Pelajaran keterampilan di sekolah umum akan dihapus. Siswa dititipkan ke tempat kursus. Hemat biaya. Lembaga kursus panen. JANGAN heran jika seorang lulusan SMP tak bisa membetulkan radio walau kerusakannya cuma kabel yang ke loudspeaker copot. Padahal, selama tiga tahun ia sempat nongkrong di ruang keterampilan dan diajar mengutak-atik alat elektronik itu. Demikian pula siswa lain yang sudah belajar memasak atau menggergaji dan menyerut kayu. Kebanyakan mereka juga belum becus membuat masakan yang sedap disantap atau membikin bangku. "Selama ini saya tak banyak mendapatkan apa-apa dalam belajar keterampilan," kata Maman, siswa kelas III SMP Negeri 14 Bandung, yang mempelajari keterampilan elektronik. Bagi Maman, dan juga teman-temannya, belajar keterampilan sekadar mencari nilai untuk melengkapi kurikulum sekolahnya. Bukan untuk menjadi terampil. Lemahnya pendidikan keterampilan semacam ini diakui pula oleh Prof Moegiadi, Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen P dan K, yang juga bekas Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan. Pengembangan pendidikan keterampilan di sekolah umum seperti SD, SMP, dan SMA, tetap saja seret. Semula, tujuan memasukkan mata pelajaran keterampilan ke sekolah umum, kata Moegiadi, dimaksudkan untuk membekali siswa agar punya modal keterampilan. "Paling tidak, bisa menumbuhkan hobi atau syukur-syukur bisa menjadi modal untuk mencari nafkah," katanya. Kenyataannya, program itu sulit berkembang. Salah satu sebab, kata guru besar IKIP Bandung itu, dananya terbatas. Juga ada penghambat lain seperti peralatan yang minim dan instruktur yang kurang mahir. Akibatnya, pelajaran keterampilan di sekolah dinilai mubazir karena tak berhasil mendorong siswa menyenangi bidang itu, apalagi menjadi terampil. Padahal, waktu yang disediakan untuk keterampilan cukup leluasa. Tiap minggu mereka belajar keterampilan tiga jam selama tiga tahun. Bila fasilitas keterampilan di sekolah umum ditingkatkan, biaya yang harus disediakan tak sedikit. Tambah lagi, bidang yang ditawarkan belum tentu cocok dengan minat siswa atau kebutuhan masyarakat sekitarnya. Akhirnya, Sekretaris Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) itu pun menyodorkan gagasan baru. Sekolah bisa menitipkan siswanya ke lembaga kursus yang diselenggarakan swasta. Jenis keterampilan lebih beragam, sesuai dengan minat masing-masing. Jadi, katanya, pada jam-jam pelajaran keterampilan, para siswa bisa mengungsi ke tempat kursus. Dalam catatan departemen itu, kini ada sekitar 18.500 lembaga kursus dengan 39 jenis keterampilan yang tersebar di 27 provinsi. Lembaga kursus, katanya, rata-rata punya kelebihan, yakni tenaga instruktur yang lebih baik dan sistemnya sudah mapan. "Jadi, lembaga itu bisa dimanfaatkan," kata Moegiadi. Siswa bisa memilih ikut kursus komputer, mengetik, elektronik, montir mobil, membuat kue, merias wajah, dan lain-lain yang tak mungkin disediakan di sekolah. Untuk biaya, sekolah akan mengurusnya dengan lembaga kursus. Tentunya, penyelenggara kursus bisa diminta mengenakan "tarif pelajar". Pihak Bank Pembangunan Asia (ADB) pun, katanya, nampaknya punya minat menyediakan dana. Departemen P dan K segera akan menyusun rencana itu. Studi kelayakan akan dilakukan mulai bulan depan. Secara bertahap, pemerintah akan melakukan akreditasi semua lembaga kursus. Hanya tempat kursus yang layak yang dijadikan tempat penitipan. Pada tahun ajaran 1991/l992 diharapkan sudah mulai dicobakan untuk beberapa SMP. Secara keseluruhan, program itu baru dilaksanakan tahun 1994/1995. Tentu saja, rencana Departemen P dan K menitipkan pelajaran keterampilan ke lembaga kursus itu disambut hangat oleh Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Pendidikan Luar Sekolah (HPPLS), Dr. C.H. Rizal. "Kami siap untuk menerima siswa SMP itu," katanya. Diakuinya, lembaga kursus yang baik biasanya ada di kota besar. Di Jakarta saja, paling tidak ada 2.500 buah. Tempat kursus yang besar, misalnya saja Jakarta College, mampu menampung 5.000 peserta atau sekitar 10% daya tampung tempat kursus di Ibu Kota. Lembaga kursus yang baru tumbuh rata-rata bisa menampung 1.000 orang. Semua lembaga kursus masih punya kesempatan menambah kapasitasnya. Bila siswa sekolah umum diwajibkan ikut kursus, diperkirakan lembaga kursus besar akan berlomba membuka cabang di kota-kota kecil. Memang, lembaga kursus akan siap-siap berebut rezeki program penitipan siswa dari Departemen P dan K itu. Misalnya saja LPKIA Bandung. "Program itu jelas sangat menarik," kata Paulus Tamzil, pimpinan kursus komputer terbesar di Kota Kembang itu. Untuk itu, ia akan merancang lebih matang program yang cocok untuk siswa SD, SMP, dan SMA. Lembaga kursus keterampilan "kecil" Netron Yogya pun ikut gembira menyambut cipratan rezeki. "Itu jelas menguntungkan. Tidak sepi seperti sekarang ini," kata Suradji, pimpinan tempat kursus mengetik, akuntansi, dan komputer. Namun, ia pun punya rasa waswas. Rezeki yang ditaburkan Pemerintah itu jangan-jangan hanya dinikmati lembaga kursus besar dan beken. "Bisabisa kami yang kecil-kecil ini malah gulung tikar." Jalan tidaknya proyek pemerintah ini sangat tergantung kesiapan lembaga kursus. Pada awal proyek ini bergulir, mereka mesti menampung sedikitnya delapan juta siswa SMP. "Program ini memang penuh tantangan. Tapi kapan lagi kalau tak dimulai sekarang?" kata Moegiadi. Gatot Triyanto, Ajie Surya, dan Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini