Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dilarang menjemur pakaian dalam

Patriotisme tema mengenai kepribadian yang tidak hanya dijanjikan oleh penjajahan, tapi oleh peluang politik, kreativitas kebudayaan dan kapasitas ekonomi. jadi, patriotisme bukan warisan.

22 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARENA patriotisme perlu menerjemahkan diri ke dalam sejumlah tingkat dan skala realitas, dan karena realitas itu harus dikelola sebagai kata kerja yang tak boleh istirahat, sesungguhnya ia belum pernah sederhana. Pada tulisan Cak Roeslan, ia begitu simpel. Untunglah, simplisitas itu belum tergolong, misalnya, dalam tradisi ritus kita, tempat kata kerja tunggal patriotisme telah tersedia untuk diselenggarakan ramai-ramai dengan penuh kamuflase. Dulu, ada tetangga seenaknya masuk rumah, dan memaksa kita menggali harta karun untuk mereka nikmati. Musuh tampil eksplisit, prioritas sejarah gamblang, dan kita menyelenggarakan patriotisme berupa pembelaan bersenjata. Kemudian, rumah dibebaskan dan menyediakan diri untuk semacam kecamuk baru yang transparan susunan "permusuhan"-nya. Konflik kepentingan menjadi rumit. Ada tingkat kewenangan, kesempatan, dan pemilikan yang tak kunjung seimbang dalam rumah. Berhubung di rumah sendiri, hanya bapak yang boleh menjewer anaknya. Maka, anak-anak ribut dari hari ke hari, kecuali tatkala sudah tak anak lagi. Anak bikin jaringan solidaritas dengan anak tetangga, dan bapak berentang tangan dengan bapak lain dalam suatu kompanyon ekonomi dan politik. Anak-anak rasan-rasan di rumah masing-masing atau di luar rumah. Bapak menasihati, "Nak, jangan menjemur pakaian dalam di luar rumah. Baik buruk, ini 'kan negeri sendiri. Tirulah Adipati Karno...." Tetapi, kemudian, menjemur dalam rumah pun tak boleh. Maka, patriotisme terelativisir. Ia jadi mengabstrak. Patriotisme seperti kehilangan jejak sendiri. Di dalam konteks semrawut problem rumah tangga, ia sering luput menangkap bayangan tubuh sendiri. Pagi ini, di suatu dimensi persoalan, ia boleh bertahan pada garis stereotip nasionalisme yang paling harfiah. Siang nanti, ia mesti menerobos pagar untuk menyetiai arti kultural yang lebih luas. Dan, nanti sore, ia harus konsern terhadap inti universalitas kemanusiaan. Dijemur atau tidak, pakaian dalam berdaki itu memang ada. Cak Roeslan menyebutnya, "pencemaran dalam jiwa patriotisme". Ada yang nggak bener dengan -- bahwa "sesudah kita merdeka dan berkuasa, patriotisme ialah secara konstruktif mengelola tanah air, menguasai teknologi modern, menerapkan manajemen yang efektif dan efisien, menjaga keseimbangan antara kecukupan dan keadilan, disumberi dan digairahkan oleh ajaran agama...." Pencemaran patriotisme itu sering diungkap dengan bahasa indah. Saya khawatir, yang kita alami sebenarnya adalah transformasi kolonialisme. Oh, cita-cita kooperasi yang diselenggarakan dengan kompetisi. Wahai, simbiose immutualis antara blangko demokrasi politik dan sunyi keadilan sosial. Hmm, si anak kembar kemiskinan kriminalitas, dan pelacuran. Adapun ilmu-ilmu perubahan, atau ketepatan restrukturisasi, ternyata, kok gampang-gampang sukar.... Patriotisme gagap mencari dirinya di sawah ladang penduduk, di keringat para buruh, atau di roh Sukardal. Cinta tanah air menjadi sahabat aneh bagi pemilikan tanah yang makin mengeping-ngeping. Persatuan dan kesatuan nasional bagai duri filsafat yang perih menusuki tubuh para korban monopoli dan dominasi. Patriotisme harus bekerja ekstrakeras untuk melahirkan dirinya kembali. Sebagian patriot mengambil gaya pesimistis agar lebih berhati-hati menilai persoalan, sembari membayangkan mereka sedang berada di rimba raya persoalan yang dikelilingi ranjau berlapis. Para patriot yang optimistis merancang, menimbuni ranjau itu, sehingga rata tanah, dan kemudian menyusun hutan yang sama sekali baru. Atau, setidaknya, mereka berusaha menciptakan jembatan-jembatan di atas ranjau itu hingga diperoleh jalan keluar. Macam-macam cara orang mengantisipasi ranjau. Ada yang menggertak-gertak dengan slogan, ada yang pura-pura tenang dengan simplifikasi, ada yang rajin merangkai kembang di sekeliling hutan. Salah satu kembang itu dirangkai oleh Cak Roeslan "Kekuasaan itu sendiri harus kita tundukkan kepada tuntutan moral Pancasila, yakni moral yang disumberi oleh jiwa religius monoteistis, yang berperi kemanusiaan, mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, kemakmuran rakyat, dan keadilan sosial..." Siapa tak beriman kepada Pancasila? Kita percaya sepenuh jiwa. Tapi bukan Pancasila yang dihadirkan sebagai klenik, melainkan yang dikelola sebagai sumber nilai, ilmu, acuan-acuan kenegaraan dan kemasyarakatan yang jelas, yang disistemasikan dan dikerjakan bukan dikerjain. Generasi terbaru kita tidak akan mampu menerima berita kasih seluhur apa pun, apabila mereka tak bisa menemukan identifikasi dari sejarah sendiri bahwa, umpamanya, demokrasi dan keadilan sosial itu mungkin. Atas dukungan Tuhan dan para nabi, patriotisme, pada mulanya dan pada akhirnya, memang soal moral. Tapi, pekerjaan sejarah adalah pergulatan di antara awal dan akhir. Alangkah tepatnya jika Cak Roeslan menulis bagaimana menundukkan kekuasaan kepada tuntutan moral Pancasila. Bagaimana itu diproses? Sebutlah, misalnya, satu prioritas awal: kita kerja serius agar sistem hukum ini berjalan benar! Tuhan saja "tak cukup" -- dalam arti bahwa ia memutuskan untuk membatasi sendiri peran-serta-Nya. Anak-cucu Cak Roeslan, dewasa ini, tak bisa mengerti imbauan moral, meski itu tak harus berarti menganut "patriotismc bayonet" di hadapan seseorang yang menggenggam pisau, dan sekaligus berwenang atas penggunaannya. Apa boleh buat, kekurangpercayaan kepada imbauan moral ialah kekurangpercayaan kepada manusia. Soalnya bukan apakah manusia bisa percaya atau tidak, melainkan bisa dipercaya atau tidak. Manusia lebih merasa aman dengan tumpah pada sistem lalu lintas, pada rambu-rambu. Sistem bikinan manusia sendiri yang meletakkan manusia menjadi benda sekunder dari sejarah. Maka, jawaban yang dimohonkan ialah jawaban strategis, bukan filosofis. Yang terpenting, dan perlu disebut, ialah bahwa bagi sejumlah generasi muda, apa yang mereka mengerti dari reinterpretasi patriotisme adalah hal-hal yang justru "haram", atau setidaknya "makruh", bagi ukuran patriotisme yang baku. Patriotisme ialah tema tentang kepribadian. Jadi, bukan warisan. Kepribadian hanya bisa dijanjikan tidak oleh penjajahan, apa pun bentuknya, melainkan oleh peluang politik, kapasitas ekonomi, dan kemungkinan seluas-luasnya bagi kreativitas kebudayaan. Adapun warisan itu mobilisasi. Bisakah sebuah kckuasaan menghindar dari anak-anak yang lolos dari mobilisasi? Umpamanya anak-anak bangsa ini bertanya, kepada siapa kita belajar tentang patriotisme? Kepada Angkatan 45? Kepada orang Badui? Amatoa? Atau kepada Sumpah Palapa? Mungkin, jalan terbaik, pertama-tama melatih diri terbiasa menjemur pakaian dalam beramai-ramai. Jadi, soal kebutuhan kita bersama terhadap kritik. Syukur kita sepakat mengganti celana yang kusut dan berkuman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus