Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Jakarta dan empat pengamen Cipulir korban salah tangkap resmi melaporkan Hakim Elfian ke Komisi Yudisial (KY).
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu dilaporkan karena diduga melanggar Pasal 82 Ayat (2) KUHAP dalam menolak gugatan praperadilan ganti rugi 4 pengamen korban salah tangkap.
“Dalam pasal itu dijelaskan hakim dalam putusan harus memberikan dasar dan alasan hukum,” ujar pengacara LBH Jakarta Oky Wiratama di gedung Komisi Yudisial, Jakarta Pusat, Jumat, 2 Agustus 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan LBH Jakarta bersama 4 pengamen korban salah tangkap diterima Komisi Yudisial dengan nomor 0892/VIII/2019/P.
Pengacara dari LBH Pers bersama pengamen cipulir korban salah tangkap melaporkan hakim Elfian ke Komisi Yudisial, Jumat, 2 Agustus 2019. Tempo/Adam Prireza
Oky mempermasalahkan pernyataan hakim Elfian yang menyatakan gugatan mereka kedaluwarsa lantaran pengacara dari LBH telah menerima petikan putusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung bernomor 131/PK/Pid.Sus/2015 pada Maret 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Elfian mengacu pada pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015, gugatan ganti kerugian dapat diajukan 3 bulan sejak petikan putusan atau salinan putusan diterima.
Padahal, menurut Oky, dalam pasal itu terdapat kata “atau” yang berarti tenggat waktu gugatan dapat mengacu baik pada waktu diterimanya petikan maupun salinan putusan. Oky mengatakan kalau pengacara LBH baru menerima salinan putusan pada 25 Maret 2019.
Hal itu yang menjadi acuan mereka mengajukan gugatan praperadilan ganti rugi. “Yang kamu dapatkan dalam putusan praperadilan kemarin tidak ada satu pun alasan hukum dari hakim sehingga mengesampingkan waktu diterimanya salinan putusan,” tutur Oky. “Jadi, dasar hukum mana yang mengacu petikan didahulukan dibandingkan salinan?”
Para korban salah tangkap dalam kasus pembunuhan pengamen itu adalah Fatahillah, Arga alias Ucok, Fikri, serta Bagus Firdaus alias Pau. Bersama dua pengamen lain, Andro dan Nurdin, mereka dituduh membunuh Dicky Maulana, pengamen yang ditemukan tewas di kolong Jembatan Cipulir, Jakarta Selatan, pada 30 Juni 2013.
Para pengamen tersebut menyatakan dipaksa polisi untuk mengaku sebagai pelaku pembunuhan sesama pengamen. Bahkan, mereka dinyatakan bersalah dan divonis kurungan penjara dengan hukuman bervariasi. Namun, dalam putusan banding dan kasasi Mahkamah Agung pada 2016 mereka dibebaskan karena dinyatakan tak bersalah.
Sebelumnya, dua pengamen Cipulir yang menjadi korban salah tangkap yaitu Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto telah mengajukan praperadilan. Permohonan tersebut kemudian dikabulkan oleh pengadilan dengan meminta Polda Metro Jaya untuk memberikan ganti rugi senilai Rp 72 juta.