Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pudar Tren Swakelola Tergerus Wabah Corona

Pengelola bandara pelat merah semakin kesulitan mengambil bandara pemerintah karena tekanan pandemi. Tren swakelola bandara yang sempat ramai diterapkan kini redup.

28 Mei 2021 | 00.00 WIB

Pesawat Citilink dan Sriwijaya di Bandara Haji Abdullah Sanusi Hanandjoeddin, Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, 2018. TEMPO/Nita Dian
Perbesar
Pesawat Citilink dan Sriwijaya di Bandara Haji Abdullah Sanusi Hanandjoeddin, Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, 2018. TEMPO/Nita Dian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Angkasa Pura II sudah mengambil alih empat aset yang sebelumnya dipegang unit penyelenggara bandar udara Kementerian Perhubungan.

  • Pengembangan bandara yang sudah diambil alih belum bisa maksimal karena derasnya efisiensi dan penghematan.

  • Industri bandara ikut terpukul oleh penurunan utilitas pesawat dan penumpang.

JAKARTA – Tekanan pandemi Covid-19 terus mengikis potensi swakelola bandara pemerintah oleh swasta. Kepala Seksi Kerja Sama dan Pengembangan Pengusaha Bandar Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Arief Mustofa, mengatakan belum akan ada program kolaborasi pemanfaatan aset lagi selama beberapa waktu ke depan. Padahal skema itu diterapkan di banyak bandara daerah pada 2018-2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Karena tekanan bisnis pandemi, mungkin badan usaha juga ragu dengan alih kelola,” ucapnya kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Meski begitu, sebagian besar target swakelola bandara sudah tercapai sebelum Covid-19 merebak. Hingga akhir 2019, sudah ada lima bandara yang pengelolaannya dialihkan ke korporasi pelat merah.

Secara bertahap, PT Angkasa Pura II (Persero) sudah mengambil alih empat aset yang sebelumnya dipegang Unit Penyelenggara Bandar Udara Kementerian Perhubungan, dari Bandara Tjilik Riwut di Kalimantan Tengah, Bandara Fatmawati Soekarno di Bengkulu, Bandara Radin Inten II di Lampung, serta Bandara Haji Abdullah Sanusi Hanandjoeddin di Bangka Belitung. Adapun PT Angkasa Pura I (Persero) mencaplok Bandara Sentani di Papua.

Menurut Arief, biasanya perusahaan yang lebih proaktif menyurvei dan menghitung kelayakan setiap proyek tersebut. Sementara itu, Kementerian mendukung penyiapan regulasi dan administrasinya. Dengan skema kerja sama pengelolaan aset, baik Angkasa Pura I maupun Angkasa Pura II harus lebih dulu mengajukan rencana ekspansi pengelolaan bandara daerah itu kepada Menteri Perhubungan.

“Untunglah bandara yang bagus-bagus sudah diproses dulu, bisa semakin maju,” tuturnya. Namun Arief yakin rencana pengembangan lima bandara tersebut tak bisa semulus rancangannya karena tekanan bisnis yang kini dialami kedua BUMN bandara.

Vice President Corporate Communication PT Angkasa Pura II (Persero), Yado Yarismano, memastikan entitasnya belum memiliki rencana swakelola lagi. Pengembangan bandara yang sudah diambil alih pun belum bisa maksimal karena derasnya efisiensi dan penghematan perusahaan. “Masih on progress,” ucap dia, kemarin. “Beberapa proyek pun masih kami tahan karena pandemi.”

Hingga April 2019, Angkasa Pura II sebenarnya sempat menyiapkan investasi hingga Rp 2,1 triliun untuk pengembangan empat bandara swakelola. Investasi di Tjilik Riwut mencapai Rp 483 miliar, sementara tiga bandara lain kebagian dana masing-masing sekitar Rp 500 miliar. Cetak biru pengembangannya pun sudah disiapkan. Namun situasi tahun lalu melenyapkan mimpi tersebut.  

Bandara Sentani di Jayapura, Papua, 8 Agustus 2017. Dok.TEMPO/Rully Kesuma

Pengamat penerbangan, Alvin Lie, mengatakan industri bandara ikut terpukul oleh penurunan utilitas pesawat dan penumpang sehingga wajar jika daya investasi perusahaan melemah. “Saat ini tentu tidak feasible jika Angkasa Pura mengejar bandara daerah lagi,” ucapnya.

Tak hanya kehilangan pendapatan dari bisnis aero, Alvin menyebutkan bisnis non-aero entitas pengelola bandara juga ikut tersungkur. “Penyewaan tempat komersial, gerai retail, iklan di gedung terminal sedang jatuh, tapi mereka dituntut tetap membuka bandara, jadi berat.”

Hal itu sempat diakui Direktur Pemasaran dan Pelayanan PT Angkasa Pura I, Devy Suradji, pada April tahun lalu. Saat itu, dia menyebutkan, omzet bisnis non-aero perusahaannya tergerus hingga 40 persen. “Tentu tak separah kondisi pendapatan dari bisnis penumpang yang jatuh sampai 90 persen,” katanya kala itu.

Pengamat sekaligus konsultan penerbangan CommunicAVIA, Gerry Soejatman, mengatakan para pengelola bandara tengah meminimalkan pengeluaran dan merombak strategi investasi. Menurut dia, pembiayaan cenderung berjalan pada pembangunan bandara baru, bukan swakelola. “Itu pun paling hanya proyek yang sempat tertunda sejak 2019.”

YOHANES PASKALIS
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yohanes Paskalis

Yohanes Paskalis

Mulai ditempa di Tempo sebagai calon reporter sejak Agustus 2015. Berpengalaman menulis isu ekonomi, nasional, dan metropolitan di Tempo.co, sebelum bertugas di desk Ekonomi dan Bisnis Koran Tempo sejak Desember 2017. Selain artikel reguler, turut mengisi rubrik cerita bisnis rintisan atau startup yang terbit pada edisi akhir pekan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus