Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengapa tidak

Tidak ada kebencian rasial, yang ada kecemburuan akibat tingkat hidup yang berbeda. dan mungkin kesenjangan ekonomi itu akibat ketrampilan yang tak merata, maka peningkatan kualitas manusia perlu ada. (kl)

5 Januari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SARIMIN dan Khou Kek Beng berasal dariJepara. Ketika masih sama-sama kere, mereka akur bagai sepasang katak dari satu liang. Hari demi hari, terasa keganjilan. Sarimin hidupnya terengah-engah, Khou Kek Beng sebaliknya. Sarimin masih bergulat di kaki lima, Khou Kek Beng sudah punya toserba. Sarimin gagal peroleh kredit KIK walau sudah menyembah-nyembah hingga jidatnya terantuk tanah, Khou Kek Beng peroleh kredit besar hanya dengan kerdipan mata. Hidup Khou seperti bertengger di awan, hidup Sarimin tetap dalam lubang yang dulu. Mulanya Sarimin menganggap ini semata-mata suratan nasib, karena itu tidak perlu jadi pikiran benar. Tapi karena jarak keduanya makin melebar, Sarimin merasa ada yang tidak beres. Ini pasti ada manipulasi garis-garis yang sudah ditentukan dari langit. Sedikitnya, ada penyimpangan sistem. Makanya ia mulai membenci Khou, kalau bisa malah kepingin menyiramnya dengan air comberan. Keakuran masa Jepara berubah menjadi kebencian etnis. Sarimin suka berdiri di muka kaca, memeriksa warna kulit, meneliti lebar mata, membanding-banding letak geraham, bahkan menghitung-hitung jumlah bulu. Ya, memang ada beda dia dengan Khou. Memang ada beda kaki lima dengan toserba. Khou Kek Beng merasakan betul perubahan itu. Baiklah Sarimin, katanya pada suatu hari. Mulai nanti sore namaku kuganti menjadi Paijo aku mau kawin sama Inem, gadis centil teman naik kebo tempo hari, asal saja kamu stop perbuatan berdiri di muka cermin, stop menganggapku keturunan tuyul, stop membenciku seakan aku ini seekor biawak. Hanya saja, mengharap agar aku kembali jadi kere rasanya sulit. Kamu kira pekerjaan gampang buat seorang pengusaha toserba berubah jadi kere dalam semalam? Ini memerlukan seminar berbulan-bulan. Sarimin tidak ambil pusing, dia tetap mengumpat hingga timbangan badannya turun dan gusinya bengkak. Dia ingin gantung diri, tapi tidak punya keberanian. Kisah dua hamba Allah ini sampai ke kuping Yayasan Prasetiya Mulya yang gedungnya baru saja diresmikan di Jakarta, dan pada waktu yang hampir berbarengan sampai pula ke telinga Dr. Mubyarto di Universitas Gadjah Mada sana. Keduanya merenung semalam suntuk, dan keduanya sampai pada kesimpulan: masalahnya bukan terletak pada beda etnis masalahnya terletak pada kesenjangan sosial ekonomis. Tak ada itu benci rasial yang ada kecemburuan akibat tingkat hidup berbeda. Percuma saja Sarimin berdiri di muka kaca periksa beda lebar mata dan warna kulit dan jumlah bulu - karena selain tidak memecahkan soal, juga kedengarannya primitif. Percuma saja Khou Kek Beng ganti nama dan persunting Inem baik penumpak kebo ataupun macan. Khou Kek Beng atau Paijo, Inem atau nonInem, sama saJa dilihat darl arah bintang. Jadi bagaimana? Yayasan Prasetiya Mulya pimpinan Sudono Salim anggap perlu tingkatkan kualitas manusia lewat didikan manajemen, karena jangan-jangan kesenjangan sosial ekonomi itu disebabkan oleh mutu keterampilan tak merata - hingga seorang Sarimin tetap melata di bumi sedangkan Khou Kek Beng sanggup uncang-uncang kaki di awan. Beda kualitas memisahkan keduanya. Dan Dr. Mubyarto anggap kesenjangan itu disebabkan oleh sistem yang tidak kena, karena itu jalan ekonomi mesti diluruskan di atas rel Pancasila. Memang betul Psikolog Arief Budiman anggap gagasan Mubyarto tak lain impian yang bakal kempes di tengah jalan dan memang betul Ekonom Kwik Kian Gie tidak paham apa sebetulnya yang dimaksudkan Mubyarto. Bagaimana kalau Yayasan Prasetiya Mulya Sudono Saiim ambil prakarsa mendiskusikan Ekonomi Pancasila-nya Mubyarto dalam satu forum nasional? Siapa tahu Sarimin dan Khou Kek Beng bisa kembali akrab seperti sedia kala.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus