Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. atau PGN harus membayar kekurangan pembayaran pajak senilai Rp 3,06 triliun plus potensi denda kepada Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Ini adalah kelanjutan dari sengketa atas transaksi pajak tahun 2012 dan 2013.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus ini terjadi karena adanya perbedaan penafsiran dalam memahami Peraturan Menteri Keuangan (PMK)-252/PMK.011/2012. Ini adalah ketentuan mengenai pelaksanaan kewajiban pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan gas bumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pada tahun 2017, perseroan mengajukan upaya hukum keberatan, namun Ditjen Pajak menolak permohonan tersebut," kata Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama dalam surat penjelasannya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) tertanggal 30 Desember 2020.
Upaya banding sempat dilakukan PGN di Pengadilan Pajak dan menang. Tapi, Ditjen Pajak melakukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) dan akhirnya menang. PGN harus membayar Rp 3,06 triliun.
Meski demikian, ini ternyata bukanlah kasus sengketa pajak satu-satunya antara PGN dan Ditjen Pajak. Pada 2014-2017, kembali terjadi sengketa yang juga akibat perbedaan penafsiran PMK tentang pemungutan PPN atas penyerahan gas bumi.
Saat itu, Ditjen Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total nilai Rp 3,82 triliun. Sama seperti kasus pertama, PGN juga mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak.
Hasilnya, Ditjen Pajak mengabulkan seluruh permohonan PGN. Sehingga, PGN pun terbebas dari pembayaran kekurangan pajak Rp 3,82 triliun yang awalnya ditagihkan tersebut.