Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Netty Herawati Hutabarat, 47 tahun, tak terima ditolaknya gugatan ganti rugi anaknya, Arga Putra Samosir alias Ucok, 18 tahun, salah satu pengamen Cipulir.
Gugatan ditolak oleh Hakim Elfian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa, 30 Juli 2019. Arga merupakan satu dari empat orang pengamen Cipulir korban salah tangkap yang mengajukan gugatan praperadilan ganti rugi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sambil menangis, ia menyampaikan tak terima dengan putusan hakim lantaran anaknya tak bersalah. “Kalau memang benar-benar bersalah anak saya, saya terima. Ini gak bersalah. Tolong, lah! Orang kecil itu diperhatikan,” ujar Ucok usai persidangan Selasa, 30 Juli 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia pun membandingkan Ucok bersama Fatahillah, Bagus Firdaus, dan Fikri, dengan dua pengamen lain, Andro dan Nurdin, yang gugatannya lebih dulu diterima pada 2016 lalu. Netty merasa tak terima kalau gugatan anaknya disebut kedaluwarsa oleh hakim.
“Saya berani ngomong tidak ada keadilan di sini. Temannya (Andro dan Nurdin) dapat (ganti rugi), dia gak dapat. Apa bedanya memang kasus mereka?” tutur Netty.
Ucok bersama Bagus, Fatahillah, Fikri, Andro, dan Nurdin dituduh membunuh Dicky Maulana, pengamen yang ditemukan tewas di kolong Jembatan Cipulir, Jakarta Selatan, pada 30 Juni 2013.
Para pengamen tersebut menyatakan dipaksa polisi untuk mengaku sebagai pelaku pembunuhan. Bahkan, mereka dinyatakan bersalah dan divonis kurungan penjara dengan hukuman bervariasi. Namun, dalam putusan banding dan kasasi Mahkamah Agung pada 2016 mereka dibebaskan karena dinyatakan tak bersalah.
Dalam gugatannya, Ucok, Bagus, Fata, dan Fikri menuntut ganti rugi kepada Polda Metro Jaya, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, serta Kementerian Keuangan sebesar material sebesar Rp 662.400.000 untuk kerugian materiil dan kerugian imateriil Rp 88.500.000, serta merehabilitasi nama baik para pemohon di media massa nasional dan lokal.
Namun, Hakim Elfian menolak gugatan tersebut dengan alasan sudah kedaluwarsa. Ia mengatakan, kuasa hukum para pengamen dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah menerima petikan putusan peninjauan kembali (PK) bernomor 131/PK/Pid.Sus/2015 dari Mahkamah Agung pada 11 Maret 2016 dan salinan putusan PK pada 25 Maret 2019. Ia melanjutkan, berdasarkan PP tersebut, batas waktu mengajukan gugatan ganti rugi dihitung sejak pertama kali diterima antara petikan atau salinan putusan.
Atas dasar itu lah Elfian menyebut gugatan praperadilan ganti rugi (pengamen Cipulir) yang baru diajukan oleh LBH pada 21 Juni 2019 telah kedaluwarsa.
“Menimbang jika dihitung sejak tanggal penerimaan petikan putusan tersebut 11 Maret 2016 sampai tanggal permohonan ini diajukan oleh pemohon tanggal 21 Juji 2019 sudah melebihi 3 tahun berarti telah melebihi jangka waktu 3 bulan sebagaimana ditentukan pasal 7 Ayat (1) PP Nomor 92 Tahun 2015,” ucap Elfian soal gugatan praperadilan oleh 4 pengamen Cipulir tersebut.