Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Santri Hadramaut Pulang Kampung

24 Februari 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM Idul Adha di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Serombongan pria berjanggut lengkap dengan jubah dan sorban tampak berjalan beriringan seraya mendorong kereta barang di Pintu I Terminal D, Kamis pekan lalu. Mau takbiran? Bukan. Mereka ini rombongan pelajar dan mahasiswa Indonesia yang baru saja mendarat dari Yaman, Timur Tengah, setelah sekitar sebulan ditahan di sana. Sejak November tahun lalu, Presiden Ali Abdullah memang gencar memburu para tersangka teroris di negerinya sendiri. Tindakan ini berkaitan dengan kampanye antiteroris Amerika Serikat menyusul serangan menara kembar World Trade Center dan Pentagon, 11 September 2001. Dalam perburuan tersebut, 44 warga negara Indonesia yang sedang belajar di sana ikut terciduk. Pelajar asing yang ditahan mencapai 101 orang. Selain dari Indonesia, mereka berasal dari Pakistan, Inggris, Prancis, Libia, Somalia, Sudan, dan Mesir. Sebagian besar pelajar dan mahasiswa Indonesia yang ditangkap itu menimba ilmu di Perguruan Darul Hadits Ma?rif dan Darul Musthofa, di wilayah Hadramaut. Ini sebuah kawasan yang sangat populer bagi kalangan santri di Indonesia. Tapi, masalahnya, dua perguruan itu tak diakui pemerintah setempat sebagai tempat pendidikan resmi. ?Tapi mereka masuk ke Yaman secara legal,? kata Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda kepada Agus S. Riyanto dari TEMPO. Padahal, bagi umumnya penduduk Yaman, orang Indonesia bukanlah orang asing. Banyak keturunan Arab di Jakarta yang nenek moyangnya berasal dari sana. Tapi fakta politik bicara lain. Penangkapan berawal ketika 20 orang santri asal Indonesia itu diundang ke Amensiasi, badan keamanan politik Yaman. Panggilan itu rupanya berubah menjadi pemeriksaan. ?Selama dua sampai tiga hari saya diinterogasi,? kata Mujahid. Barang-barang miliknya dirampas. Setelah itu, ia digiring dan dimasukkan ke penjara dengan pengamanan ketat. Staf Kedutaan Besar RI di Yaman pun tidak bisa menemuinya. Beruntung, istri dan anak-anaknya masih boleh menengoknya. Kadang-kadang, untuk membuka kontak, Mujahid cari akal: menyelipkan surat di antara lipatan-lipatan surban anaknya. Setelah satu bulan, Mujahid dipindahkan ke penjara lain. Ia ditempatkan di sel bawah tanah yang berukuran 8x4 meter. Sel tersebut punya empat buah jendela berukuran 30x30 senti-meter, dua di antaranya terbuka. ?Itu kamar yang paling baik di sana,? Mujahid mengenang. Di situ dia bertemu teman-teman dari Indonesia yang lain yang sudah lebih dulu ditahan. Di sel sempit itu dirinya harus tidur berjajar satu sama lain dan terisolasi dari dunia luar. ?Istri dan anak saya tak boleh berkunjung lagi,? katanya sedih. ?Saya dituduh terlibat terorisme,? kata Mujahid Abu Cholil, 36 tahun, salah seorang anggota rombongan, kepada Komet Multazam dari Tempo News Room. Tuduhan itu tentu saja ditolaknya. Pria asal Banaran, Sragen, Jawa Tengah ini mengaku dulunya cuma aktivis di Islamic Centre Majlis At Turots al-Islam, Piyungan, Bantul, Yogyakarta. Ini yayasan yang mengelola dunia pendidikan. Tri Madiyono, perintis yayasan tersebut, membenarkan bahwa Mujahid memang pernah mengajar di sana. Mujahid berangkat setelah mendapat rekomendasi dari yayasan, bersama 15 pelajar lainnya, sejak 29 Januari 2000. Yaman dipilih karena di sana ada seorang ulama Sunni terkenal, Syaikh Abul Hasan al-Sulaiman. ?Selain itu, proses ke Yaman itu mudah,? kata Mujahid, yang akhirnya menimba ilmu di Perguruan Darul Hadits Ma?rif. Banyak perguruan Islam di Indonesia yang punya kontak khusus dengan lembaga dakwah di sana. Pula, hubungan diplomatik RI-Yaman oke-oke saja. Tahun lalu, Presiden Abdurrahman Wahid ketika berkuasa melakukan kunjungan kenegaraan dan disambut hangat di negeri yang terkenal dengan madu Arab-nya itu. Karena itu, tindakan hantam kromo ini terasa janggal. Mujahid mengungkapkan, sebenarnya pihak Yaman bisa memahami statusnya yang tak berkaitan dengan terorisme. Bahkan, kata dia, salah seorang petugas yang memeriksa sempat berkata, ?Anda bukan teroris, tapi kami ditekan AS.? Untunglah, staf dari KBRI akhirnya bisa menemukan Mujahid dan kawan-kawan. Setelah melewati serangkaian proses diplomatik, mereka dikeluarkan dari penjara hingga dipulangkan ke Tanah Air. Pemerintah Yaman belakangan meminta maaf. Mereka mengakui kesalahannya asal tangkap terhadap pelajar dan mahasiswa Indonesia. Mereka tidak menemukan bukti-bukti yang ditudingkan itu. Tapi Mujahid telanjur pulang. Ia berencana tinggal di rumah saudaranya di Jakarta. Setelah itu, ia menimbang dua pilihan berat: mengajar di Yogya atau kembali belajar di Hadramaut. ?Saya menemukan seorang guru di sana,? kata Mujahid. Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus