Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yo, man, kita pesta rambut gimbal!! Yang berambut lurus, keriting, cepak atau gundul, juga yang berambut bak kulit durian khas anakanak punk, tak masuk dalam undangan. Silakan para ”nongimbal” ini mengintip dari luar. Atau, kalau ingin masuk ke Apache Reggae Bar, Kuta, Bali, go ahead duduk manis menyaksikan aksi para pemuja Bob Marley itu.
Senin malam pekan lalu, lebih dari 50 pemuda berambut gimbal merayakan ulang tahun sang ”duta besar” musik reggae ke61. Nama acaranya ”Dreadlock Community”. Pengunjung satu per satu dipersilakan tampil ke panggung untuk memamerkan kekhasan rambut gimbalnya dan bergaya bak penyanyi Jamaika itu. Lagulagu Marley berdentam mengiringi penampilan.
Sebagian besar peserta adalah warga Bali. Gampang saja menandai mereka ini: medok jika mengucapkan ”t” terulur di ujung lidah. Sisanya para bule dan wisatawan Asia. Mereka berebut predikat ”gimbal terpanjang”, ”gimbal terbaik”, ”cewek gimbal terbaik”, dan ”paling mirip Bob Marley”.
Sembari bernyanyi, beberapa peserta tampak meneriakkan ”hidup Rastafari!”. Rastafari adalah kaum pemeluk Jah (Tuhan) yang hidup subur di Jamaika, Dominika, Trinidad, dan Ethiopia pada 1960an. Ciriciri kaum ini antara lain berambut gimbal, mengisap mariyuana, tak makan makanan yang bersentuhan dengan bahan kimia, dan menyuarakan pesan damai. Reggae menjadi musik keseharian kaum ini. Dan Marley menjadi ”nabi” kaum Rasta.
Lomba pamer rambut gimbal ini telah berlangsung selama tiga tahun. Ini bagian dari kegiatan tahunan komunitas reggae di Pulau Dewata itu. Selain di Bali, komunitas reggae juga tumbuh di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Purwokerto, dan Lombok.
Pemenang penampilan malam itu tentu tak ditentukan lewat SMS. Peserta yang mendapat aplaus meriah dari pengunjung, bergaya mirip Marley, dan ”berambut gimbal asli”, kata Sariana, Marketing Manager Apache, segera saja ditetapkan sebagai pemenang.
Hadiah? Tak penting. Yang penting, mereka tenggelam dalam kegembiraan bermusik reggae hingga larut malam. Tak penting pula peserta lomba itu semestinya mengetahui lebih jauh bahwa rambut gimbal yang panjang, tak terawat, bahkan yang tak pernah disisir dan dicuci, justru menurut kaum Rasta adalah yang paling ”mulia” bagi Jah.
Bagi Joni Agung, 33 tahun, salah seorang pemusik reggae di Bali, ”kemuliaan” itu tak harus dituruti. Ia justru memasukkan unsur ritual Hindu Bali dalam memperlakukan rambut gimbalnya: 15 hari sekali keramas untuk penyucian pikiran, kemudian enam bulan sekali keramas ke 14 mata air untuk pembersihan total.
Berbeda dengan pemusik reggae Jamaika yang menghisap mariyuana di panggung konser, pemusik Indonesia mengharamkan mariyuana.
”Selain dilarang, melanggar hukum, juga sangat merusak kesehatan. Palingpaling, ya, kami minum alkohol kalau mau pentas. Kami menyebutnya narkoca alias narkoba cair,” Edhot, anggota grup Counter Rasta, Purwokerto, berseloroh.
”Tapi minuman alkohol itu bukan pula dijadikan syarat atau ritual. Hanya untuk isengiseng,” ucapnya.
Counter Rasta lebih mengambil spirit ”cinta damai” yang menjadi ideologi kaum Rasta untuk tematema musik mereka. Lagu Story of Love kelompok ini masuk dalam album 1st Indonesian Reggae Revolution yang diluncurkan pekan lalu.
Komunitas reggae di ”kota mendoan” ini biasanya berkumpul di Paduka FM, salah satu radio anak muda di Purwokerto. Selain main reguler di kafe, Counter Rasta biasanya memenuhi undangan tampil di sekolah, kampus, atau parade band di kabupaten tetangga seperti Purbalingga, Banjarnegara, dan Bumiayu.
Di Yogyakarta, komunitas reggae nongkrong di Bintang Resto, kawasan Sosrowijayan, setiap Jumat malam. Juga di sudut Fakultas Filsafat UGM dan di markas radio Star FM. Radio ini memiliki program khusus menyiarkan lagulagu reggae setiap Kamis malam.
Dari berbagai tempat nongkrong itu muncul grup reggae Papua, Marapu, Kuripasai Band, Kowena, dan Shaggy Dog. Kelompok yang terakhir ini telah memiliki empat album. Shaggy pada 25 Februari mendatang akan melawat ke Eropa, memenuhi undangan festival reggae di Belgia dan Belanda.
Apakah anggota kelompok Shaggy Dog berambut gimbal? Tidak. ”Itu bukan roh reggae dan kami tidak fanatik pada satu aliran musik. Kami bisa mendengar musik lain seperti jazz dan dangdut,” kata Memet, Manajer Shaggy Dog.
Rofiqi Hasan (Denpasar), L.N. Idayanie (Yogyakarta), Ary Adji (Purwokerto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo