Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setelah penantian panjang, pada 8 Januari 2024, Oman Abdurohman mendapat uang ganti rugi sebesar Rp 222 juta setelah sebelumnya menjadi korban salah tangkap anggota polisi Polres Lampung Utara, pada 2017 silam. Tak hanya jadi korban salah tangkap polisi, Oman juga sempat dipaksa mengaku sesuatu yang tak ia lakukan dan alami kekerasan dan tembakan polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ternyata, Oman bukan korban salah tangkap polisi pertama. Kejadian yang dialami Oman mengingatkan pada peristiwa 27 tahun lalu, korban salah tangkap, Sengkon dan Karta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari Majalah Tempo, mereka adalah petani dari Bekasi, Jawa Barat yang ditangkap atas tuduhan perampokan dan pembunuhan pasangan suami-istri, Sulaiman-Siti Haya, warga Desa Bojongsari. Pada 1997, Pengadilan Negeri Bekasi memvonis Sengkon 13 tahun penjara dan Karta 7 tahun.
Dalam berita acara pemeriksaan polisi, keduanya disebut telah mengaku membunuh. Sengkon dan Karta pun dijebloskan ke penjara atau Lapas Cipinang, Jakarta, setelah sebelumnya mendekam di penjara Bekasi. Di Cipinang inilah mereka bertemu dengan Genul, keponakan Sengkon yang dibui lantaran kasus pencurian.
Fakta mengejutkan pun terungkap. Genul mengaku bahwa ialah yang membunuh Sulaiman dan Siti. Setelah pengakuannya tersebut, Genul diadili dan divonis 12 tahun penjara karena terbukti membunuh. Namun, ditangkapnya Genul, bukan berarti Sengkon dan Karta dibebaskan.
Pada masa itu, lembaga herziening (peninjauan kembali) sudah dibekukan dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atas perkara pidana tidak bisa ditinjau. Baru setelah Ketua Mahkamah Agung, Oemar Seno Adji membuka kembali lembaga herziening, Sengkon dan Karta dinyatakan bebas murni.
Sayang, penderitaan mereka berdua belum selesai. Selepas keluar dari jeruji, Sengkon harus dirawat di rumah sakit lantaran tuberkulosisnya makin parah. Sementara Karta, bapak 12 anak, harus menemui kenyataan pahit keluarga yang kocar-kacir. Tanah yang sebelumnya digunakan Karta untuk mencari nafkah telah habis lantaran dijual untuk penghidupan keluarganya dan membiayai dirinya saat diproses kepolisian dan pengadilan.
Pada 1988, setelah bertahun-tahun diserang tuberkulosis, Sengkon meninggal. Rekannya, Karta pun telah pergi lebih dulu lantaran kecelakaan lalu lintas pada 1982.
Kejadian yang dialami Sengkon dan Karta, nyatanya masih menimpa orang lain. Pada 30 Juni 2013, kejadian serupa dialami oleh pengamen Cipulir. Arga Putra Samosir yang saat itu berusia 14 tahun, baru saja pulang dari sebuah acara di Parung Panjang, Bogor.
Selanjutnya: Pengamen Cipulir korban salah tangkap polisi
Bersama rekannya, sesama pengamen jalanan, Fatahillah, saat itu berusia 14 tahun, Fikri Pribadi, 16 tahun, Bagus Firdaus, 17 tahun, Andro Suprianto, 18 tahun, dan Nurdin Prianto, 23 tahun, Arga menuju ke kolong jembatan Cipulir setelah turun dari kereta di stasiun Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Kolong jembatan itu menjadi tempat berkumpul Arga dan rekannya sesama pengamen jalanan. Di situ pula mereka menemukan Dicky Maulana, sesama pengamen jalanan, dalam keadaan sekarat. Sekitar pukul 12.00 WIB, beberapa rekannya mengatakan Dicky sudah tak bernyawa. Sontak Arga langsung melapor ke pihak keamanan terdekat dan diteruskan kepada polisi yang datang tak lama kemudian.
Polisi lantas memboyong Arga, Andro, dan Bagus ke kantor Polsek Pesanggrahan. Mereka dimintai keterangan sebagai saksi terkait meninggalnya Dicky. Beberapa menit kemudian polisi membawa ketiganya dengan mobil ke Polda Metro Jaya. Sesampainya di sana, polisi kembali menginterogasi mereka di ruangan yang berbeda-beda.
Arga mengatakan kalau penyidik malah memaksa dirinya mengaku kalau ia dan teman-temannya lah yang menganiaya Dicky hingga tewas. Tidak mau menuruti kemauan Polisi, Dicky di bawa ke lahan parkir dan dianiaya agar mau mengaku. Namun, dua pengamen yang lain, Bagus dan Andro, ternyata menuruti paksaan polisi dan mengaku.
Tak lama setelah itu datanglah Fatahillah dan Fikri. Menurut Fatahillah, mereka tiba-tiba dicokok polisi saat sedang tidur di samping angkringan Jalan Perdatam Raya, Pancoran, Jakarta Selatan.
Mereka sempat mendekam di Rumah Tahanan Polda Metro Jaya selama satu bulan tiga hari sebelum berkas mereka dikirim ke Kejaksaan. Berkas perkara kemudian dipisah menjadi terdakwa dengan umur dewasa, yaitu Andro dan Nurdin, serta Fatahillah, Fikri, Arga, dan Bagus dengan status di bawah umur. Rata-rata mereka divonis bersalah dengan hukuman tiga tahun penjara.
LBH Jakarta yang mendampingi para pengamen itu lantas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tetapi, mereka tetap dinyatakan bersalah. Tak sampai di situ, LBH Jakarta mengajukan kasasi kepada Mahakmah Agung. Majelis kasasi MA memutus kalu para pengamen tak bersalah dan dibebaskan dari penjara, di mana Andro dan Nurdin bebas divonis bebas pada April 2014, sementara Arga, Fatahillah, Bagus, dan Fikri pada Januari 2016.
Andro dan Nurdin kemudian mengajukan praperadilan. Permohonan tersebut kemudian dikabulkan oleh pengadilan dengan meminta Polda Metro Jaya untuk memberikan ganti rugi senilai Rp 72 juta pada tahun 2016 untuk keduanya. Kemudian, empat pengamen lainnya yang mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Lewat praperadilan, para mereka menuntut Polda Metro Jaya, Kementerian Keuangan, serta Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta memberi ganti rugi kepada keempat pengamen korban salah tangkap ini sebesar Rp 165.600.000 untuk masing-masing pengamen. Namun, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan ganti rugi empat pengamen ini. Hakim tunggal Elfian menyebut gugatan tersebut telah kedaluwarsa sehingga harus ditolak.
MICHELLE GABRIELA I ANNE L HANDAYANI | GABRIEL WAHYU TITIYOGA | AGUNG SEDAYU | ADAM PRIREZA