Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pantun adalah puisi klasik yang dicipta dan dihidupi masyarakat secara turun-temurun.
Pantun digunakan dalam seni pertunjukan Betawi, seperti lenong, tonil, wayang kulit, dan sohibul hikayat.
Menurut pakemnya, dalam pantun sebenarnya tidak ada tradisi senggakan.
DI pengujung 2024, tepatnya pada 21-22 Desember 2024, pegiat pantun, baik maestro, praktisi, pemula, tua-muda, lelaki-perempuan, maupun remaja (khususnya pelajar SD, SMP, dan SMA), berkumpul dalam Festival Pantun Nusantara 2024. Festival yang digagas seniman sekaligus Ketua Perkumpulan Rumah Seni Asnur, Asrizal Nur, itu melibatkan praktisi pantun dari Asia Tenggara. Ramai, meriah, ilmiah, mengedukasi, dan memperkokoh tali persaudaraan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbunga-bunganya festival itu lantaran diisi oleh berbagai kegiatan, seperti parade pantun Nusantara dan karmina pelajar, adu pantun, lagu pantun, dramatisasi pantun, rektor berpantun, Anugerah Pantun Budaya dan Karmina Pelajar ASEAN, Anugerah Penggerak Pantun ASEAN, parade baca pantun ASEAN, seminar pantun internasional, serta peluncuran buku pantun (Pantun Mutiara Budaya Nusantara, Antologi Karmina ASEAN, dan Karmina Pelajar ASEAN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pantun adalah sastra (puisi) klasik yang diciptakan dan dihidupi oleh masyarakat, khususnya masyarakat Melayu, secara turun-temurun. Keunikannya spontan, anonim, bernapas secara lisan, serta dimanfaatkan untuk berbagai tujuan dan kemaslahatan kemasyarakatan. Dengan sebutan berbeda, pantun hidup dan mengakar di tiap etnik Nusantara. Bentuk ekspresinya pun beraneka. Disenandungkan, dinyanyikan dengan iringan musik, berbalas-balasan dengan dan tanpa iringan musik, hingga dituturkan begitu saja dalam berbagai kegiatan formal dan nonformal.
Sebagai tradisi lisan, pantun bermedia utama bahasa. Jika praktisi atau seniman pantun dari Sabang sampai Merauke menggunakan bahasa daerah masing-masing, jelas bahwa pantun berperan menjadi penjaga bahasa (bahasa ibu). Meskipun karakter pantun sarat humoritas dan cair, isinya tetap mengungkap persoalan hidup sehari-hari. Kontekstualitas keseharian inilah—dakwah, nasihat, nasionalisme, sindiran, humor, cinta, kasih sayang, korupsi, politik, kritik, dan kematian—yang diracik oleh pantun. Pantun menjadi banal dan bengal, tapi tetap dapat dijadikan sumber etika, estetika, moral, adab, sopan santun, dan edukasi keagamaan. Mengikuti lokalitas keetnikannya, tentu saja tuturan lokal (dalam bahasa ibu) menjadi identitas dan keniscayaannya. Mendengar pantun diucapkan, kita mengerti dari mana pantun itu berasal.
Pada masyarakat Melayu Betawi, pantun berbalas-balasan (berbalas pantun) seraya diiringi musik disebut rancag. Ini merupakan jenis pantun berkait dan berkisah—seperti cerita rakyat, misalnya Rancag Pitung, Rancag Angkri—yang ramai memeriahkan resepsi perkawinan. Ada pula yang dinyanyikan seorang diri tanpa iringan musik dengan tema-tema khusus, yang disebut locan. Seniman locan berkeliling kampung dan mengumpulkan penonton di satu lapangan. Pantunnya berupa teka-teki, merujuk pada properti dekorasi yang dipasangnya.
Pantun berbalas-balasan sebelum akad nikah disebut sapun. Ini merupakan bagian dari inti upacara buka palang pintu. Pantun yang dinyanyikan secara koor (umumnya dibawakan kaum perempuan dengan tema islami dan kepahlawanan) disebut gesah tuntun. Pantun demikian sering ditampilkan pada perayaan hari-hari besar Islam dan pelengkap ritus, khususnya nujuh bulan, pindah rumah, dan sedekah bumi.
Dalam seni pertunjukan Betawi, apakah itu topeng, lenong (denès dan preman), tonil, wayang kulit, sohibul hikayat, dan bulèng, penggunaan pantun menjadi mutlak. Enggak asyik atau kecentet (mati angin, hambar) bila seni pertunjukan tanpa tuturan atau dialog dengan pantun. Pantun membuat ketegangan, ketidakpahaman, kebuntuan, kesuntukan, kedukaan, kegelisahan, dan beban hidup menjadi terurai.
Pemerintah, yang ketar-ketir atas keberadaan pantun, melakukan berbagai upaya untuk merawatnya. Di Jakarta, pantun Betawi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda pada 2013 dan 17 Desember sebagai Hari Pantun Nasional. Hal itu ditautkan dengan keputusan UNESCO pada 17 Desember 2020 yang menetapkan pantun sebagai The Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage.
Pantun Sempurna
Pantun menjaga dan mendokumentasikan kearifan lokal. Secara tidak langsung pantun menjadi penyampai gagasan dalam berbagai segi kehidupan. Gagasan itu dituturkan dengan diksi dan bentuk dialog tangkas, halus, dan sopan sehingga pendengar atau sasaran yang dituju tidak tersinggung. Meskipun berkarakter spontan, pantun membangun suasana akrab, cair, dan bersahabat.
Pantun yang dibicarakan di sini adalah pantun reguler yang umumnya dipakai, yakni pantun per bait empat larik (baris), bukan karmina, enam baris, atau lainnya. Saat ini karmina—pantun dua baris yang dalam masyarakat Betawi disebut pantun kontet—memang sangat digandrungi karena kepraktisan dan kemudahannya.
Pantun reguler mengenal pakem atau format solid sesuai dengan kaidah dan polanya. Tiap bait terdiri atas empat larik. Dua larik pertama disebut sampiran dan dua larik berikutnya disebut isi. Sampiran tidak serta-merta kait-berkait dengan isi. Meski begitu, sampiran merupakan bayangan, ancangan, atau pintu masuk menuju isi.
Anak-anak menyaksikan pementasan lenong Betawi dalam Festival Budaya Betawi di Jakarta, Juni 2014. Dok.TEMPO/Dasril Roszandi
Tiap larik terdiri atas empat kata, dengan jumlah suku kata maksimal 14. Keindahan tuturan pantun terletak pada rima (persamaan bunyi). Lazimnya rima berbunyi ab ab atau aa aa. Rima terdiri atas rima akhir, rima tengah akhir, dan rima sempurna. Rima akhir adalah persamaan bunyi pada tiap akhir suku kata pada kata terakhir tiap larik. Contohnya:
Tuan toko anaknye bodoh
Lagi disuruh tulis karangan
Kalolah ada untung dan jodoh
Masa urung jadi pasangan
Suku kata pada kata terakhir larik pertama, (bodoh) doh, berpasangan dengan suku kata terakhir pada kata terakhir larik ketiga, (jodoh) doh. Suku kata terakhir pada kata terakhir larik ketiga, (karangan) ngan, berpasangan dengan suku kata terakhir pada kata akhir larik keempat, (pasangan) ngan.
Rima tengah akhir adalah persamaan bunyi suku kata akhir pada kata di tengah dan suku kata pada kata-kata terakhir tiap larik. Contohnya:
Kue bolu taro di dulang
Roti-roti dalem tetampa
Dari dulu sudah dibilang
Setengah hati buatlah apa
Larik pertama suka kata terakhir pada kata kedua, (bolu) lu, dan suku kata terakhir pada kata terakhir, (dulang) lang, berima dengan larik ketiga suku kata terakhir kata kedua (dulu) lu dan suku kata terakhir kata terakhir (dibilang) lang. Larik kedua suku kata terakhir kata kedua (roti) ti dan suku kata terakhir kata terakhir (tetampa) pa berima dengan larik keempat suku kata kedua pada kata kedua (hati) ti dan suku kata terakhir pada kata terakhir (apa) pa.
Rima sempurna adalah persamaan bunyi pada tiap akhir suku kata setiap kata setiap larik. Contohnya (kita nukil dari pantun klasik yang sudah amat populer),
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
Kita perhatikan pantun klasik di atas. Semua akhir suku kata tiap kata semua larik (larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik keempat) berima sama. Inilah bentuk pantun yang paling mumpuni dan paripurna. Makanya disebut pantun sempurna. Jarang seniman atau praktisi pantun dapat mengekspresikannya, kecuali sudah dirancangnya jauh-jauh hari.
Saya jarang menemui seniman pantun yang dapat menuturkan pantun berima tengah dan akhir, apalagi pantun sempurna. Tingkat kesulitan mencipta pantun berima tengah akhir dan berima sempurna melebihi kesulitan menemukan jarum di tumpukan jerami. Kecerdasan seniman pantun yang mampu secara spontan menuturkan pantun sempurna mungkin setingkat dengan kecerdasan Albert Einstein.
Mencermati seniman pantun masa kini, pada umumnya mereka hanya mampu menuturkan pantun berima akhir. Itu pun terkadang menabrak kaidah pakem pantun. Terutama dalam hal jumlah kata yang berpengaruh pada jumlah suku kata.
Cakeeep!
Sejak UNESCO menetapkan pantun sebagai Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage, popularitas pantun meroket. Pantun menjadi makanan sehari-hari berbagai kalangan lintas usia, gender, sosial, dan profesi. Paling tidak itulah yang saya cermati di Jakarta. Birokrat (baik swasta maupun pelat merah), ulama, sosialita, dan masyarakat pada umumnya demam pantun. Mereka memulai dan mengakhiri sambutan dengan pantun.
Belum lagi pada suasana nonformal yang penuh kelakar. Meluncur mulus dari mulut mereka pantun-pantun yang menghidupkan suasana, baik pantun reguler maupun karmina. Jika kemampuan mereka mencipta pantun terbatas, ada seniman pantun yang membuka jasa membuatkan pantun sesuai dengan topik pembicaraan. Orang yang sudah akrab dengan pola dan pakem pantun pasti akan dapat merasakan keindahan pantun yang diucapkan pejabat, apakah pantun itu karyanya atau pesanan yang tentu saja karya orang lain.
Sepanjang pendengaran saya, pantun-pantun yang berlompatan dari mulut pejabat adalah pantun yang baik, sesuai dengan pakem. Untuk memenuhi permintaan pantun, ada beberapa kolega yang mahir pantun mengkomersialkan karya pantunnya. Tidak tanggung-tanggung, ia membanderol jutaan rupiah untuk jasanya. Institusi dan instansi pemerintah menyelenggarakan pelatihan atau workshop pantun bagi karyawannya.
Fenomena pantun di tangan pesohor (khususnya pejabat) memperoleh reaksi positif dan masif dari masyarakat pendengar atau sasarannya. Reaksi itu berupa tanggapan yang sifatnya interaktif-apresiatif. Reaksi spontan itu berupa sambutan dengan mengucapkan "cakeeep" ketika pejabat mengucapkan larik pertama pantunnya.
Fenomena ini mulai terasa pada dekade pertama abad ke-21. Sebelum itu, masyarakat menikmati pantun, baik yang hanya dituturkan maupun dinyanyikan, dengan mendengarkan secara tertib. Mereka ingin memperoleh intisari pesan dari pantun yang dibawakan. Jika ada kata yang terkesan menggelitik bengal, lucu, dan nyerempet-nyerempet, mereka memberikan aplaus karena girang dan senang.
Malam Final Pemilihan Abang None Jakarta 2022 di Gedung Teater Ciputra Artpreneur, Jakarta, September 2022. ANTARA/M Risyal Hidayat
Fenomena "cakeeep", sepanjang amatan saya, awalnya muncul dari ajang pemilihan Abang None Jakarta. Peserta yang mengikuti ajang itu diharuskan memahami sejarah dan kebudayaan atau khususnya kesenian Betawi. Selain menari, menyanyi, dan memahami siklus serta ritus, mereka diwajibkan membuat dan membaca pantun. Bahkan ada sesi khusus pantun pada pembekalan abang dan none.
Peserta yang berpantun mendapat dukungan dari peserta lain dengan senggakan "cakeeep". Dukungan itu membuat peserta yang tengah menghadapi penilaian juri kian percaya diri. Lantaran ajang pemilihan Abang None Jakarta dengan ekspose pantun yang mendapat senggakan itu menggema dari enam wilayah kota madya dan dipuncaki di tingkat provinsi, bahkan ditayangkan langsung oleh stasiun televisi swasta, "cakeeep" menjadi virus yang menular. Secara pakem, dalam pantun, tidak ada tradisi senggakan "cakeeep".
Kini senggakan itu menjadi tren. Jika pejabat atau siapa pun berpantun di awal dan di akhir pidatonya tidak mendapat respons senggakan dari pendengarnya, mereka sering mengulang larik yang diucapkan untuk sekadar mendapat senggakan "cakeeep". Atau mereka tidak segan-segan meminta khalayak untuk nyenggak. Senggakan hanya membuat heboh dan liar, tidak lain.
Saudara, jika kau ingin senang, waras, digandrungi, dan dikangeni oleh banyak orang, berpantunlah.
Cari katun di dalem lemari
Lemari tua luntur kelirnya
Mari berpantun untuk negeri
Negeri tercinta makmur rakyatnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo