Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruang Sarulla di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, sudah sesak sejak pukul setengah empat sore, Kamis pekan lalu. Meja panjang terpacak di bagian terdepan. Juru kamera mengatur tripod di bagian tengah. Pejabat eselon Kementerian, sejumlah anggota staf PT Inalum (Persero), perwakilan PT Freeport Indonesia, dan para wartawan duduk di kursi.
Satu jam berlalu, belum ada tanda-tanda penandatanganan perjanjian jual-beli saham -Freeport Indonesia di Ruang Sarulla dimulai. Seorang perempuan dengan seragam putih Inalum keluar dari ruangan dan menelepon koleganya. Air mukanya tidak enak. Di tengah percakapan, suaranya meninggi. “Apa? Dokumennya belum selesai?”
Berselang lima menit, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin keluar dari Gedung Heritage- Kementerian Energi menuju Ruang Sarulla, yang hanya berjarak beberapa langkah. Dengan santai dan sesekali bercanda dengan pegawainya, Budi menyeberangi taman yang sore itu sudah dilapisi karpet merah untuk perayaan ulang tahun Kementerian Energi.
Tidak lama Budi bertahan di Ruang Sarulla. Bekas Direktur Utama Bank Mandiri itu kembali ke Gedung Heritage, kali ini dengan mimik tegang sambil berlari kecil. Dua kali Budi bolak-balik antara Gedung Heritage dan Ruang Sarulla dengan raut wajah tegang.
Baru pada pukul setengah lima sore, raut wajah Budi mulai mengendur. Berjalan paling belakang, Budi menyusul Menteri Energi Ignasius Jonan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno. Mereka keluar dari Gedung Heritage menuju Ruang Sarulla. Menteri Keuangan Sri Mulyani serta Inspektur Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ilyas Asaad mengikuti di belakang Jonan dan Rini. Sementara itu, CEO Freeport-McMoRan Richard Adkerson berjalan tepat di belakang Sri Mulyani.
Tidak berapa lama setelah rombongan ini masuk, pembawa acara menyilakan Budi dan Adkerson maju mendekati meja panjang. Mereka diminta membuat tanda tangan pada dokumen perjanjian divestasi saham PT Freeport Indonesia. Jonan, Rini, dan Sri Mulyani menyaksikan di belakangnya.
Seusai penandatanganan, Jonan menyelamati Inalum dan Freeport-McMoRan, yang akhirnya meneken kesepakatan jual-beli saham Freeport Indonesia. Dengan penandatanganan tersebut, pemerintah Indonesia melalui Inalum menguasai 51 persen saham perusahaan dengan cadangan emas 33,8 juta ounce itu. “Tinggal menunggu persyaratan administrasi saja,” kata Jonan.
SELEPAS penandatanganan, Head of Corporate Communications PT Inalum Rendi Witular membeberkan penyebab bosnya, Budi Gunadi Sadikin, sempat tegang dan bolak-balik dari Ruang Sarulla ke Gedung Heritage. Menurut Rendi, sebelum diteken, dokumen perjanjian jual-beli saham itu ditinjau bersama oleh para pengacara Freeport-McMoRan, Rio Tinto, dan Inalum di Singapura. “Setelah beres, baru dikirim via e-mail dari sana dan dicetak di sini,” tutur Rendi. Masalahnya, hingga matahari mulai turun pada Kamis sore pekan lalu, dokumen dari Singapura itu belum juga datang.
Terlambatnya pengiriman dokumen sempat menyeruakkan kekhawatiran akan ditundanya kembali penandatanganan kesepakatan jual-beli saham Freeport Indonesia. Perjanjian itu sebetulnya sudah dijadwalkan berlangsung sehari sebelumnya di tempat yang sama, Rabu sore pekan lalu. Richard Adkerson pun sudah datang dari Amerika Serikat pada Rabu pagi. “Tapi Rabu siang saya dapat kabar ditunda,” ujar juru bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama, Kamis pekan lalu.
Seseorang yang mengetahui persiapan penandatanganan ini mengungkapkan, jadwal pada Rabu sore pekan lalu mundur karena Budi ragu melanjutkan proses perjanjian. Sumber tadi mengatakan Budi khawatir bakal senasib dengan mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan, yang ditahan Kejaksaan Agung pada Senin pekan lalu sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi investasi perusahaan di Blok Basker Manta Gummy, Australia, pada 2009. Kejaksaan menduga keputusan Karen berinvestasi di blok itu tanpa melalui kajian kelayakan, uji tuntas, dan persetujuan dewan komisaris sehingga merugikan Pertamina Rp 568 miliar.
Budi mengemukakan kekhawatirannya itu saat makan siang bersama Menteri BUMN Rini Soemarno di restoran Shabu Shabu Gen, lantai 46 The Plaza, Jakarta, Selasa pekan lalu. Selain Budi, sejumlah deputi Kementerian BUMN hadir di sana. Salah satunya Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Fajar Harry Sampurno. Fajar membenarkan kekhawatiran Budi. “Iyalah, ini transaksinya gede banget,” tutur Fajar setelah menghadiri penandatanganan kesepakatan jual-beli saham Freeport Indonesia di Kementerian Energi, Kamis pekan lalu.
Sumber tadi menambahkan, selain kasus Karen, dokumen peninjauan valuasi divestasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang tak kunjung terbit hingga Selasa pekan lalu membuat Budi khawatir. Inalum membutuhkan dokumen itu sebagai pagar bahwa angka jual-beli saham Freeport Indonesia yang telah mereka sepakati dengan Rio Tinto (40 persen participating interest) dan Freeport-McMoRan (9,36 persen saham PT Indocopper Investama) bernilai wajar. Total nilai dua transaksi tersebut mencapai US$ 3,85 miliar atau Rp 52 triliun dengan kurs Rp 14.900. Valuasi ini mengacu pada hitungan lembaga independen, seperti Morgan Stanley dan Deutsche Bank.
BPKP, kata sumber tersebut, sebetulnya sudah memberikan lampu hijau. Yang menjadi acuan harga BPKP adalah nilai inbreng saham pemerintah di Freeport Indonesia kepada Inalum pada November tahun lalu. Harga inbreng 9,36 persen saham pemerintah—atau 5,62 persen bila diperhitungkan dengan keberadaan 40 persen participating interest Rio Tinto di Freeport Indonesia—sebesar Rp 7,26 triliun atau US$ 538 juta dengan kurs Rp 13.500. Itu artinya setara dengan US$ 95 juta per 1 persen saham. Mengacu pada harga itu, harga 45,6 persen saham Freeport Indonesia adalah US$ 4,36 miliar. Artinya, harga 45,6 persen saham yang telah disepakati Inalum bersama Rio Tinto dan Freeport-McMoRan sebesar US$ 3,85 miliar masih lebih murah.
Harga ini juga lebih murah dibanding tawaran perdana Freeport-McMoRan kepada pemerintah pada 2014, yang mencapai US$ 1,6 miliar untuk 10 persen saham—belum memperhitungkan dilusi akibat keberadaan participating interest Rio Tinto—dan tawaran balik Kementerian Energi kepada Freeport-McMoRan yang sebesar US$ 630 juta. Bila diekuivalenkan dengan 45,6 persen saham, termasuk participating interest Rio Tinto, tawaran perdana Freeport sama dengan US$ 12,19 miliar dan tawaran balik Kementerian US$ 4,78 miliar.
Setelah menghadiri penandatanganan jual-beli saham Freeport Indonesia di Kementerian Energi, Kamis pekan lalu, Kepala BPKP Ardan Adiperdana enggan menjelaskan ihwal review BPKP yang belum keluar hingga Selasa pekan lalu. Ardan juga tidak mau menjawab apakah harga jual-beli saham yang telah disepakati itu wajar. “Tanya ke konferensi pers resmi,” ucap Ardan. Selain Ardan, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Loeke Larasati turut menyaksikan penandatanganan tersebut.
Saat dimintai konfirmasi seusai penandatangan, Kamis pekan lalu, Rini Soemarno menyatakan tidak ragu melanjutkan divestasi karena sejak awal Kejaksaan Agung dan BPKP ikut mengawal transaksi. “Kejaksaan mengawal secara hukum, Badan Penga---wasan Keuangan dan Pembangunan dari sisi valuasi.”
Keyakinan itulah yang mendo-rong Rini menerbitkan persetujuan tertulis atas rencana pengambilalihan saham Freeport Indonesia oleh Inalum, Rabu pekan lalu. Persetujuan tertulis ini pula yang membuat penandatanganan kesepakatan jual-beli saham Freeport Indonesia mundur sehari menjadi Kamis pekan lalu.
Dalam surat tersebut, yang salinannya diperoleh Tempo, Rini meminta direksi Inalum memperhatikan klausul-klausul dalam perjanjian untuk memitigasi pasal-pasal yang memberatkan perseroan atau menimbulkan beban yang tidak seharusnya.
Kepada Tempo, Budi mengatakan, “Surat persetujuan dari Kementerian BUMN, kajian transaksi dari BPKP, dan pendapat hukum dari Kejaksaan Agung dibutuhkan agar proses divestasi Freeport tidak dipermasalahkan di kemudian hari.”
SEMENTARA sehari sebelum penandatanganan Budi Gunadi Sadikin masih sibuk menunggu kajian dan pendapat hukum dari BPKP dan Kejaksaan Agung, Richard Adkerson masih berusaha mendapatkan jaminan investasi yang lebih baik dari pemerintah. Pada Rabu sore, Adkerson bertandang ke kantor Sri Mulyani. Seorang pejabat yang mengetahui pertemuan itu mengatakan Adkerson baru diterima Sri Mulyani pada pukul lima sore. “Pas magrib selesai pertemuannya,” kata pejabat tersebut.
Dalam pertemuan, pejabat itu menerangkan, Adkerson masih berusaha mendapatkan sistem perpajakan dengan skema nail down, yaitu berlaku tetap sejak izin usaha pertambangan khusus (IUPK) diteken hingga berakhir. Ini adalah skema pendapatan negara yang berlaku sebelumnya dalam kontrak karya Freeport. “Mereka menganggap kalimat yang ada dalam lampiran izin usaha pertambangan khu-sus sebagai dokumen kepastian investasi masih ambigu,” ujar pejabat tersebut.
Setelah menyaksikan penandatanganan kesepakatan jual-beli saham, Kamis pekan lalu, Sri Mulyani mengaku hingga Rabu sore masih berdiskusi dengan Adkerson tentang kepastian investasi bagi operasi Freeport. Sri Mulyani menjelaskan, pertemuan itu membahas hal redaksional dalam lampiran IUPK. Ia menegaskan, tidak ada produk hukum mengenai aturan pajak dan nonpajak, termasuk buat Freeport, yang lebih tinggi daripada Peraturan Pemerintah tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Mineral.
Adkerson tidak banyak berbicara setelah meneken kesepakatan jual-beli saham. Ia hanya mengatakan perjanjian Kamis pekan lalu itu adalah langkah penting untuk segera merampungkan divestasi. “Kami sudah mengusahakannya sangat lama. Kami bahagia,” katanya. “Kami akhirnya mencapai perjanjian definitif untuk penjualan saham Freeport.”
Adapun bagi Budi Gunadi, perjanjian jual-beli saham itu adalah tanda tangan terakhir dalam proses divestasi. “Semua-nya sudah selesai. Sudah mengikat,” tuturnya.
Perjanjian itu memberikan tenggat enam bulan bagi Inalum dan Freeport-McMoRan untuk merampungkan pemba-yaran serta perizinan. Setelah itu, barulah Kementerian Energi bisa menerbitkan izin usaha pertambangan khusus yang memperpanjang operasi Freeport di Papua 2 x 10 tahun hingga 2041.
KHAIRUL ANAM, PUTRI ADITYOWATI, RETNO SULISTYOWATI, FAJAR PEBRIANTO
LANGKAH SELANJUTNYA
A. Transaksi pengalihan saham
Pemerintah membayar US$ 3,85 miliar (sekitar Rp 52 triliun) untuk membeli 45,6 persen saham Freeport Indonesia. Tahapnya:
- PT Inalum dan PT Indocopper Investama akan melakukan penyertaan saham baru sebanyak 40 persen saham Freeport Indonesia dengan pembagian:
1. Freeport Indonesia menerbitkan saham baru (rights issue) 20,16 persen dari total sahamnya yang akan ditawarkan kepada Inalum. Saham langsung Inalum di Freeport Indonesia menjadi 26,23 persen.
2. Freeport Indonesia menerbitkan saham baru lagi sebanyak 19,38 persen dari total sahamnya yang akan ditawarkan kepada Indocopper, sehingga kepemilikan langsung Indocopper di Freeport Indonesia menjadi 25 persen.
3. Badan usaha milik daerah Papua memiliki 40 persen saham Indocopper melalui penerbitan saham baru sehingga kepemilikan Inalum terdilusi menjadi 60 persen.
- Membeli 40 persen hak partisipasi Rio Tinto di tambang Grasberg Freeport Indonesia seharga US$ 3,5 miliar.
- Membeli 5,6 persen saham di Indocopper Investama (pemilik 9,36 persen saham Freeport Indonesia) senilai US$ 350 juta.
Rencana pendanaan:
- Pinjaman dari 11 bank swasta.
- Inalum menerbitkan surat utang dolar untuk membayar pinjaman.
B. Freeport Indonesia mengubah susunan pemegang saham.
C. Penerbitan izin usaha pertambangan khusus, masa operasi maksimal 2 x 10 tahun sampai 2041.
D. Freeport Indonesia wajib membangun smelter tembaga berkapasitas 2-2,6 juta ton per tahun.
E. Penyerahan 10 persen dari 51,23 persen saham Freeport Indonesia milik pemerintah Indonesia kepada pemerintah daerah Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo