SEBUAH buku tentang Jenderal Soedirman dilarang beredar oleh Jaksa Agung Hari Suharto, S.H. Buku ini bukan biografi panglima besar ABRI itu, juga bukan buku sejarah pegangan murid sekolah lanjutan. Tapi, sebuah kumpulan karangan yang mengulas peranan dan tingkah laku politik Soedirman, sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai Pengakuan Kedaulatan, 27 Desember 1949. Alasan pelarangan, seperti dikutip KNI, dua pekan lalu, buku ini dinilai dapat menyesatkan generasi muda yang tidak hidup sezaman dengan Panglima Besar. Buku berjudul Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman itu, yang diterbitkan oleh PT Karya Unipress, Jakarta, adalah karya empat penulis: Dr. A.H. Nasution, Dr. H. Roeslan Abdulgani, Prof. S.I. Poeradisastra, dan Sides Sudyarto. Tapi dalam surat keputusan Jaksa Agung (Nomor: KEP167 /J.A./8/1984) hanya dua tulisan yang dinilai "berbahaya". Yakni, tulisan berjudul "Hubungan Panglima Besar Soedirman dengan Persatuan Perjuangan" karya Poeradisastra dan "Tingkah Laku Politik Panglima Besar Jenderal Soedirman" tulisan Sides Sudyarto. Kedua tulisan ini, menurut Jaksa Agung, "dapat menimbulkan sikap ragu-ragu atas pengabdian Panglima Besar Soedirman, terutama bagi generasi yang tidak mengalami perjuangan fisik dalam era purnakemerdekaan". Juga dinilai, "Dapat menumbuhkan sikap- sinis rakyat Indonesia terhadap pengabdian ABRI." Contohnya? Sebuah sumber di Kejaksaan Agung mengatakan, dalam tulisan Poeradisastra disebut Jenderal Soedirman menyokong Persatuan Perjuangan yang beraliran kiri. "Itu bisa menyesatkan," katanya. Sumber TEMPO yang lain, seorang sejarawan di Pusat Sejarah ABRI, yang menjumpai delapan kekeliruan Poeradisastra, memperjelas keterangan petugas Kejaksaan Agung itu. Kehadiran Panglima Besar Soedirman pada sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Solo, 25-28 Januari 1946, yang diklaim Poeradisastra sebagai menyokong Persatuan Perjuangan (halaman 64-65), adalah tidak benar. "Waktu itu 'kan suasana revolusi, dan Pak Dirman, sebagai pemimpin tentara, bisa saja hadir pada pertemuan sebuah kelompok. Tapi tidak harus diklaim sebagai anggota kelompok bersangkutan " tutur sumber TEMPO itu. Hal lain, yang juga disayangkan sejarawan ABRI itu, Poeradisastra hanya mengutip bahan tulisan dari buku orang-orang Persatuan Perjuangan, kelompok Tan Malaka. Ini, katanya, terlihat dari pemaparan Peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta. Ditulis Poeradisastra seolah-olah Soedirman memerintahkan untuk mengajukan petisi kepada Presiden Soekarno supaya di lakukan perubahan dalam pemerintahan. "Ini juga tidak benar, dan sudah di bantah dalam memoar yang ditulis Mohammad Hatta," ujar sejarawan itu. "Rupanya, memoar Hatta dan buku Nasution tak digunakan Poeradisastra sebagai referensi." Ia kemudian menambahkan, "Poeradisastra mencoba melogiskan fakta-fakta sesuai dengan interpretasi yang diinginkan, sehingga tulisannya itu penuh unkapan pohtis, dan, saya kira, tujuannya ideologis." Sides Sudyarto yang punya ide dan sekaligus editor buku ini, menolak memberikan komentar mengenai pelarangan tersebut. "Saya belum membaca surat keputusan Jaksa Agung itu," katanya. Bekas Kepala Staf Angkatan Perang RI T.B. Simatupang, yang di awal kemerdekaan banyak berhubungan dengan Jenderal Soedirman, menilai buku ini memang kurang layak. Dalam resensinya untuk TEMPO (21 Januari 1984), Simatupang menulis: "Keempat karangan dalam buku ini tidak memberikan pertanggungjawaban mengenai apa yang mereka maksud dengan tingkah laku politik. Karena itu, terasa kurang adanya kerangka konsepsional dalam uraian mereka mengenai tema buku ini." Buku Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman ini mungkin bisa menyesatkan. Tapi pelarangannya juga punya dampak lain. Buku ini akan jadi populer dan dicari-cari orang secara diam-diam. Maka, cara paling jitu untuk meluruskan sejarah perjuangan Pak Dirman, barangkali, adalah mengeluarkan buku pembanding.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini