana. Yang dipertunjukkan oleh Karna adalah watak seorang kesatria.


Surat-Surat Karna

Penulis naskah dan sutradara:

Goenawan Mohamad

Pemeran:

Ananda Suputra, Faris Syauqi, Landung Simatupang, Rebecca Kezia, Ruth Marini, Syam Ancos Amar, Widi Kusumawardhani

Pendukung pergelaran:

Avianti Armand, Andra Kaliandi, Inanta Daniyya, Puiti Yusfid, Sri Hanuraga, Surya Bantrang Jenar, Upi Masjid, Adi Apriadi, Choki Sapta, Darmansyah, Mujayen, Dolly, Nike Rompas


Di area pergelaran hampir tak ada gerak, hanya gerak-gerak kecil Parashurama yang bercerita, gerak yang tak, misalnya, membantu kalimat-kalimatnya ekspresif. Kalimat-kalimat itu diucapkan dengan datar. Mungkin tata cahaya berubah gelap-terangnya, tapi juga “datar”—ruang tak bergerak, segala yang visual “tidak ada”.

Maka, jika “tak berakting” adalah juga akting, pergelaran ini bisa dibilang utuh dari awal sampai narasi terakhir: segala yang tak mengusik kata dan kalimat adalah “pemeran pembantu” yang berharga. Inikah konsep teater epik Bertolt Brecht? Saya tak tahu.

Jika Brecht ingin para pemeran tak “berubah” menjadi peran, dan pentas tidak diupayakan menjadi yang sehari-hari, barangkali di zaman itu, ketika teater “realistis” Stanislavski konon dominan, mungkin hal tersebut penting. Namun kini, ketika teater boleh “apa saja”, menurut saya tak perlu benar Brecht atau bukan Brecht.

Ketika kata dan kalimat sampai ke kita, dan unsur-unsur lain pergelaran tidak mengusik, adalah perenungan, mungkin diskusi tentang “isi” narasi-narasi yang sampai kepada kita. Pentas itu, selain kata, sebenarnya “tidak ada.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bambang Bujono

Bambang Bujono

Kurator dan penulis ulasan seni

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus