IRAN BETWEEN TWO REVOLUTIONS Oleh: Ervand Abrahamian Penerbit: Princeton University Press, New Jersey, 1982, 561 halaman SETELAH Iran bergolak, 1979, banyak penulis mencoba menerangkan dasar revolusi itu dan rahasia Khomeini menggulingkan Syah Pahlevi yang tampak tangguh dan perkasa. Fenomena revolusi Iran memang sangat mengejutkan para ilmuwan sosial, karena, dalam kerangka teori mereka, gebrakan Khomeini itu tidak dapat dibayangkan, kecuali pada saat-saat terakhir menjelang pecahnya peristiwa. Banyak teori diajukan tentang sebabsebab berkobarnya revolusi Iran. Salah satu teori sederhana diajukan ahli ilmu politik dan bekas menlu Amerika Serikat Henry Kissinger: akibat modernisasi yang terlalu cepat, sementara lapisan massa tradisional belum siap menerima perubahan itu, ditambah dengan kesenjangan yang makin lebar antara elite politik dan massa rakyat. Semuanya telah menjadi sumber utama protes revolusioner rakyat Iran. Di antara puluhan tulisan tentang revolusi Iran 1979, buku Iran between two Revolutions, karya Ervanc Abrahamian, cukup berhasil memaparkan sebab-sebab keberhasilan gerakan Khomeini, serta menyodorkan analisa berdasarkan sosiologi politik. Abrahamian mengatakan, analisa interaksi organisasi politik dan kekuatan sosial yang ada, serta analisa kelas dapat memperjelas duduk masalah dua revolusi di Iran, yakni revolusi konstitusional (1905 - 1908) dan revolusi Islam (1979). Revolusi konstitusional 1905 berhasil mengakhiri kekuasaan dinasti Qajar yang bercokol sejak abad ke-16. Kaum inteligensia dan kelas menengah memimpin revolusi ini setelah mengalami alienasi ekonomi, politik, dan ideologi dari dinasti Qajar di bawah Muzaffar al-Din Shah. Revolusi 1905 banyak berutang budi pada pemikir revolusioner seperti Jamaluddin al-Afghani dan Mirza Malkum Khan, walau arus konstitusionalisme, nasionalisme, liberalisme, dan sosialisme juga mempunyai andil besar dalam mendorong revolusi itu. Kaum inteligensia modern dan kelas menengah tradisional Iran pada awal abad ke-20 bersatu, kendati banyak perbedaan penting di antara keduanya. Kedua kelompok ini menyadari bahwa dinasti Qajar tidak saja bangkrut secara finansial dan moral, serta tidak efektif lagi secara administratif, melainkan juga bangkrut di bidang militer. Selama revolusi politik, 1905 sampai 1909, Dewan Konstituante Nasional Iran jatuhbangun untuk merumuskan konstitusi bagi "Mellat-i Iran" atau "Bangsa Iran" -suatu istilah yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Sayang, pemerintahan Iran berdasarkan konstitusi 1909 berantakan dan mengalami disintegrasi, karena konflik tajam di antara dua partai yang mewakili kekuatan reformis dan konservatif. Ditambah dengan meluasnya perang antarsuku dan pemerintahan otonom yang tidak tunduk pada otoritas pusat di Azerbaijan, Gilani, Kurdistan, Arabistan, dan Baluchistan, impian revolusi 1905 menjadi buyar. Di tengah krisis politik, yang memuncak pada 1921, Kolonel Reza Khan dari Divisi Kossack melakukan kudeta, dan mengembalikan sistem monarki. Bila revolusi 1905 menggeser despotisme dinasti Qajar dengan konstitusi liberal, maka kudeta 1921 menghancurkan struktur parlementer dengan di dirikannya otokrasi Reza Pahlevi. Dinasti Pahlevi, yang selama memerintah Iran sering menghadapi protes keras, sempat tergusur sebentar dengan tampilnya Mossadeq sebagai perdana menteri (1951- 1953). Tetapi kemudian Muhammad Pahlevi, anak Reza Khan, berhasil kembali menduduki singgasana merak dengan bantuan Inggris dan negara Barat lainnya, yang tidak ingm mehhat percobaan demokrasi dan sosialisme di Iran. Shahanshah (rajadiraja) Muhammad Pahlevi sangat keranjingan melakukan modernisasi, dan berhasil menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara tuntas. Mengapa rezim Pahlevi, yang kelihatan sangat perkasa dan ditopang dengan kekuatan mlhter terbesar di Timur Tengah itu, kemudian hancur seperti rumah karton ditiup angin? Mengapa akselerasi modernisasi bukannya membawa Iran kepada sekularisasi (seperti tesis ilmu sosial pada umumnya), malah melahirkan suatu pemerintahan yang sangat religius? Mengapa pula urbanisasi yang seharusnya melahirkan berbagai kelas modern, tetapi malah memperkuat kelompok tradisional Iran? Berbagai masalah yang berkaitan dengan pertanyaan di atas dicoba dijawab Abrahamian dalam bukunya yang cukup tebal ini. Fungsi Khomeini bagi revolusi Iran 1979 bagaikan Lenin, Mao dan Castro bagi revolusirevolusi Bolshevik, Cina, dan Kuba. Kekuatan Khomeini, antara lain, terletak pada kepribadiannya yang bersih dan karismatik serta antikompromi. Di tengah-tengah korupsl dan hlpokrisi yang melanda masyarakat Iran, Khomeini bagaikan bintang cemerlang yang membawa harapan. Perlawanannya terhadap Syah yang konsisten menarik perhatian sebagian besar rakyat Iran. Keistimewaan lainnya, dan sekaligus kekuatan Khomeini, adalah ketajaman dan kecerdasannya membaca situasi politik Iran. Ia berhasil menjadi titik temu hampir seluruh protes berbagai kekuatan sosial-politik di Iran. Garis perjuangan Khomeini adalah menegakkan keadilan sosial dan pembebasan Iran dari pengaruh asing. Tema perjuangan Khomeini itu menarik lapisan bazaari (kelas menengah tradisional), kelompok inteligensia (rushanfikr), kaum petani (dehqanan), dan terutama sekali rakyat kecil yang tertindas (mustadh'afien). Kelompok-kelompok itu melihat Khomeini sebagai "pembebas" yang sudah lama dinantikan. Semakin keras tekanan Syah Pahlevi pada rakyatnya, semakin mencuat popularitas dan pengaruh Khomeini. Hampir dalam setiap ceramah dan tulisannya, Khomeini mengingatkan fungsi Islam sebagai pembebas mustadh'afien, dan pada gilirannya isu yang dikemukakannya dapat menenggelamkan isu yang dllancarkan kekuatan Tudch dan kelmpok kiri lainnya. Abrahamian juga mencatat, ikutnya kelompok inteligensia, yang banyak di pengaruhi oleh karya Ali Shariati, ke kubu Khomeini disebabkan kecerdikan sang ayatullah membuat isu perjuangan bersama. Misalnya, isu anti-imperialisme, antimonarki, perlunya revolusi politik dan kebudayaan, serta pentingnya menjadikan Islam sebagai sumber perubahan sosial. Malah, menurut Abrahamian, para pengikut Shariati yang mula-mula mengangkat Khomeini sebagai imam. Abrahamian berkesimpulan bahwa kekuatan Khomeini, para mullah dan pendukungnya (kaum inteligensia, bazaari, petani, buruh dan "mustadh'afien"), terlalu kuat untuk diimbangi kekuatan oposisi, misalnya, Mujahidin Khalq. Sehingga ungkapan "revolusi akan memakan anak-anaknya sendiri" tidak berlaku di Iran. Bahwa konflik pokok di Iran sekarang adalah konflik internal antara mullah konservatif dan mullah progresif juga menunjukkan ketepatan prediksi Abrahamian. Pendek kata, buku ini tidak saja informatif, tapi analisa sosiologi-politiknya sangat menarik - berbeda dengan pendekatan struktural-fungsional, pendekatan elite maupun pendekatan "behavioral" yang sudah agak usang. M. Amien Rais * Dosen Sejarah Diplomasi Timur Tengah pada Fakukas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini