Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hidup memang bukan pasar malam, kata seorang tokoh novel Pramoedya Ananta Toer, tapi mungkin hidup ibarat kereta api. Maka kali ini saya ingin menulis tentang sepur dan manusia—sepur bukan hanya sebuah sarana perjalanan, tapi juga sebuah ruang pertemuan dengan orang lain yang bergerak dari dan ke tempat yang berbeda, semacam kebersamaan dan kesendirian yang tak kekal.
Mungkin karena itulah adegan di kereta api sering masuk ke pelbagai bentuk ekspresi yang mengemukakan saat yang ajaib, ketika manusia seakan-akan menemukan degupnya kembali, justru dalam satu trayek lurus yang sebenarnya membuat jemu.
Dalam lagu Sepasang Mata Bola, misalnya. Lagu ini ditulis di masa perjuangan bersenjata melawan Belanda pada tahun 1940-an—ketika hidup sosial terguncang-guncang, ketika tempat asal dan tujuan sama-sama jadi hanya sejenis ruang transit, ketika orang dengan cepat berpindah lokasi dan kelas.
”Hampir malam di Yogya, ketika keretaku tiba Remang-remang cuaca, terkejut aku tiba-tiba..”
Lagu itu, yang sampai hari ini dinyanyikan dengan penuh nostalgia dan keharuan, memaparkan gambar sebuah senja di Stasiun Tugu di Yogya: sepur dari Jakarta datang, penuh orang yang mengungsi dari pendudukan Belanda. Di antara kerumunan itu tampak para prajurit muda, dengan senjata dan sikap yang siap. Tiba-tiba sebuah wajah hadir, dan cerita pun terjadi.
Dalam lirik lagu ini, wajah itu ditandai tatapan mata seorang yang seakan-akan minta dilindungi dari ancaman ”si angkara murka”. Tak jelas sebenarnya—dalam lirik Ismail Marzuki ini—siapa yang berangkat perang, yang ”datang dari Jakarta/’nuju medan perwira”. Tapi terasa ada getaran hati pada sebuah pertemuan, pada sebuah perpisahan, dalam suasana ketika kata ”pahlawan” disebut, dan semangat mempertahankan Republik terasa bertaut dengan ketidakpastian. ”Semoga kelak kita berjumpa pula….”
Kereta api datang, kereta api pergi, apa yang memberikan arti di situ? Bukan Stasiun Tugu, yang menetap seakan-akan prasasti yang dipatok, melainkan perjalanan dan perpindahan—dan tentu saja keberangkatan untuk mati. Yang sementara, yang fana, justru jadi yang amat penting.
Itu juga yang terasa dalam lagu Juwita Malam, juga ciptaan Ismail Marzuki: akhir sebuah perjalanan bukannya melegakan, melainkan menimbulkan rasa sayu.
Kereta kita, segera tiba di Jatinegara kita kan berpisah
Kita berpisah, akhirnya, tapi tiap perpisahan terjadi karena pertemuan. Yang menarik dalam Juwita Malam ialah bahwa pertemuan itu adalah pertemuan dengan seseorang yang tak dikenal: ”Siapakah gerangan tuan? Dari bulankah tuan?”
Dalam kereta api, itulah memang yang sering terjadi—dan itulah yang membuat hidup menegangkan tapi juga memikat. Dari cerita detektif Agatha Christie Murder at the Orient Express sampai dengan travelog Paul Theroux The Great Railway Bazaar, ruang kereta api yang bergerak itu adalah ruang orang-orang yang mungkin ingin saling bertanya kepada orang segerbong: ”Dari bulankah tuan?”
Ada rasa takjub dan juga rasa ingin tahu di hadapan sesama manusia yang beda—yang menyebabkan sebuah cerita detektif mendapatkan suspens-nya dan cerita perjalanan menemukan bumbunya. The Great Railway Bazaar yang terbit pada tahun 1977 adalah perjalanan panjang dari London, lewat Iran, ke Asia. Tapi kita akan kecewa jika kita mengharapkan di buku ini akan ada uraian yang rinci tentang tempat-tempat perhentian. Bahkan terkadang Theroux tak tertarik (misalnya ketika tiba di Teheran) dan terganggu (ketika memasuki Afganistan). Yang ia tangkap adalah apa yang berlain-lainan pada suatu momen: lanskap di luar jendela, bau sardin, kubis, dan tembakau, orang Georgia itu, orang Kanada yang berduka itu, dua pustakawan Australia itu….
Ketika kereta api sampai ke tujuan, semua yang asyik pun usai—seakan-akan hendak menunjukkan bahwa tempat di luar kereta terlampau luas bagi sebuah pengalaman manusia yang terbatas.
Dalam film Tickets, apa yang terjadi dalam sebuah kereta api menuju Roma sanggup berbicara tentang kehidupan sosial-politik Eropa secara lebih jelas dan tajam ketimbang yang disiarkan di televisi mengenai dunia di luar gerbong.
Disutradarai bersama oleh Abbas Kiarostami, Ermanno Olmi, dan Ken Loach, film tahun 2005 ini adalah kisah kebersamaan antar-orang-orang asing, justru di suatu masa yang terganggu oleh kekerasan, paranoia, dan ketimpangan kekuasaan—dunia setelah ”11 September”.
Ada seorang profesor yang pergi ikut pesta ulang tahun cucunya, dan mengkhayalkan sebuah hubungan romantik dengan seorang perempuan yang nyaris tak dikenalnya. Ada seorang pemuda yang dengan sabar tapi akhirnya sebal mengawal janda cerewet seorang jenderal. Ada tiga pemuda pecandu bola dari Skotlandia yang riuh. Ada sebuah keluarga imigran Albania yang tak punya uang untuk beli tiket. Terhadap yang terakhir inilah para penumpang tadi jadi kontras tapi sekaligus bagian dari sebuah solidaritas. Si profesor mengantarkan segelas susu panas bagi si bayi imigran yang terusir dari bordes, trio penggemar bola itu merelakan tiketnya dicuri si anak Albania.
Dan kereta api pun berhenti di Roma.
Apa yang tersisa? Ingatan tentang sebuah perjalanan yang tanpa suspens karena arahnya pasti, tapi memukau karena ini cerita orang-orang asing yang punya momen jadi manusia. Kita jadi manusia ketika kita merasakan ketakutan dan kehilangan orang lain yang tak kita kenal, dan bersedia ikut menanggungkannya. Di situlah, yang fana—derak dan peluit kereta yang berjalan di atas rel menuju ke satu titik yang sudah dirancang—adalah yang membuat kita seakan abadi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo