Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Mengapa 14 Target Pembangunan Diperkirakan Tak Tercapai?

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan 14 target pembangunan tidak tercapai pada tahun ini. Apa penyebabnya?

15 November 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kepala Badan Pembangunan Nasional, Rachmat Pambudi, memperkirakan banyak target pembangunan tahun ini yang tak tercapai. Dari 19 target sasaran pembangunan, hanya dua yang telah tercapai.

  • Salah satu dari indikator tersebut adalah pertumbuhan ekonomi. Pada 2023, capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05 persen dengan baseline 2019, yaitu 5,02 persen. Capaian ini tak memenuhi target dalam RPJMN 2020-2024 yang berkisar 6,2-6,5 persen.

  • Tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi dan investasi juga berdampak pada target-target lain, seperti tingkat pengangguran terbuka, tingkat kemiskinan, dan gini rasio (ketimpangan ekonomi).

MENTERI Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Pambudy memperkirakan banyak target pembangunan tahun ini yang tak tercapai. Dari 19 target sasaran pembangunan, hanya dua yang tercapai. Sedangkan 14 indikator lain diproyeksikan tidak tercapai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saat ini kami sedang mengevaluasi (capaian pembangunan). Dengan basis evaluasi itu, kami merencanakan melakukan apa yang menjadi visi-misi pemerintahan baru," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 12 November 2024. 

Rachmat merujuk pada sasaran-sasaran pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 serta Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2024. Hal utama yang menjadi sorotan adalah indikator sasaran makro pembangunan lima tahun ke belakang. 

Salah satu indikator tersebut adalah pertumbuhan ekonomi. Pada 2023, ekonomi tumbuh 5,05 persen dengan baseline 2019, yaitu 5,02 persen. Capaian ini tak memenuhi target dalam RPJMN 2020-2024 yang sebesar 6,2-6,5 persen. Begitupun target yang tertulis dalam RKP 2024 sebesar 5,3 persen. Rachmat memperkirakan target tersebut tak tercapai hingga akhir tahun ini.

 

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memproyeksikan ekonomi Indonesia sepanjang 2024 hanya tumbuh 4,7-5,5 persen. Tak jauh berbeda, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 persen pada 2024 dan 5,1 persen pada 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2024 pun hanya tumbuh 4,95 persen. Angka ini lebih rendah dari pertumbuhan pada kuartal II 2024 yang sebesar 5,05 persen dan kuartal I 2024 yang sebesar 5,05 persen. Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berpendapat belanja pemerintah masih kuat sehingga bisa mendorong laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2024.  

Ekonom senior Bright Institute, Awalil Rizky, mengatakan tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi terjadi hampir setiap tahun. Pada RPJMN 2015-2019, target pertumbuhan ekonomi ditetapkan mencapai 8 persen untuk 2019, tapi hanya terealisasi 5,02 persen. 

Namun RPJMN 2020-2024 sedikit berbeda dengan RPJMN periode 2004-2009, 2010-2014, dan 2015-2019, yakni tidak dirinci target tiap tahun. Karena itu, ia menduga ada kemungkinan hal itu menyulitkan evaluasi tahunan atas capaian target tersebut.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 12 November 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis



Menurut Awalil, pandemi Covid-19 berdampak besar terhadap periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo ini. Pandemi menyebabkan ekonomi Indonesia rata-rata hanya tumbuh 3,4 persen per tahun, lebih rendah dibanding rata-rata 5,03 persen pada periode pertama (2015-2019).

Dibanding pemerintahan sebelumnya, yaitu era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, rata-rata pertumbuhan ekonomi pada masa kepemimpinan Jokowi lebih rendah. Pada era SBY, rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 5,72 persen per tahun selama 2005-2014. Sedangkan pada era Jokowi lebih rendah meski ada upaya melalui kebijakan fiskal yang ekspansif.

Awalil menekankan tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi dan investasi juga berdampak pada target-target lain, seperti tingkat pengangguran terbuka (TPT), tingkat kemiskinan, dan indeks Gini atau Gini ratio (ketimpangan ekonomi). Indikator-indikator itu pun diperkirakan Bappenas tak mencapai target. 

Share industri pengolahan ditargetkan dalam RPJMN sebesar 21 persen. Dengan baseline 2019, capaian pada 2023 hanya sebesar 19,7 persen. Capaian penurunan TPT pun diperkirakan tidak sesuai dengan harapan. 

Dalam RPJMN, penurunan TPT ditargetkan 3,6-4,3 persen. Adapun Badan Pusat Statistik mencatat TPT per Agustus 2024 sebesar 4,91 persen. Komposisi angkatan kerja pada Agustus 2024 terdiri atas 144,64 juta penduduk bekerja dan 7,47 juta penganggur. Dibanding pada Agustus 2023, jumlah angkatan kerja dan jumlah penduduk bekerja masing-masing bertambah 4,4 juta orang dan 4,79 juta orang. Sedangkan jumlah penganggur berkurang 0,39 juta orang.

Meski TPT pada Agustus turun 0,41 persen dibanding pada Agustus 2023, Awalil menilai kondisi ketenagakerjaan Indonesia sebenarnya memburuk. Hal itu terlihat dari meningkatnya tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK), pekerja tidak penuh, dan setengah penganggur. Indikasi ini diperkuat oleh sektor pertanian yang menampung makin banyak tenaga kerja. Padahal laju pertumbuhan sektor ini amat rendah. 

TPAK mengindikasikan besarnya persentase penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi di suatu wilayah. Makin tinggi TPAK, makin tinggi pula pasokan tenaga kerja yang tersedia untuk memproduksi barang dan jasa suatu perekonomian di wilayah tersebut. BPS mencatat TPAK per Agustus 2024 meningkat menjadi 70,63 persen; naik 1,15 persen poin dibanding pada Agustus 2023. 

Bappenas juga memproyeksikan capaian pertumbuhan investasi tak sesuai dengan harapan. Dengan baseline 2019 sebesar 4-5 persen, pertumbuhan investasi 2023 sebesar 4,4 persen. Sementara itu, target dalam RPJMN sebesar 6,6-7 persen. Sedangkan dalam RKP sebesar 6,2-7 persen.

Berdasarkan data terakhir Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi sepanjang Januari-September 2024 sebesar Rp 1.261 triliun. Nilainya baru 76,4 persen dari target akhir tahun sebesar Rp 1.650 triliun. 

Namun Menteri Investasi/BKPM Rosan P. Roeslani optimistis target investasi pada akhir tahun dapat tercapai. "Dengan realisasi yang telah tercapai dalam sembilan bulan pertama, optimisme bahwa target tersebut dapat terlampaui makin kuat," katanya dalam keterangan tertulis pada 15 Oktober 2024.

Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia Yusuf Rendy Manilet berpendapat target investasi Indonesia belum tercapai akibat berbagai hambatan, seperti regulasi dan birokrasi yang masih kompleks.

Infrastruktur yang belum merata di seluruh wilayah, ujar Yusuf, juga menjadi faktor kritis yang menghambat masuknya investasi. Ditambah ketidakpastian global dan persaingan ketat dengan negara-negara lain dalam menarik investasi asing, seperti Vietnam, investor pun lebih berhati-hati.
Capaian pembangunan kesejahteraan sosial juga tidak sesuai dengan harapan. Bappenas membeberkan tingkat kemiskinan, rasio Gini, dan indeks pengembangan manusia tidak mencapai sasaran. Tingkat kemiskinan dalam RKP ditargetkan dalam RPJMN sebesar 6-7 persen dan dalam RKP sebesar 6,5-7,5 persen. Sedangkan rasio Gini ditargetkan dalam RPJMN sebesar 0,360-0,374 dan dalam RKP sebesar 0,374-0,377.

Selain faktor pandemi yang memukul telak fundamental ekonomi Indonesia, Yusuf menuturkan, ketidakpastian global yang dipicu oleh konflik geopolitik berperan besar. Salah satunya perang Rusia-Ukraina dan ketegangan Amerika Serikat-Cina yang turut menciptakan volatilitas dalam rantai pasok global dan harga komoditas. Terlebih ekonomi Indonesia sangar bergantung pada konsumsi domestik yang mencakup 56 persen dari produk domestik bruto. 

"Masalah kemiskinan, ketimpangan, dan IPM yang belum mencapai target mencerminkan kompleksitas tantangan pembangunan yang dihadapi," ujar Yusuf kepada Tempo, Kamis, 14 November 2024. Ia berpandangan pertumbuhan ekonomi yang ada belum sepenuhnya inklusif sehingga membuat manfaat pembangunan belum terdistribusi secara merata. 

Yusuf berujar program penanganan kemiskinan, seperti bantuan sosial, meskipun berfungsi sebagai jaring pengaman sosial, dinilai belum mampu menciptakan transformasi struktural dalam meningkatkan kapasitas produktif masyarakat miskin. Ditambah akses yang belum merata terhadap pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas, dinilai turut mempengaruhi capaian IPM. Karena itu, ia menekankan pemerintah perlu membuat strategi pembangunan yang lebih holistik dan berkelanjutan.

Pekerja menyelesaikan pembangunan gedung bertingkat dikawasan Gatot Subroto, Jakarta, 13 November 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Di sektor pangan, Bappenas memperkirakan target ketersediaan beras tidak tercapai. Dalam RPJMN, stok beras ditargetkan 46,8 juta ton dan dalam RKP sebesar 46,84 juta ton. Adapun BPS memproyeksikan produksi beras pada 2024 hanya mencapai 30,34 juta ton, turun 2,43 atau 757,13 ribu ton dibanding pada 2023. Sementara itu, realisasi impor pada Januari-Agustus 2024 sebesar 3,05 juta ton. 

Peneliti pertanian dari Center of Reform on Economics Indonesia, Eliza Mardian, berpandangan kondisi ini disebabkan oleh produktivitas beras yang terus menurun. Produksi padi kian rendah, dari 61,5 juta ton gabah kering giling pada 2016 menjadi 53,9 juta ton pada 2023 atau 31,1 juta ton beras. 

Padahal anggaran ketahanan pangan terus meningkat. Pada 2023, anggaran ketahanan pangan naik 12,9 persen dari Rp 92,3 triliun menjadi Rp 104,2 triliun. Tahun ini nilainya naik 9,7 persen menjadi Rp 114,3 triliun. "Ini terjadi karena kekeliruan dalam pendekatan kebijakan menggenjot produksi beras," ujarnya.

Eliza berujar selama ini pemerintah cenderung lebih banyak mengusahakan pencetakan lahan baru dengan mengorbankan hutan dan lahan gambut melalui program food estate. Namun ia menilai pendekatan ini kurang optimal karena banyak lahan baru tidak sesuai dengan kondisi agroklimat untuk padi sehingga hasilnya sering tidak maksimal, bahkan berakhir gagal.

Untuk meningkatkan produksi beras, Eliza menyarankan pemerintah tak hanya berfokus pada ekstensifikasi lahan sawah, tapi juga mendorong intensifikasi lahan yang sudah ada. Pemerintah dapat meningkatkan produktivitas melalui teknologi, penggunaan benih unggul, dan penerapan teknik pertanian yang efektif.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus