Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Reformasi Pendidikan Butuh 10-15 Tahun

Dalam wawancara khusus dengan Tempo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menjelaskan berbagai kebijakannya yang penuh kontroversi, seperti penghapusan ujian nasional dan magang mahasiswa.

7 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Nadiem Makarim. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBAGAI kebijakan baru di dunia edukasi dibikin oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Ia, misalnya, mengganti ujian nasional mulai 2021 dengan ujian kompetensi. Mantan Chief Executive Officer Gojek ini juga memberi kebebasan mahasiswa untuk magang selama tiga semester. Sejumlah pihak pun mengkritik kebijakan Nadiem tersebut karena dianggap hanya mempersiapkan mahasiswa untuk bekerja di sektor industri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada tim Tempo di ruang kerjanya pada Jumat, 28 Februari lalu, peraih bachelor of arts Brown University dan master of business administration dari Harvard Business School ini memberikan berbagai penjelasan soal kebijakannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Apa alasan Anda mengeluarkan kebijakan Kampus Merdeka?
Filosofi Kampus Merdeka itu mahasiswa tidak bisa mencapai mimpinya kalau tidak punya otonomi untuk memilih. Mau jadi spesialis, peneliti, atau pengajar? Kami menantang perguruan tinggi untuk mencetak calon pemimpin masa depan yang paling kreatif, inovatif, dan sukses. Tapi bagaimana mau mencetaknya kalau institusi dan pengajar tidak punya kemampuan dan tidak diperbolehkan untuk berinovasi.

Contohnya?
Saat akreditasi kampus, tidak ada yang mengajar. Semua harus mengumpulkan dokumentasi untuk membuktikan dia kerja. Sekolah juga begitu, laporan, keuangan, dan lainnya. Pembelajaran diabaikan karena lebih sibuk urusan administrasi. Kami berupaya menciptakan sistem untuk memastikan guru, dosen, dan institusi berfokus bekerja. Kami juga memerdekakan kampus dari pemerintah dalam hal akreditasi dan perguruan tinggi negeri badan hukum.

Apa dampak Kampus Merdeka untuk mahasiswa?
Kampus dimerdekakan, belum tentu mahasiswanya merdeka. Selama ini mahasiswa dilatih hanya satu gaya dan satu disiplin di satu kolam renang. Sekali-sekali perlu dicemplungin ke laut. Mahasiswa harus dilatih berbagai macam skill supaya bisa bertahan. Jadi kami memberi hak mahasiswa untuk belajar di luar jurusannya sampai tiga semester, dua semester bisa di luar kampus. Bukan untuk menyambung industri saja, tapi untuk memastikan mereka tidak tenggelam.

Anda ingin mahasiswa juga memahami dunia kerja?
Mata kuliah yang relevan bukan untuk pekerjaan, tapi untuk hidup itu paling tinggi jumlahnya 30 persen. Sisanya, aktivitas organisasi kemahasiswaan dan lainnya. Saya tidak puas dengan angka itu. Seharusnya aktivitas kurikulum jauh lebih relevan untuk hidup. Saya tidak bisa mengubahnya dalam lima tahun ini hanya melalui kampus. Cara tercepatnya, langsung belajar di laut. Paling tidak, sudah dikasih ban pelampung karena belum kerja beneran, masih magang.

Anda dikritik karena dianggap hanya mempersiapkan mahasiswa untuk bekerja di bidang industri, bukan penelitian ataupun akademikus.
Yang menjadi akademikus dari lulusan S-1 itu kecil, single digit. Kebanyakan mau kerja di luar kampus atau berdampak ke negara. Sekarang kami sediakan cara lebih cepat untuk menentukan minatnya. Tiga semester magang itu mahasiswa boleh mengikuti proyek penelitian, misalnya ke Papua atau pertukaran pelajar ke luar negeri. Magang itu tidak hanya ke perusahaan, tapi juga bisa ke lembaga swadaya masyarakat. Bahkan kami ada proyek mengajar selama satu semester di sekolah.

Apa hambatan menjalankan Kampus Merdeka?
Masih ada yang memprotes, terutama yang belajar di luar jurusan selama tiga semester. Saya memberikan animo kepada universitas, ini waktunya berubah. Mau bagaimana, itu terserah. Tapi harus membebaskan mahasiswanya. Memang butuh waktu bertahun-tahun.

Apa mungkin transformasi pendidikan selesai saat Anda menjadi menteri?
Kalau ada yang mengharapkan saya mereformasi pendidikan dalam lima tahun, itu tidak mungkin. Ada 50 juta siswa, 300 ribu sekolah, 2 juta guru. Untuk mau berubah secara fundamental itu butuh waktu minimal 10-15 tahun. Harapan saya adalah menciptakan perubahan yang tidak bisa diputarbalikkan dan ada rasio perubahan 15-20 persen. Untuk apa sajalah, 10-15 persen guru, sekolah, daerah, atau hal lain yang menjaga kesinambungan. Misalnya penggunaan teknologi dan penyederhanaan aturan yang saat ini cukup ribet melalui revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Sebenarnya apa ekspektasi Anda begitu menjabat menteri?
Tidak terlalu tinggi. Membereskan organisasi saja dalam 100 hari belum tentu selesai. Saat saya masuk, ada dua kementerian digabung. Biasanya kalau dua kementerian digabung butuh dua tahun. Kami menyelesaikan struktur organisasi bulan lalu (Januari). Apa yang sudah dilakukan selama 100 hari ini melebihi ekspektasi saya. Ada berbagai macam kebijakan yang bisa diambil segera. Jadi 100 hari itu bukan merombak sistem edukasi, tapi melepaskan sekat-sekat yang menghambat, membuat sinyal perubahan. Misalnya ujian nasional jadi ujian kompetensi. Asesmen kompetensi lagi disusun untuk 2021, tapi keputusannya sudah terjadi.

Kenapa Anda memilih penghapusan ujian nasional sebagai kebijakan paling awal?
Tanpa lepas dari penjara UN (ujian nasional), mayoritas guru dan sekolah mengajar siswanya untuk persiapan UN. Sesuai dengan undang-undang, UN itu bukan untuk mengukur prestasi siswa. Tidak mungkin pilihan ganda untuk mengukur prestasi siswa. Yang boleh mengukur kinerja siswa ya guru. Setelah saya berdebat dengan banyak orang, sudah jelas kita perlu ukuran per sekolah. Setelah itu, saya ambil keputusan UN harus diganti.

Merdeka Belajar sudah ada, kenapa tidak ada Merdeka Seragam?
Itu ide bagus. Duit seragam itu besar sekali. Seragam itu ada baiknya, menandakan semua rata dan sama. Soal ekonomi itu sensitif, nanti ada yang anak lebih mampu akan terlihat gimana. Mending kita bolehkan asal warna, bukan dibebasin, tapi dibuat kode saja. Biar tidak menimbulkan main-main juga, harus beli dan jadi proyekan.

Belakangan ini anak-anak kerap terlibat aksi intoleransi. Apa solusi Anda?
Kami akan membentuk Pusat Penguatan Karakter di bawah sekretariat jenderal. Intoleransi, termakan hoax, bullying terjadi karena tidak adanya penanaman moral dan pendirian karakter kuat. Melalui Pusat Penguatan Karakter, kami akan membuat berbagai macam konten yang didistribusikan melalui media massa. Sasarannya langsung ke orang tua dan murid. Kami membangun proses filtering dalam Pusat Penguatan Karakter. Tentu ada berbagai macam aktivitas di sekolah juga, dari PAUD (pendidikan anak usia dini) sampai tingkat tinggi.

Pendidikan karakter itu bukannya harus terinternalisasi dalam berbagai hal, termasuk kurikulum?
Memang. Tapi sekolah cuma menyentuh anaknya. Kalau saya enggak menyentuh orang tuanya, anaknya enggak berubah pas balik ke rumah. Kita tidak bisa menunggu untuk mengubah kurikulum atau satu guru berubah. Jadi harus ada penguatan karakter.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus