Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tubuh, Sendok, dan Garpu

Bandar Teater Jakarta mementaskan lakon yang mengeksplorasi anggur, sendok, dan garpu. Tapi masih terlalu bertumpu pada kata.

28 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namaku Molotov." Tiba-tiba tubuhnya ambruk ke depan, terkapar di antara hamparan sendok, garpu, dan mangkuk berisi anggur. Laki-laki itu (Dendi Madiya) sebelumnya berkeliling sambil mencerocos: "Kota amnesia, kota amnesia, city of love. Saya paling benci mengatakannya. Ini pisau," sembari membuka rompi yang berisi belasan garpu terselip.

Ia kemudian berusaha menangkupkan mangkuk secara keras-keras ke wajahnya sendiri. Ia juga yang mengatakan: "Ibu, aku tak kuasa melawan orang-orang yang duduk di meja makan kita."

Adapun lelaki lain dengan rambut putih terkuncir dan berdada kurus gering mengikatkan pipa ke pinggang, menjadikannya bak ekor, meloncat-loncat di atas sendok dan garpu. Ia terpeleset-peleset, hampir terpelanting. Lelaki itu diperankan Busrok Yusuf Busro, 65 tahun. Pada adegan lain, ia meraup puluhan sendok-garpu dan menumpahkan di kepalanya yang berambut putih ke arah penonton sambil berujar, "Ini susunya sudah dingin, tapi belum basi. Tapi kalau sudah basi, ya, tidak apa-apa."

Inilah adegan-adegan Bandar Teater Jakarta yang mementaskan lakon berjudul Mangkuk Bakkhus Blah Blah Blah yang disutradarai Malhamang Zamzam. Ketika penonton masuk Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta, Ahad, 20 September lalu, ratusan sendok dan garpu sudah berhamparan di lantai. Melihat itu, kita sesungguhnya mengharapkan sendok dan garpu tersebut bakal menjadi "sesuatu yang tak terduga".

Tiga aktor, Scolet, Busrok Yusuf Busro, dan Dendi Madiya, mulanya berkerudung jas hujan. Mereka membuka jas hujan dan memungut anggur atau tomat ke dalam mangkuk. Mereka lalu hilir-mudik, bergantian mengucapkan serangkaian ucapan yang tak berhubungan satu sama lain. Kata-kata itu diambil dari nukilan teks Petualangan Odysseus bagian kisah Thelemakhus dan Odiseus karya Stelio Marieli; tulisan pada lukisan Sudjojono, Setangkai Bunga Kemboja (1954); drawing Sudjojono, Sodom dan Gomorah (1956); juga dari artikel "Tentang Tanah Air dan Masyarakat Postkolonial" oleh Jamaica Kincaid.

Judul pementasan ini Bacchus. Bacchus sesungguhnya berarti anggur dan nama lain dari Dewa Dionysus pada masa Yunani kuno. Dionysus berjulukan Bacchus karena memiliki ritual minum anggur. Tapi keseluruhan pementasan tidak dibingkai ke dalam perspektif pemikiran itu. Padahal bukan tidak mungkin akan menarik bila diarahkan ke situ. Sebab, sambil memakan anggur, seorang aktor mengucap: "Saya datang ke sini bukan untuk melihat perawan."

Kalimat-kalimat terasa mendominasi pertunjukan. Kalimat-kalimat ini seyogianya akan menjadi lebih kuat apabila dibarengi dengan eksplorasi yang berani terhadap sendok dan garpu. Di titik ini, sendok dan garpu sebenarnya bisa menjadi aktor keempat, menjadi obyek yang dapat dihidupkan. Sayang, sepanjang pertunjukan, garpu cenderung menjadi set yang "pasif". Interaksi antara aktor dan garpu kurang variatif. Aktor terasa kurang berani jatuh-bangun dan berguling-guling di atas sendok untuk menimbulkan kejutan tak terduga.

Aktor singkatnya tidak masuk ke sebuah orgi sendok dan garpu. Padahal kemungkinan demikian sangat kaya. Harapan demikian bukan tanpa alasan karena baru saja beberapa bulan lalu, di tempat yang sama, kita melihat pentas teater Payung Hitam dari Bandung yang mengeksplorasi unsur batu. Batu bergantung, berayun,hujan batu di antara tubuh aktor terasa demikian beragam dan semuanya memberikan pesan-pesan nyeri. Dibanding pertunjukan itu, tubuh dalam pentas ini terasa terlalu berhati-hati.

Frame menyaksikan pentas ini dengan dramaturgi biasa memang harus dibuang jauh. Panggung sama sekali tak menampilkan peristiwa.

Misalnya kalimat-kalimat tak berhubungan yang diucapkan aktor-mungkin diharapkan penonton akan mengalami sensasi tersendiri yang lain dari drama konvensional. "Saya serahkan kepada penonton berdasarkan pengalaman mereka saja. Kalau ada merasa yang itu gue banget, wah alhamdulilah," kata Malhamang Zamzam.

Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus