ALANGKAH bahagianya Robert "Bob" James. Dari sebuah kota kecil di Negara Bagian Missouri, AS, ia meletakkan namanya ke dalam legenda tersendiri dunia musik jazz. Kendati musikus bertangan kidal itu sebenarnya tidak menyumbangkan hal baru, konsistensi dan keseriusannya, ditambah sedikit bakat menjadikannya punya merk dagang tersendiri. Alangkah bahagianya Bob karena pekan lalu bisa menikmati liburannya: ke Indonesia tanpa harus mengeluarkan barang sepeser. Di sini ia boleh mengenal keindahan musik gamelan Bali dan menikmatinya sepanjang malam. Bahwa Pete Gontha, produser kelompok jazz Bhaskara, mau membiayai perjalanan panjangnya melewati dua samudra dan dua benua, inilah salah satu manfaat yang patut dari kerja keras dan kesungguhan itu. Dari sebuah keluarga kecil yang saleh, Bob, yang dilahirkan di Hari Natal 1939 berangkat mengenal musik gerejawi -- yang mengharamkan improvisasi. Dan acara-acara gereja menjadi panggungnya yang pertama. Dan suara sopran Kattie kakak perempuannya, adalah yang harus ditaklukkannya. Kemudian ia masih lagi harus berperan sebagai penata musik bagi Sarah Vaughan, Quincy Jones, dan Roberta Fack, 1964-1972, sebelum menancapkan label Bob James di album-album rekaman berikutnya dan poster-poster pertunjukannya. Yang terakhir itu dimulai tahun 1974. Bahwa ia belakangan menggauli jazz bukan berarti ia meninggalkan tuhannya, begitu menurut Bob. Bahwa ia memindahkan jari-jari tangannya ke bilah-bilah piano elektrik atau synthesizer atau alat-alat musik computerized, seperti yang ia gunakan dalam rekaman terakhirnya yang belum beredar, baginya "misi' yang disandang sama. Katanya, penonton atau pendengar tidak mempersoalkan kecanggihan alat. "Buat mereka, keterlibatan emosional dengan musik sebagai karya lebih penting." Sehingga, masalah terpenting para musisi, di mana pun, adalah bagaimana memanfaatkan instrumen untuk mewujudkan suara batin -- "tidak peduli apakah dengan alat akustik atau elektronik." Musik, sesungguhnya, paduan style para musisi, katanya lagi. Dan itu hal yang lain lagi yang ingin dikatakannya kepada para musikus jazz di negeri ini. Karena itu, ketika beberapa pemain berkumpul memainkan sebuah karya, "Tidak berarti mereka harus mengubah gaya atau kepribadian." Itu memang masalah. Chandra Darusman, sarjana ekonomi yang menjadikan jazz sebagai kariernya, kepada TEMPO memberi pandangan. Tingkat kepandaian musisi jazz kita dalam improvisasi secara individual memang sudah baik, katanya. Namun, dan ini yang penting, ketika mereka bermain dalam kelompok, terlihatlah beberapa kelemahan yang paling mendasar. Bermain secara bersama, seperti yang juga sempat dilakukan para musisi kita bersama Bob James, menuntut sopan santun dan sikap saling menghormat antara sesama: satu dengan yang lain harus mendengar improvisasi atau "dialog" kawan. Tapi justru kelemahan yang tadi itu menyebabkan para pemain terlalu emosional, terlalu menekan keras, seolah masing-masing takut tidak terdengar. Dan sajian yang padu tak seutuhnya lahir. Begitu sedikitnya pemain kita, memang, yang punya latar belakang pendidikan musik yang serius. Itu boleh kita canangkan sebagai latar belakang kenyataan yang disebut itu. Masih bisa ditambah lagi dengan sangat sedikitnya kesempatan mempergelarkan jazz. Sehingga, seperti diakui Ireng Maulana, "Apresiasi jazz di sini baru sampai pada tingkat meniru." Lebih-lebih bila diingat bahwa musik orang gedongan ini bukan sumber nafkah yang memadai. Kenyataan bahwa jazz bukan produk budaya bangsa tentunya terhitung naif bila digunakan sebagai dalih sekali seseorang sudah berniat terjun ke dunia ekspresi modern itu. Bob James hanyalah sebuah noktah di dalam peta. Namun, sebagai rekan yang lebih besar, nama populer yang kaset-kasetnya banyak digemari konsumen kita ini tentu lebih dari pantas untuk menjadi bandingan. James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini