Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Dead poets society

Film "dead poets society" menggambarkan puisi bisa menyihir anak muda ke alam imajinasi dan kebebasan penyair-penyair indonesia ingin berada dalam kebebasan dan pembangkangan. siapa yang kontrol puisi.

15 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA yang suka mencurigai & melarang sajak, pergilah nonton Dead ~Poe~ts So~cie~ty. Dan jangan tidur. ~Sebab, di sana tuan akan menyaksikan suatu kekuatan yang ganjil yang bernama puisi . Puisi, dalam film ini, merupakan tokoh utama yang tak nampak, tapi dengan cepat bisa menyihir sejumlah anak muda. Semula anak-anak itu hidup dalam tertib. Kini mereka jadi tahu hal-hal yang lebih dahsyat dan asyik: keindahan, kebebasan, permainan, kegembiraan, impian, cinta, dan akhirnya kematian. Tapi apa itu puisi, jangan minta definisi. Yang jelas, ia bukan hanya serangkaian kata-kata bagus, yang di Indonesia dulu disebut "syair". Konon, Boris Pasternak, penyair ~usia itu, pernah mengatakan apa arti puisi baginya, "Puisi adalah manis kacang kapri yang mencekik mati, air mata dunia di atas bahu." Dengan kata lain: sesuatu yang kongkret, juga sesuatu yang intens. Tak mudah, memang, untuk memahami itu. Sebab, sebuah sajak yang indah seakan-akan selalu berakhir sebagai sebuah enigma, sebuah sihir, scbuah cerita misteri: penuh daya pukau tapi juga penuh kemungkinan. Di dalamnya rasa, renun~gan, dan rekaan ber~gelora, bebas, seperti kata hati yang tidak ditekan. Maka, ketika seorang guru muda (demikianlah kita lihat dalam film itu) datang ke sebuah sekolah tua dan memperkenalkan puisi sebagaimana mestinya, yang terjadi adalah sebuah transformasi besar. Anak-anak muda di sekolah itu segera menghambur ke ala~m imajinasi dan kebeba~san. Mereka seakan-akan kena sulap dan terbawa masuk ke ~dalam gelora hati yang terlarang, ke dalam cita-cita yang haram, ke dalam sukacita yang dicemaskan. Mereka berkumpul dalam gelap hutan yang basah, dan membayangkan bahwa mereka adalah anggota Dead Poets Society. Padahal, ~yang mereka ikuti adalah panggilan kepribadian mer~eka ~sendiri: me~reka tak takut lagi menjelajah. Dalam sejarah kita, kita pun punya Dea~d Poets Society. Anggota awalnya adalah Rustam Effendi. Pada tahun 1924 penyair lakon Bebasari ini menulis sebuah sajak yang kemudian termasyhur: ia buang dan mungkiri aturan lama karena ia tak ingin mengikuti kekangan sosial, karena ia hanya ingin mengikuti perasaan hatinya: "sebab laguku menurut sukma." Rustam Effendi, kemudian, tak hanya mau membebaskan diri dari aturan syair. Aturan itu adalah sisa tradisi yang membelenggu, cerminan sebuah masyarakat yang terpasung. Rustam Effendi pun kemudian menjadi seorang revolusioner. Ia ingin menggarisbawahi pembangkangan itu, yang dimulai dengan puisi. Pada tahun 1936, S. Takdir Alisjahbana memproklamasikan pembangkangan yang lain: ia menyatakan akan meninggalkan alam kehidupan yang tenteram. Kehidupan lama itu baginya seperti "tasik yang tenang tiada beriak" yang "diteduhi gunung yang rimbun/dari angin dan topan". Alam yang tak mencekik memang, tapi tak lagi memuaskan. Di dalam ketenangan itu, jiwa sang penyair justru gelisah. "Gunung pelindung rasa pengalang," katanya dalam sajak Menuju ke Laut. Maka, hatinya pun "berontak", "hendak bebas" dan "menyerang segala apa mengadang". Takdir memulai suatu eksplorasi ke arah Indonesia yang lebih dinamis. Dan itu tak berhenti padanya. Di awal 1940-an, ada Chairil Anwar. Kita semua tahu bagaimana penyair ini menamakan dirinya "binatang jalang dari kumpulannya terbuang'. Kita ju~ga in~gat ba~gaimana ia berseru agar para penulis menggores dan membedah segalanya, sebah tak ada tabu yang tak bisa disentuh. "juga pohon-pohon beringin keramat yang hingga k~ini tidak boleh didekati!" Siapa yang suka mencemaskan puisi, baiklah kita ingatkan: Chairil adalah an~~ggota terkemuka perhimpunan Dead Poets Society. Ia memang berbahaya, tapi siapa yang bisa membantah bah~wa ia telah memberi inspirasi kepada banyak orang? Setelah Chairil, tema pembangkangan dan pembebasan tetap kembali, dan inspirasi itu bangkit terus. Rendra mengelu-elukan figur "orang urakan", orang yang menampik konvensi umum. Sutardji Calzoum Bachri membebaskan kata dari ikatan kebersamaan bahasa - kebersamaan yang ditentukan kamus. Mungkin karena itulah, ada orang yang mencurigai keberandalan puisi. Ada orang (antara lain Stalin) yang menyensor sajak dan memenjarakan penyair. Ada mereka yang ibarat tokoh Khattam-Shud dalam cerita Salman Rushdie~ Haroun and the Sea of Stories. Dalam dongeng yang penuh makna ini, Khattam-Shud adalah penguasa Tanah Chud yang kelam, dengan para pengikut yang fanatik yang bersumpah untuk membisu. Mereka menampik kata, memusuhi bahasa, membekukan sastra. Khatam-Shud dan pengikutnya bekerja 24 jam meracuni Lautan Cerita karena ia membenci cerita. "Cerita itu kegembiraan," kata Khattam-Shud. "Padahal dunia tidak di maksudkan untuk kegembiraan .....Dunia adalah untuk Pengontrolan." Siapa yang mengontrol puisi. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus