Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiba-tiba saja Titarubi tampil dengan secarik tradisi. Sebagai seorang perupa yang karya-karyanya selama ini tidak kental dengan unsur tradisi, pamerannya kali ini di Galeri Cemara menjadi sesuatu yang menarik. Titarubi, 35 tahun, menampilkan patung-patung kepala anak yang digurat aksara bacaan-bacaan doa Islam. Tentu saja Tita tidak berpretensi memasuki wilayah agama, apalagi untuk memasuki perdebatan apakah rajah dalam Islam diperbolehkan ditulis di tubuh.
Syahdan, di Bali, rajah penangkal sering ditampilkan dalam gambar manusia atau hewan yang ditorehi mantram-mantram sakral berhuruf Bali kuno. Mereka percaya bahwa rajah bisa menjadi semacam jimat atau pelindung dari gangguan manusia atau jin. Di masa lalu, sekujur tubuh orang Mentawai bahkan bisa berselimutkan rajah. Sayang, kini sulit menemukan kesenian itu.
Untuk Titarubi, ini adalah bagian dari perhatiannya terhadap persoalan perempuan. Tita pernah menampilkan instalasi dan performance tentang embrio. Sebuah sosok dengan bentuk embrio dengan tali pusar yang diringkukkan ke toples atau kantong plastik ini tampaknya seperti sebuah protes aborsi atau promiskuitas. Titarubi juga pernah menampilkan patung tubuh-tubuh yang tak lengkap, presentasi tubuh perempuan yang penuh ancaman. Kini ia mengangkat persoalan kecemasan keluarga di rumah. Patung-patung kepala dengan tulisan Arab itu adalah visualisasi dari Gendis dan Charkul, dua putri tersayangnya.
Hidup di sebuah negara dengan tingkat diskriminasi atau pelecehan bagi perempuan yang masih tinggi tentu membuat dia sebagai seorang ibu cemas akan keselamatan dua putrinya di masa depan. Ia menorehkan doa-doa populer pada kepala-kepala itu, seperti doa meminta rezeki, doa dari Nabi Ibrahim, dan doa Qunut, yang sering didaraskan di langgar-langgar atau dihafalkan di sekolah dasar. Doa itu diambil dari buku kumpulan doa, edisi murah, yang bisa dibeli di kaki lima mana pun di Yogya, apalagi saat Sekaten tiba.
Ditata berderet dengan posisi yang sama, setiap kepala gundul itu digurat dengan doa yang berbeda-beda. Seluruh muka hingga bagian belakang kepala mulai kelopak mata, hidung, telinga, tengkuk, batok, sampai bibir diselimuti ayat-ayat. Di bagian muka, misalnya, ada goresan doa yang terjemahannya adalah "Ya, Allah, ampunilah dosaku dan kedua orang tuaku. Berikan kasih pada mereka sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil...." Adapun dua tangan mungil diangkat dengan telapak tangan menghadap ke depan. Antara kepala dan telapak berbeda doa: "Ya, Tuhanku, jadikan istri dan anak keturunanku penenteram jiwa...."
Justru karena tidak ada ilustrasi, hanya ada aksara-aksara yang dibubuh demikian rapi, padat, rinci, dan halus, patung-patung ini menjelma menjadi karya yang memikat. Penyajiannya memperlihatkan bahwa karya ini membutuhkan penggarapan dengan ketelatenan yang tinggi.
Paras dingin, tanpa senyum, bahkan pupil mata yang juga ditorehi aksara Arab menimbulkan sensasi visual tertentu: "Proses dilakukan secara manual sebelum pembakaran, harus dengan hati-hati sekali," kata lulusan Jurusan Seni Murni Institut Teknologi Bandung itu.
Selain menampilkan patung, Tita memamerkan relief wajah anak-anaknya dengan teknik cetak tanah liat, graver di atas kaca, dan cetak relief aluminium berbentuk kotak-kotak bujur sangkar. Karya ini malah mengingatkan kita akan hiasan dinding dekoratif populer santo-santo yang banyak terpasang di gereja. Simak Melihatlah Lebih Dekat, karya keramik stoneware di atas kaca: sang anak dengan wajah polos dengan posisi telapak tangan ke depan seperti berkhalwat.
Tita menyadarkan kita bahwa sebuah imaji visual yang subtil dapat datang dari mengolah hal-hal yang dekat, akrab, yang ditemukan di lingkungan rumah tangga sehari-hari. Siapa yang mengira buku kumpulan doa sederhana dapat menjadi karya yang unik? Sering para perupa kita terlalu menyederhanakan pencarian bentuk, menonjolkan gagasan dahsyat tapi miskin craftsmanship dan kejutan bentuk, yang pada akhirnya hanya menempatkan karya sebagai ilustrasi dari wacana yang diajukan.
Dalam hal ini, Tita "selamat" dari perangkap itu. Tato, rajah, dan gagasan tentang kecemasan terhadap masa depan anak adalah dua hal yang sesungguhnya terpisah dan tak ada kaitannya sama sekali. Tapi, dalam pameran bertajuk Bayang-Bayang Maha Kecil, Titarubi bisa menyatukannya dalam visualisasi kuat sekaligus puitis.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo