Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di manakah bencana itu? Ia ada pada seorang lelaki berpeci, berjaket hijau, berteriak ke langit. Urat lehernya menegang, lekuk di sekitar mulut menegas. Di latar belakang kota yang porak-poranda oleh tsunami. Ia ada pada seorang bapak, telanjang dada, berbaring. Duduk di dada lelaki ini seorang anak perempuan berbaju biru bergambar boneka beruang. Kedua anak-bapak ini mulutnya menganga: mungkin mereka bernyanyi bersama di atas permukiman yang rata diterjang laut yang menggulung segala.
Ada kepahitan di mulut lelaki berjaket hijau itu. Ada kepasrahan di dua bapak-anak yang mungkin menyanyi itu. Dua dari 36 foto karya Kemal Jufri di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, ini mewakili ekspresi manusia setelah bencana, ”Aftermath: Indonesia in the Midst of Catastrophes”.
Sesudah bencana—permukiman yang rata, kampung yang tenggelam oleh lumpur panas, rumah yang rontok—orang hanya bisa memandang pada kehilangan, pada kesakitan yang tiba-tiba menusuk. Tapi hidup masih berputar. Maka terlihat kesibukan mendirikan rumah, anak-anak yang terus belajar dengan duduk di lantai beralas kain, seorang perempuan salat di kemah darurat. Juga gajah-gajah yang dikerahkan untuk membantu ketika tenaga manusia tak kuasa membersihkan keporak-porandaan itu.
Pilihan Kemal, mungkin dibimbing insting seorang juru foto berpengalaman, jauh daripada sekadar mendokumentasikan bencana. Ia merekam momen, dengan sudut pandang yang ”ternyata” pas, dengan pilihan sasaran yang ”bercerita”. Tanda kutip dibubuhkan pada dua kata tersebut hanyalah untuk mencatat sesuatu yang lazim: ke-36 karya ini mestinya dipilih dari sejumlah jepretan kamera.
Dan dengan pilihan itu, karya-karya foto bencana ini mencatat jentera kehidupan yang masih terus bergerak. Kemal Jufri dengan kameranya merekam perlawanan (misalnya foto sejumlah orang yang melarikan korban letusan Merapi atau lelaki yang berteriak ke langit itu). Merekam kepasrahan dengan optimisme (dua anak dan bapak tadi, anak-anak yang terus belajar, perempuan yang salat, atau juga lelaki yang menyelamatkan genting dari rumah yang tenggelam oleh lumpur). Merekam bahwa bencana yang menimpa bukanlah akhir segalanya (perabotan rumah tangga dan patung batu yang ditimbun abu Merapi akan dibuat lagi, nanti).
Itulah mungkin kenapa Kemal tak menyajikan foto dalam hitam-putih. Tetap ada warna di tengah bencana. Tetap ada harapan di tengah nestapa (dan lihatlah lelaki muda yang menggandeng perempuan muda, berjalan di papan dan puing bekas permukiman, menjauhi kamera, seperti mereka tahu di depan adalah hidup yang baru). Dan hidup memang harus diperjuangkan (seorang perempuan meracik masakan di dalam tenda, sementara lelaki itu memasang kayu untuk membuat tempat tinggal darurat, dan frontal di depan adalah nenek yang dengan tangan keriputnya mencoba memasang tenda untuk berteduh—suasana yang cerah di tengah bekas kampung halaman).
Semua ini mestinya tak dengan begitu saja ditemukan Kemal. Saya bayangkan, juru foto yang karya-karyanya diterima di sejumlah media internasional ini memandang ke sekitar, berjalan ke sana-kemari, mungkin berlari, mungkin ia terjatuh tersandung puing, mungkin ia terpaksa bertengkar karena seseorang tak mau ia memotret. Lalu, seperti umumnya juru foto, ia mengambil posisi, setengah otomatis karena sudah begitu sering ini dilakukannya, dan merekam ketika bukan hanya penglihatannya, melainkan juga hatinya, tersentuh sesuatu.
Seperti seorang wartawan tulis yang terlebih dulu menyiapkan pertanyaan, atau meriset hal-hal yang berkaitan dengan yang akan ditemuinya, saya kira Kemal melakukan juga semacam itu dengan cara berbeda. Sedikitnya persiapan mental untuk menghadapi hal tak terduga, dalam perjalanan menuju tempat bencana setidaknya, berproses dalam dirinya.
Itulah saya kira yang menjauhkan Kemal dari merekam kesedihan yang vulgar—setidaknya ini tecermin dari foto-foto yang ia pilih untuk pameran yang berlangsung hingga menjelang akhir Mei ini. ”Persiapan” itu pula saya kira yang menjauhkan pameran ini dari pertanyaan yang sering mengganggu ketika melihat atau membaca laporan jurnalistik tentang bencana: ketenaran dan lain sebagainya yang diperoleh sang juru kabar atau juru foto bertumpu pada penderitaan orang lain.
Ke-36 foto Kemal, menurut saya, hadir dengan empati, lebih daripada rasa simpati. Ia seolah-olah menghadirkan diri sendiri sebagai mereka yang menjadi korban—ia sadari atau tidak.
Kalau ada yang harus disayangkan, seperti umumnya pameran seni rupa di Jakarta atau Indonesia umumnya, adalah cara penyajian. Di Galeri Salihara itu, ke-36 foto tergantung berderet mengikuti tembok galeri yang melingkar dengan jarak antara satu foto dan foto berikut begitu dekat. Ini memerlukan konsentrasi yang lebih untuk menemukan sesuatu pada tiap foto. Untung ada tampilan per foto lewat multimedia di layar di tengah galeri.
Atau, ihwal penyajian itu, berangkat dari pendapat bahwa dengan penyajian seperti apa pun, karya yang baik tetaplah akan baik. Namun memudahkan penonton menikmati karya yang dipamerkan adalah sebaik-baiknya amalan.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo