Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAHLAN Iskan tak bisa seterusnya bergaya koboi dalam memimpin Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Ia bisa membanting kursi di pintu tol setelah melihat kemacetan tatkala petugas tol belum datang. Ia bisa pergi setiap saat. Hari ini mengurusi pupuk petani, besok meninjau pabrik gula, lusa melihat perkebunan sawit, lalu pesawat terbang, mobil listrik, dan entah apa lagi. Ternyata, selama ini kita tak ngeh, begitu banyak bisnis yang diurusi negara.
Dahlan, sang menteri koboi, menyadarkan kita bahwa aset yang dimiliki BUMN ternyata besar. Sumbangannya kepada negara juga sangat besar—pantas jika dijadikan ”kasir” oleh kelompok tertentu selama ini. Namun ada pula BUMN yang rugi melulu, tapi tetap ”belum mati” dan menjadi beban negara. Dahlan menyelidiki ”penyakitnya”. Ia temukan salah satu: birokrasi yang bertele-tele. Ia pangkas pendek-pendek, ia delegasikan sebagian kewenangannya sebagai menteri. Gebrakan ini ternyata mendapat perlawanan parlemen.
Aneh? Tergantung dari mana melihatnya. Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-236/MBU/2011 Tanggal 15 November 2011 tentang Pendelegasian Sebagian Kewenangan dilihat oleh wakil rakyat melangkahi wewenang DPR. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN memberi peluang kepada DPR untuk ikut ”merecoki” korporasi pelat merah, misalnya dalam hal penjualan aset serta pengangkatan direksi dan komisaris. Ikut serta ”merecoki” inilah yang membuat banyak rumor di masyarakat bahwa ada direksi dan komisaris titipan di BUMN.
Maksud Menteri Dahlan sejatinya baik. Ia ingin membentuk the dream team yang mengurus perusahaan negara. Tim direksi harus kuat dan kompak, karena itu seorang direktur utama yang akan diangkat boleh mengusulkan siapa saja direktur pendampingnya. Kebijakan ini diharapkan akan lebih mengefisienkan dan akhirnya menguntungkan BUMN. Kalaulah dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, seharusnya bisa dibahas dalam rapat, katakanlah, dengar pendapat.
Langkah sigap 38 anggota Dewan—minus Partai Demokrat—mengajukan hak interpelasi kepada Menteri Dahlan sesungguhnya salah alamat. Hak meminta penjelasan ini sepatutnya tertuju kepada presiden. Ini pun hanya dipakai untuk mempertanyakan urusan yang sangat strategis. Kesalahan prosedur administrasi dalam menggunakan kewenangan ini terasa berlebihan kalau sampai diangkat ke ranah politik. Celakanya, Presiden Yudhoyono—meskipun dipilih mayoritas rakyat—selalu memperhitungkan kekuatan politik di parlemen, terutama keutuhan koalisi. Pasti Presiden terganggu mendengar rencana interpelasi ini.
Soal inilah yang mungkin dilupakan Dahlan, mantan wartawan yang tak pernah jadi anggota partai politik ini: menteri adalah jabatan politik sebagai pembantu presiden. Setelah dipanggil ke Istana—kata Dahlan, cuma berdiskusi tentang mobil listrik—menteri yang penuh gebrakan ini akhirnya mengambil langkah kompromi. Keputusan menteri pada 15 November tahun lalu itu, yang sebenarnya sudah dicabut dengan menerbitkan tiga surat keputusan bertanggal 13 April 2012, ”ditunda pelaksanaannya” dengan menerbitkan surat edaran, Senin pekan lalu.
Dahlan pasti kecewa terhadap kompromi ini. Pengelolaan BUMN seharusnya dilakukan secara profesional dan steril dari campur tangan politik. Karena itulah dia harus tetap diberi semangat untuk melanjutkan gebrakannya. Ia tak boleh keder menargetkan keuntungan korporasi milik negara ini demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Perusahaan pemerintah tak boleh lagi dijadikan ”sapi perah” partai politik dan penguasa. Jangan mundur, Bung, tetap: kerja, kerja, dan kerja.
berita terkait di halaman 100
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo