MINYAK DALAM POLITIK Oleh: Cystein Noreng Penerbit: CV Rajawali, Jakarta 1983, 252 halaman. DI mana jantung negara industri terletak? Sambil memandang peta kawasan Timur Iengah, seorang ahll ekonomi menjawab, "Di Teluk Persia." Pada akhir 19Y0, hampir 40% kebutuhan minyak Amerika. Eropa, dan Jepang datang dari negara-negara Teluk itu. Bagi Amerika, jalan sempit di Selat Hormuz. yang memisahkan Oman dan Iran, adalah urat nadi industri di Detroit dan Torino. Karena itu, cukup alasan, ketika Presiden Carter memandang perlu membentuk pasukan gerak cepat lintas udara (rapid deployment force) untuk memayungi Teluk Persia. Sejak itu, untuk kesekian kalinya, gengsi si hitam tadi naik kembali ke pentas politik. Dan buku ini, yang judul aslinya Oil Politics in the 1980s, Patternls of Interlational Cooperation tidak Iengkap kalau tidak memasukkan peristiwa politik mutakhir itu. Dr. Amin Kais, yang mengantarkan buku ini kepada kita, melilat bahwa gengsi minyak mulai naih sesudah sejumlah anggota OPEC menggunakannya dalam embargo terhadap konsumen Erropa dan Amerika, pada 1973 - 1974, untuk menguraangi dukungan Washington pada Tel Aviv. Sejak itu, sesudah harga minyak sedikit demi sedikit mulai naik, sejumlah negara industrl mulai memandang perlu untuk, antara lain, mengadakan cadangan strategis, melakukan penghematan, dan mencari sumber energi lain. Meroketnya harga minyak - pada akhir Oktober 1980, harga Arabian Light Crude di pasar spot (tunai) Amsterdam pernah mencapai US$ 35 per barel - memaksa sejumlah negara industri melakukan serentetan tindakan itu. Tapi apa yang terjadi? Biaya produksi minyak sintetis - yang dibuat dari batu bara, pasir aspal, ataupun minyak padat - ternyata mencapai US$ 25 sampai 40 per barel, atau dua sampai tiga kali dibandingkan biaya minyak konvensional (halaman 135). Belakangan, usaha itu - sesaat sesudah Barat disodok resesi - akhirnya dianggap tidak ekonomis lagi. Maklum, pada akhir 1982, tampak tanda-tanda harga si petro mulai goyang. Dan kini, seperti Anda ketahui sesudah pihak pembeli berada di atas angin harganya menjadi US 29 per barel. Sayang, tentu, jika perkembangan yang sudah terlihat sejak awal l983 itu tak terekam - setidaknya dalam pengantar. Eddy Herwanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini