Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Setelah Minimalisme Tak Laku Lagi

Lomba desain mebel nasional didominasi gaya retro dan Scandinavian. Masih sederhana, tapi tak sedingin minimalisme.

28 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak banyak yang bisa terinspirasi oleh Justin Bieber. Tapi ­Ricky Wisata bisa. Tiga hari sebelum tenggat pengumpulan karya Indonesia Furniture Design Competition III, kertas gambar Ricky masih kosong. Juga kepalanya. Pria 26 tahun itu masih mencari ide. Pemutar musik digital ia pasang untuk mengundang akal berputar. Momen eureka muncul ketika Bie­ber—penyanyi remaja berwajah manis—melantunkan Mistletoe. ”Saya langsung terinspirasi bentuk pohon cemara,” katanya.

Tentu saja pohon cemara, karena itu lagu Natal. Ricky lalu menggambar sketsa pohon dengan bentuk dasar segitiga sama kaki. Beberapa menit berlalu, kepala kembali buntu. Ia memutuskan menonton televisi. Siaran reality show Project Runway menendangkan ide baru. Ada model yang mengenakan rok bertumpuk mirip pohon cemara.

Corat-coret sepanjang hari hingga meja sepanjang 1,5 meter, tinggi 0,9 meter, dan lebar 0,5 meter muncul di atas kertas gambarnya. Ricky memberi nama meja itu Lutro Credenza. Karya bergaya retro ini berhasil menjadi salah satu dari 15 finalis yang disaring dari 189 desain dalam kompetisi bergengsi tersebut.

Ia sengaja mengusung konsep retro yang sangat terkenal sejak awal 1950-an sampai 1970-an. Gaya ini mudah dikenali. Ada unsur modernisme yang simetris dan lebih menonjolkan fungsi daripada elemen dekoratif (tak menggunakan ukiran). Tapi gaya ini tidak sekaku minimalisme. Masih ada unsur main-main dan kejenakaan. Meja Lutro Credenza ujung-ujungnya tidak bersudut, tapi melengkung, yang secara kasatmata lebih mirip tumpukan kasur ketimbang pohon cemara.

Kaki meja hanya berdiameter dua sentimeter. ”Kecil dan seksi, membuat meja tidak terlihat berat,” ujar desainer interior lulusan Universitas Petra Surabaya itu. Posisinya tidak lurus seperti tiang bangunan, tapi melebar di bagian bawah, mirip kaki model yang mengenakan rok bertumpuk. Permukaan meja ia buat lurus tanpa ornamen supaya terkesan mewah dan bisa masuk ke pasar global.

l l l

Ketua American Hardwood Export Council John Chan mengatakan tema kompetisi ini setiap tahun berubah. Tahun ini, kompetisi yang juaranya diumumkan pekan lalu itu mengusung tema meja partisi ruang alias credenza dengan panjang 1,5 meter. Bentuk furnitur ini memang terbatas, kotak panjang. ”Tapi ternyata para desainer sangat kreatif dan inovatif, bisa menembus pasar luar negeri,” ujarnya.

Ketua juri kompetisi itu, Joshua Simanjuntak, menilai karya yang masuk banyak bergaya retro dan Scandinavian. ”Dua gaya tersebut memang identik dengan material kayu solid,” katanya. Kayu solid adalah kayu asli yang bukan bentukan pabrik seperti tripleks. Ini berbeda dengan gaya Bauhaus pada 1920-an, yang lebih banyak menggunakan metal. Tren furnitur sekarang memang banyak yang kembali ke dua gaya itu.

Seperti retro, gaya Scandinavian populer pada 1950-1970-an. Ketika itu, wilayah Skandinavia, terutama Denmark, banyak memproduksi furnitur modern yang terbuat dari kayu solid. Gayanya juga mirip retro. Banyak lengkungan, simetris, tanpa ornamen. Kekuatannya ada pada pengerjaan kayu yang rapi dan detail. Kayu solid bisa dilekuk-lekukkan laksana logam, membentuk lempengan tipis untuk alas duduk. Kayu juga bisa dibentuk seperti kawat melengkung untuk kaki kursi. Penyanyi Islandia, Bjork, pernah menjabarkannya seperti furnitur yang telanjang. ”Sangat sederhana,” katanya dalam sebuah wawancara dengan BBC. ”Lucu tapi juga menyedihkan dalam saat bersamaan.”

Berbeda dengan minimalisme yang kaku, retro-Scandinavian selalu berunsur main-main. Misalnya mengadopsi bentuk-bentuk sekitar. Sangkar Credenza milik Dodik Wahyu Sagung yang memakai gaya Scandinavian adalah contohnya. Lemari yang berada di sisi kiri dan kanan meja mirip dengan kandang ayam. Tapi di bagian bawahnya terdapat kaki kursi yang ditahan dengan dua kayu yang melintang horizontal. Pengerjaannya rumit, tapi bentuknya sangat sederhana. ”Karya seperti ini bisa laku banget di pasar internasional,” kata Joshua setelah mengumumkan pemenang kompetisi di Hotel Mulia, Jakarta.

Dodik, yang memenangi desain terbaik, mengatakan gaya Scandinavian ia pilih karena gaya inilah yang mengawali munculnya furnitur kayu modern. ”Klasik tapi tidak bosenin,” ujar desainer interior lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu. Inspirasi desainnya berawal dari ketertarikannya pada sangkar burung. Banyak elemen interior rumah yang mengambil bentuk sangkar, misalnya tutup lampu dan kertas pelapis dinding.

Pria 35 tahun itu kemudian tertantang membuatnya dalam bentuk furnitur rumah. Jeruji dalam sangkar burung ia tekankan dalam bentuk lemari geser supaya tidak menghabiskan banyak tempat. Laci mejanya tidak ada yang solid tertutup, kecuali satu buah laci, supaya mudah mencari barang-barang di dalam meja. ”Saya inginnya meja ini tidak hanya menjadi tempat meletakkan televisi,” ujar desainer dari Sawah Studio itu.

Omong-omong tentang televisi, sejumlah karya finalis memiliki siluet yang amat mirip televisi pada 1970-an: televisi hitam-putih dalam meja dengan pintu geser yang bisa dibuka-tutup. Selain karya Ricky dan Dodik, ada Gelis (Nuriyanto) serta Tantrum Trap (Ruby Sofyan) yang memiliki siluet televisi kuno itu.

Kita juga bisa melihat sejumlah bentuk arsitektur international style dari pertengahan abad ke-21 pada karya mebel ini. Dasa Rupa (Chintami Ricci) dan Wall Memos (Nugroho) mengingatkan kita pada facade gedung Bank Indonesia yang dibangun F. Silaban atau Gedung S. Widjojo di Jalan Sudirman, Jakarta.

Dari 15 karya finalis, Gelis memiliki bentuk paling klasik, hanya kotak dibagi tiga. Di sisi kiri-kanan lemari dan di tengahnya dua laci. Sederhana, tapi pengerjaannya rumit. ”Saya tidak memakai bahan logam,” ujar Nuriyanto, 28 tahun. ”Tanpa handle, engsel, rel, sekrup, dan paku.” Semua konstruksinya memakai kayu jenis red oak setebal dua sentimeter.

Konsep Gelis sesuai dengan artinya dalam bahasa Jawa, yaitu cepat. Materialnya semua sama dan bisa dikerjakan dalam waktu satu hari. ”Material yang dibutuhkan juga tidak banyak,” kata desainer furnitur asal Jepara itu. Meski tanpa paku atau sekrup baja, konsep tradisional ini justru membuat meja lebih kokoh. ”Dua orang berdiri di atasnya pun tidak apa-apa,” ujar lulusan Sekolah Tinggi Teknologi dan Desain Jepara itu.

Ia tidak ambil pusing soal gaya bentuk mejanya itu. Menurut dia, teknik konstruksinyalah yang membentuk Gelis. ”Lagian sepertinya masyarakat sekarang sudah bosan dengan bentuk minimalis,” katanya. Tampaknya memang begitu, minimalisme sudah mati.

Sorta Tobing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus