Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantai tiga Mal Gandaria City, Jakarta Selatan, yang biasanya hampa tanpa toko, mendadak ramai Sabtu dua pekan lalu. Puluhan muda-mudi berpakaian trendi, juga lelaki dan perempuan paruh baya, hilir-mudik di Skeeno Hall, ruang pameran di lantai puncak. Di dalamnya, ratusan orang mengalir di antara 125 booth—masing-masing seluas 3 x 3 meter—yang memajang baju, aksesori, dan produk interior.
Yang tak biasa dengan keramaian bisa jadi kewalahan. Tapi para pengunjung tak ada masalah, karena mereka tahu apa yang dicari dalam acara bertajuk Brightspot Market ini. "Saya mencari barang unik yang tak ada di toko lain," ujar Niken Ayutyaningrum, 30 tahun. Sedangkan Dian Rachma Pratiwi, 30 tahun, mengaku mencari inspirasi buat desain bajunya. "Kami memang memastikan barang di sini berdesain menarik," kata Anton Wirjono, salah satu penggagas Brightspot, yang diadakan sejak 2009. Mungkin Anton agak berpromosi, tapi dia punya alasan untuk bilang seperti itu.
Desain menarik yang dimaksud di sini agak berbeda dengan konsep "menarik" yang disajikan perancang Indonesia pada umumnya. Tak ada haute couture atau adibusana dengan tema yang dramatis. Di sini kebanyakan menyajikan desain yang sederhana, siap pakai, tapi tidak seragam.
Salah satunya adalah Cotton Ink. Kali ini mereka meluncurkan koleksi berjudul "Summer Rain", yang terdiri atas blus gombor dengan potongan asimetris, laser-cut kimono, dan celana kasual, didominasi warna pink pastel, biru, dan krem dengan bahan katun yang ringan. Cotton Ink juga bereksperimen dengan batik berwarna pastel, sebagai aksen atau motif. "Selama ini warna batik terlalu terang atau gelap. Dengan cara ini, saya harap batik lebih diterima anak muda," ujar Carline Darjanto, salah satu pemilik Cotton Ink. Harga pakaian mereka dari Rp 65 ribu sampai Rp 329 ribu.
Ada pula Nikicio, yang dikenal karena ide-ide yang out of the box. Untuk kali ini mereka mencetak motif rajutan ke bahan sutra. "Bahan rajut yang biasanya berat jadi ringan dengan cara ini," ujar Nina Karina Nikicio, 27 tahun, pemilik merek itu. Ia juga membuat motif polkadot dengan bulatan keramik yang dijahit ke permukaan baju. Koleksi untuk wanita—yang harganya berkisar dari Rp 299 ribu sampai Rp 3,9 juta—berpotongan simpel dan terinspirasi pakaian pria.
Brightspot Market memang dibuat untuk mewadahi desain-desain alternatif—meski tetap harus komersial. Bermula dari keprihatinan Anton dan kawan-kawan melihat brand lokal yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat kita sendiri. "Orang hanya tertarik pada brand internasional, seperti Zara dan Topshop," ujar Chris Kerrigan, pendiri Brightspot lainnya.
Bukannya tak ada desainer mode yang bagus, tapi mereka lebih suka merancang baju couture atau pesanan, yang lebih menguntungkan. Akibatnya, produk lokal terbagi dalam dua ekstrem: adibusana milik desainer lokal mapan atau busana ready to wear berkualitas rendah. Brightspot diharapkan dapat mengisi ruang kosong di antara dua ekstrem itu.
Anton dan enam orang lainnya pun memutuskan membantu mereka dengan menggelar Brightspot pertama di ruang kosong di EX Plaza, Jakarta, 30 April-3 Mei 2009. Awalnya hanya 25 brand yang ikut serta. Kondisinya mulai berubah di Brightspot berikutnya. Jumlah pengunjung juga meningkat. Sementara pada 2009 pergelaran itu hanya dikunjungi 5.000 orang, tahun ini meningkat menjadi 57 ribu orang! Brand asing yang ingin menggaet pasar Indonesia pun berminat ikut.
Perubahan ini dirasakan oleh peserta. "Kami baru benar-benar dikenal ketika ikut Brightspot," ujar Carline. Melihat animo yang besar, Cotton Ink, yang awalnya hanya membuat scarf katun, akhirnya meluncurkan produk busana lengkap tahun berikutnya. Respons pengunjung ternyata positif. "Kami terpilih sebagai brand favorit," ujarnya. Nama Cotton Ink pun semakin dikenal. Dua tahun berturut-turut mereka diundang ke Jakarta Fashion Week. Sekarang mereka memiliki webstore dan membuka gerai di Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Nina Nikicio juga mengaku Brightspot membuatnya dikenal. "Pertama kali ikut pada 2009, jumlah hit di webstore naik dari 2.000 jadi 5.000," ujarnya. Satu lagi "pemain lama" adalah Monday to Sunday, milik duo desainer Mellyun Sing, 26 tahun, dan Dita Addlecoat, 28 tahun. Mereka ikut Brightspot sejak awal. "Ketika itu, penghasilan kami empat hari langsung menyamai sebulan di butik," ujar Mellyun. Sekarang mereka membuka gerai di Metro Department Store dan Debenham’s.
Brand ini dikenal karena koleksi yang penuh permainan volume dan lapisan (layer). "Kami terinspirasi oleh aliran surealis," ujar Mellyun. Kali ini mereka meluncurkan koleksi "Leap Through the Memories". Inspirasinya dari mimpi masa kecil sehingga baju koleksinya banyak menampilkan warna cerah. Harganya berkisar dari Rp 150 ribu sampai Rp 600 ribu.
Bukan hanya busana, merek aksesori Kandura Keramik juga sering meluncurkan produk di Brightspot. "Di sini kami bisa langsung tahu respons konsumen," ujar Nuri Fatima, salah satu desainernya.
Melihat berbagai kisah sukses ini, sejumlah produsen meluncurkan lini baru mereka di Brightspot. Salah satunya BluesÂville. "Omzet kami di sini Rp 10 juta per hari," ujar Osi Suheili, 21 tahun, salah satu dari empat pendiri brand itu. Bluesville merancang pakaian pria yang terinspirasi era Perang Dunia II, yang mengutamakan fungsionalitas dan daya tahan. Mereka menerjemahkan ide itu ke kemeja kerja berpotongan klasik dan fatigue pants—celana militer—dari bahan tebal.
Keistimewaan mereka adalah proses produksinya. "Kami menggunakan tenun tangan dan pewarna alami," ujar Osi. Biasanya tenun tangan dan pewarna alami hanya dipakai untuk kain tradisional bakal pakaian perempuan, tapi kali ini mereka memakainya di pakaian kerja pria.
Selama setahun mereka bereksperimen dengan kulit kayu, daun mangga, bahkan jengkol, pewarna cokelat alami. Tapi yang paling susah adalah menguasai pewarnaan dengan tanaman indigo, pewarna biru. "Tanaman lain cukup diolah 2-3 jam, indigo berhari-hari," ujarnya. Kenapa bersusah-susah? "Kami ingin orang Indonesia sadar bahwa proses tradisional ini masih ada," ujarnya.
Keberhasilan Brightspot menyajikan merek-merek inovatif ini tak lepas dari seleksi ketat yang mereka lakukan. "Kami memilih brand yang produknya unik, berkualitas, dan menarik bagi yang sadar desain dan fashion," ujar Chris Kerrigan. Chris bersama istrinya, Cynthia Wirjono, keduanya dari sekolah seni Amerika Serikat, menjadi filter pertama brand yang masuk Brightspot. Meski mereka berkonsentrasi pada desain untuk anak muda, bukan berarti segmen lain, seperti anak-anak, dilupakan. Semangat pemilik brand juga penting. Persaingan menjadi tenant pun ketat. Dari 300-an yang mendaftar, hanya 125 peserta yang bisa menyewa booth.
Meski memiliki banyak sisi terang, Brightspot Market bukannya tanpa kekurangan. Beberapa produk tak rapi jahitannya atau bahannya kurang bagus. Cynthia mengakui hal itu. "Persediaan bahan bagus di Indonesia sering kali hanya sedikit sehingga desainer susah berkembang." Terkadang, ketika sebuah brand berkembang, kontrol kualitas berkurang. Tim Brightspot juga ingin lebih banyak menampilkan produk nonbusana. "Hanya, saat ini tidak banyak desainer produk yang mendekati kami," ujar Chris.
Sadika Hamid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo