Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Seni Lukis yang Menyegarkan

Setelah tiga tahun namanya tak begitu terdengar, pelukis Eddie Hara muncul kembali. Karyanya mencairkan ketegangan tematik dalam seni rupa kontemporer Indonesia.

4 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eddie Hara pernah menjadi "Cobra Indonesia". Itu terjadi pada saat dia dan perupa generasi 80-an dari ISI Yogyakarta seperti Heri Dono, Nindityo Adipurnomo, Dadang Christanto, pada awal karirnya banyak terinspirasi dari ekspresi rupa kelompok Cobra yang muncul di Eropa usai Perang Dunia II (1948-1951). Inilah kelompok perupa Eropa dengan tokoh Asger Jorn, Karl Appel, Corneille yang menghebohkan karena ekspresi rupa kelompok ini menggambarkan runtuhnya kemanusiaan sebagai akibat keganasan perang itu, sehingga dalam lukisan mereka tak ada lagi perbedaan antara figur manusia dan hewan. Bentuk figur mencitrakan garis-garis primitif pada karya anak-anak. Pada karya Eddie Hara sedikit banyak masih terasa jejak Cobra.

Nama Eddie Hara belakangan ini memang sudah agak lama tak terdengar, sejak ia menetap di Basel, Swiss, tiga tahun lalu. Belakangan Eddie Hara banyak terinspirasi dari gambar atau obyek rekaan dalam budaya pop. Karyanya belakangan ini, meski masih memunculkan komposisi warna cerah, toh digarap dengan teknik yang lebih matang, sehingga karyanya bisa dibedakan dari karya pelukis lain yang sejenis. Memang corak lukisan Eddie Hara sempat menjadi trend pasar seni lukis dengan memunculkan sejumlah pelukis yang terinspirasi dengan corak Eddie Hara. Bahkan, ada pelukis dengan sponsor sebuah galeri yang mencomot gaya Eddie Hara mentah-mentah demi menjaring permintaan pasar.

Keistimewaan Eddie Hara karena dia adalah seniman yang beruntung bisa melihat sisi gelap realita dengan ringan. Seolah ingar-bingar persoalan hidup sehari-hari adalah sesuatu yang hanya perlu diolah secara kreatif sehingga bisa dinikmati.

Bagi Eddie Hara, hidup yang sebenarnya sudah sulit tidak perlu disikapi terlalu serius sehingga membuat kening berkerut. Ia tidak larut dalam persoalan kolektif dengan gejolak emosional yang tinggi. Sikap yang cenderung "easy going" inilah yang mendasari semua karya seni rupanya, sejak ia memutuskan menjadi seniman profesional pada 1980-an. Ia dengan sadar menekuk-nekuk realitas ke dalam visualisasi yang sudah direkayasa.

Pameran tunggalnya di Bentara Budaya Yogyakarta, yang masih berlangsung hingga pekan depan, semakin menegaskan bahwa ia bukanlah seorang perupa yang mengusung corak representasional seutuhnya. Tema bagi Eddie Hara bukanlah hal yang terlalu penting, dan hampir hanya sebagai salah satu sumber gagasan dalam pengolahan bentuk, sebagaimana ia terinspirasi oleh visualisasi komik, gambar anak-anak, figur Batman, atau produk budaya massa lainnya. Tak mengherankan jika orang akan sulit merunut jejak narasi dalam karya Eddie Hara, sebagaimana sebaliknya kecenderungan seni rupa kontemporer Indonesia.

Sebuah lukisannya bertajuk North-South, dengan teknik akrilik di atas kertas, boleh jadi diapresiasi sebagai gambaran konflik global Utara-Selatan, tapi visualisasi yang muncul adalah sebuah gambaran metaforis sederhana dari dua figur yang saling memunggungi dan masing-masing diberi teks: north, south. Yang menonjol justru sensasi visual dari garis, bidang, dan warna yang mencitrakan keriangan.

Ketika ia seolah-olah menampilkan isu lingkungan pada karyanya bertajuk Poluted Sea Fish, yang menonjol adalah pengolahan elemen rupa yang menghasilkan citra visual ikan yang sudah mengalami mutasi genetik, sehingga muncul sosok ikan dengan dua kaki dan kepala yang terkesan menyeramkan. Begitu juga dengan karyanya berjudul Tatkala Terkenang Akan Rasismus, berupa potret kepala yang mencitrakan sosok Hitler dengan kumis yang khas dan rambutnya yang kelimis. Potret ini diberi garis silang, sementara di sebelahnya ada sosok potret kepala Eddie Hara sedang menatap sosok perempuan yang diidentifikasi dengan teks sebagai istrinya. Tampaknya, gambar ini merupakan sebuah pengalaman pribadi sebagai keturunan ras berwarna yang menetap dan beristri perempuan Eropa (Swiss) ketika gerakan rasial pemurnian wangsa Aria masih menggeliat.

Pada lukisannya yang lain muncul figur bertopeng Batman, topeng kelinci, berhidung panjang, juluran lidah berkepala manusia, dan sebagian besar tampak samping dengan bibir melebar dan semuanya penuh warna. Pada karya Eddie Hara, kita bisa menikmati karya lukis dengan membebaskan diri dari dorongan untuk menafsirkan simbol visual.

Karena itu, meski sosoknya "menghilang", Eddie Hara tetap ada, karena karyanya yang multiinterpretatif.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus