Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Wahyu kasih sayang

Wawancara agus dermawan t. untuk tempo dengan basuki abdullah tentang pameran lukisannya di gedung departemen p dan k jakarta yang bertema "kasih sayang". ide lukisan dan pameran seperti wahyu tuhan.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA usia 1 tahun Basoeki Abdullah belajar di sebuah akademi seni di Negeri Belanda. Ia mendapat beasiswa dari misi Katolik. Lalu dia meneruskannya ke Paris dan Roma. Ia anak R. Abdullah Surio Subroto dengan R.A. Sukarsih, dari kerabat Kasunanan Solo. Basoeki memperistri Nataya Nareerat, eks finalis ratu kecantikan dan modelnya dari Muangthai. Perkawinan itu menghasilkan Sidhawati. Ia sudah 65 tahun berjalan di pematang seni lukis Indonesia. Dalam pamerannya ke-50, sepekan ini, ia menampilkan 60 lukisan. Ia sudah berpameran di lebih dari 15 negara. Cuplikan wawancaranya untuk TEMPO dengan Agus Dermawan T. berikut ini: Mengapa Anda memilih tema "Kasih Sayang" itu? Adalah kristalisasi dari kegelisahan saya pada kata perdamaian yang sekarang jadi slogan. Kata ini sekarang hanya di bibir. Lalu pada suatu siang, ketika sedang melukis, ada bisikan di telinga saya, 'Peace, peace, Basoeki!' Saya terkejut. merinding, lalu mencoba merenungkannya. Jawabnya, saya harus melukis dan memamerkan lukisan yang mengumandangkan perdamaian dunia. Jadi, ide lukisan dan pameran "Kasih Sayang" ini seperti wahyu Tuhan, yang disalurkan lewat alam. Obsesi damai dan kasih sayang pada Anda yang semakin tua? Ya. Saya makin tak percaya pada mereka yang diberi keperayaan untuk berkata damai itu, karena tak sampai-sampai. Karena itu, saya ingin memberikan sesuatu. Setelah dunia tidak mendapatkan damai apa-apa dari luar. Sebelum Anda tidak bisa lagi memberikan apa-apa? Sejak setengah tahun lampau bahkan saya telah memikirkan soal proyek yang lebih besar. Saya akan membuat pameran di Istana Bogor dengan tema World Peace! Saya akan mengundang, 50 pelukis pilihan dari seluruh dunia melukis bertema sama, lalu pameran bersama-sama. Ide ini sebelum ada Jakarta Informal Meeting dan telah saya tawarkan kepada Wakil Presiden Sudharmono Beliau menyambut. Pelaksanaannya pada 1990. Semua itu dapat terkait. Istana Bogor telah jadi simbol resmi diplomasi perdamaian. Dan di Bogor pula beradanya makam Raden Saleh, tokoh seni lukis Indonesia terbesar. Dalam pameran 1988 ini Anda mengundang pelukis luar negeri. Ini awal proyek itu? Betul. Mereka tokoh naturalis sampai imprcsionis. Departemen Luar Negeri serta P dan K banyak membantu saya. Naturalisme dan realisme Anda dipertahankan. Bagaimana? Naturalisme dan realisme itu aliran besar, yang merupakan kumpulan dari semua gaya seni lukis "modern" sekarang. Saya tak pernah khawatir. Tapi, sesuai dengan proyek perdamaian saya, semua aliran mestinya saling toleransi. Dan jangan paksa saya ke disko, karena saya senang gamelan, kebogiro dan palaran. Kalau memaksa, itu namanya mau membunuh saya. Namun, hanya dengan naturalisme dan realisme rasa damai dan kasih sayang itu mudah diwujudkan dan keindahannya gampang diperlihatkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus