Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sederet Kasus Pembungkaman Seni di Awal Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto

Empat bulan pemerintahan Prabowo Subianto diwarnai sejumlah kasus pembungkaman seni. Apa saja?

24 Februari 2025 | 14.01 WIB

Aktivis melakukan aksi demonstrasi mendukung band punk Sukatani dalam aksi Kamisan di depan Mapolrestabes Bandung, Jawa Barat, 20 Februari 2025. Tempo/Prima mulia
Perbesar
Aktivis melakukan aksi demonstrasi mendukung band punk Sukatani dalam aksi Kamisan di depan Mapolrestabes Bandung, Jawa Barat, 20 Februari 2025. Tempo/Prima mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Upaya pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dalam dunia seni terus bermunculan dalam empat bulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Berbagai bentuk seni, mulai dari musik, teater, seni rupa, hingga perfilman, menjadi sasaran tekanan dari berbagai pihak. Berikut beberapa kasus pembungkaman yang menjadi sorotan publik.

1. Pelarangan Lagu Sukatani

Grup band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, Sukatani, belum lama ini menarik lagu mereka berjudul Bayar Bayar Bayar dari berbagai platform musik digital. Lagu tersebut sebelumnya sempat viral di media sosial lantaran liriknya yang dinilai mengandung kritik tajam terhadap institusi kepolisian.

Namun tidak lama setelah lagu ini beredar luas, band tersebut mengunggah video permintaan maaf kepada Kapolri dan jajaran kepolisian melalui akun media sosial mereka, @sukatani.band, pada Kamis, 20 Februari 2025.

Dalam video tersebut, dua personel Sukatani, Muhammad Syifa Al Lufti (gitaris) dan Novi Citra Indriyati (vokalis), secara terbuka menyampaikan permintaan maaf mereka. “Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri dan institusi Polri atas lagu ciptaan kami dengan judul Bayar Bayar Bayar, yang dalam liriknya (ada kata) bayar polisi yang telah kami nyanyikan sehingga viral di beberapa platform media sosial,” kata Lutfi.

2. Pementasan Teater Payung Hitam Dihentikan

Tidak hanya di ranah musik, kebebasan seni pertunjukan pun turut mendapat tekanan. Kelompok teater ternama, Teater Payung Hitam, mengalami hambatan dalam pementasan karya mereka yang berjudul Wawancara dengan Mulyono. Awalnya, pertunjukan ini dijadwalkan berlangsung pada 15-16 Februari 2025 di Studio Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Namun berbagai kendala muncul yang mengakibatkan pembatalan pementasan ini.

Sutradara sekaligus aktor dalam pertunjukan tersebut, Rachman Sabur, mengungkapkan bahwa pada Sabtu, 15 Februari 2025, ia mendapati pintu studio telah digembok, menghalangi akses ke ruang pertunjukan. Sebelumnya, baliho promosi acara yang dipasang pada 12 Februari 2025 juga dicopot oleh pihak kampus dengan alasan dokumentasi. Keputusan ini menimbulkan kekecewaan besar bagi para seniman dan memperlihatkan adanya upaya sistematis untuk membatasi ruang ekspresi bagi kelompok teater.

3. Pameran Lukisan Yos Suprapto Gagal Digelar

Tidak hanya di panggung teater dan musik, pembungkaman terhadap seni rupa juga terjadi. Seniman lukis asal Yogyakarta, Yos Suprapto, menghadapi hambatan dalam menyelenggarakan pameran tunggalnya yang bertajuk Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan. Pameran ini awalnya dijadwalkan berlangsung dari 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. 

Yos mengaku mendapat larangan untuk masuk Gedung A Galeri Nasional tempat sekitar 30 karya lukisnya dipajang. “Saya senimannya saja tidak bisa masuk ke dalam ruang di mana saya menaruh karya-karya saya,” kata Yos di Gedung YLBHI-LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 21 Desember 2024.

Menurut Yos, karya-karyanya sudah dipasang di Gedung A Galeri Nasional, tetapi dirinya tidak diizinkan untuk memasuki area tersebut. Hal ini semakin diperparah dengan pengunduran diri kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo, yang menyebut bahwa beberapa karya Yos terlalu vulgar dan kurang mengandung metafora yang kuat. Setelah beberapa hari dalam ketidakpastian, Yos akhirnya memutuskan untuk menurunkan seluruh karyanya dari pameran pada 23 Desember 2024.

4. Pembatalan Pemutaran Film Eksil

Kasus lain yang menambah daftar panjang pembungkaman seni terjadi pada film Eksil. Film ini seharusnya ditayangkan dalam acara nonton bareng di CGV Samarinda pada 22 Februari 2025 pukul 17.00 WIT. Namun sehari sebelum pemutaran, pihak CGV Samarinda secara mendadak membatalkan acara tersebut dengan alasan bahwa mereka belum memperoleh izin yang diperlukan.

Menurut Wawan, koordinator acara nobar, sebanyak 146 tiket sudah terjual dan pihak penyelenggara telah menyewa studio dengan kapasitas penuh serta membayar uang muka. Namun, pihak CGV Samarinda tiba-tiba meminta penyelenggara untuk mengurus izin keramaian di Polresta Samarinda sebagai syarat pemutaran film.

Padahal Eksil sebelumnya telah ditayangkan di berbagai kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Bali, serta memperoleh penghargaan internasional. Wawan menyebutkan bahwa kebijakan ini menunjukkan adanya upaya pembatasan terhadap hak kebebasan berekspresi dalam dunia perfilman.

Iqbal Muhtarom, Ni Made Sukmasari, Hammam Izzuddin, dan Ni Kadek Trisna Cintya Dewi turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: LBH Semarang Dampingi Sukatani, Kaji Langkah Hukum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus