DAMPAK Paket Kebijaksanaan 27 Oktober, alias Pakto, mulai menggigit. Bankir-bankir papan bawah pun mulai kebat-kebit, memikirkan apa masih kebagian nasabah. Soalnya, yang berminat memanfaatkan Pakto bukan cuma dua atau tiga bank asing, tapi lebih dari sepuluh. Ini luar biasa. Yang akan datang dari Jepang, misalnya, tercatat tujuh bank papan atas -- semua slap berpatungan dengan bank swasta nasional. Belum bank asing dari AS dan berbagai negara Eropa. Dan perlu diingat, bukan patungan itu saja yang dimungkinkan oleh Pakto, tapi juga pembukaan cabang pembantu di enam kota di luar Jakarta (Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Denpasar, dan Ujungpandang). Ini berarti, di enam kota itu bank-bank "blasteran" akan bersaing ketat dengan bank swasta lokal. Perkara modal buat bank asing bukan soal. Yang baru masuk cukup menyediakan 85% dari dana yang dibutuhkan untuk mendirikan bank baru, dengan syarat minimal investasi Rp 50 milyar. Sedangkan mitra lokalnya, selain menyediakan 15% dana investasi, juga harus memiliki sertifikat sehat -- yang dikeluarkan Bank Indonesia -- selama 24 bulan terakhir. Atau paling tidak 20 bulan dalam keadaan sehat, dan 4 bulan "cukup sehat". Seperti yang dilakukan Bank Internasional Indonesia (BII) dengan Fuji Bank pekan lalu. Sebagai modal pertama, Fuji menyetor Rp 42,5 milyar, dan BII sebagai mitra lokal cukup Rp 7,5 milyar. Itu untuk pendatang baru. Bank asing yang sudah lama bercokol di sini (semuanya ada 11 bank), dan berniat membuka cabang pembantu, syaratnya lebih ringan lagi. Selain sehat, dia cukup memiliki permodalan yang memadai untuk masa operasi 24 bulan. Nah, pangsa inilah yang sekarang ramai dipergunjingkan kalangan perbankan. Isu yang paling hangat adalah rencana Bank of Tokyo, yang tak lama lagi bakal meresmikan cabang pembantunya di Surabaya. Masih di Kota Buaya, Deutsche Bank Sumitomo Bank, dan Citibank berencana mendirikan cabang pembantu. Kalau tidak kami, ya, mereka dulu," kata seorang pejabat Citibank. American Express Bank (Amex), yang juga punya niat serupa, untuk sementara terpaksa menjadi penonton dulu. "Kami belum mendapat pengesahaan mengenai persyaratan kesehatan bank kami," kata Wiardi, Vice President Amex. Selain itu, mereka juga harus membuat perhitungan yang cermat dalam hal pemilihan lokasi. "Enam kota itu pasti diperebutkan oleh banyak bank asing dan bank swasta nasional," ujarnya lagi. Apalagi kalau melihat syarat lain yang tak gampang dipenuhi, yakni 50% dari kredit yang disebar harus diperuntukkan sebagai penunjang ekspor. Sebab, kalau syarat itu tidak terpenuhi dalam waktu 12 bulan, izin bank asing itu bisa langsung dicabut oleh Menteri Keuangan. Itulah sebabnya, kami harus berhati-hati dalam menaksir potensi ekspor di tiap-tiap daerah," tambah Wiardi. Soal 50% dana yang mesti dialirkan ke sektor ekspor, itu memang sudah dipertimbangkan dengan matang oleh pemerintah. Alasannya: bank asing dianggap sudah berpengalaman dan memiliki banyak koneksi di luar negeri. Di samping itu, risiko akibat devaluasi yang sering dialami eksportir akan mudah teratasi. Sebab, bank-bank asing itu akan mampu menyediakan pinjaman dalam bentuk dolar. "Jadi, pinjam dolar dibayar dolar. Begitu kira-kira, kan aman," kata Dahlan. Selain itu, sejarah menunjukkan betapa erat kaitan antara pendirian bank asing dan PMA senegaranya. Pendirian Amex dan Citibank di tahun 1967-an itu tak lain untuk memancing pemodal dari luar negeri. Peristiwa yang sama pernah pula terjadi di Eropa, ketika investor AS menanamkan modalnya di sana. Hal serupa bukan mustahil akan terjadi juga di Indonesia. Seperti dikemukakan oleh beberapa bankir dari Jepang, sasaran utama mereka adalah rekan-rekan senegaranya yang menanamkan modal di Indonesia. Lain halnya Muangthai, yang PMA-nya di Indonesia tak begitu banyak. Bahkan untuk mendirikan cabang pembantu pun, mereka masih mikir-mikir. "Kami bisa melayani nasabah cukup dari Jakarta," kata Phaibul Ingkhavat, Senior Vice President & General Manager Bangkok Bank. "Hikmah" apa yang bisa ditarik dari kehadiran bank asing di negeri kita? Ternyata, bukan hanya modal asing dan biaya ekspor, tapi juga teknologi perbankan. Ini dikemukakan Anwar Nasution, pengamat merangkap advisor perbankan. Bank asinglah yang memperkenalkan kredit mobil, kredit perumahan, dan kredit profesi. Bahkan, lihat saja, "hampir semua manajer yang bekerja di bank-bank swasta merupakan alumni dari Citibank," ujarnya. Ekonom Marie Pangestu melihatnya lain lagi. Menurut dia, masuknya bank asing baru akan lebih menyehatkan persaingan di antara bank-bank asing itu sendiri. Sebab, sebelumnya, dengan hanya mempertahankan 11 bank asing, "secara langsung mereka telah diproteksi oleh pemerintah." Tapi apakah munculnya bankir pendatang itu tidak akan lebih merangsang capital flight? "Kalau mau melarikan modal, tidak harus melalui bank," jawab Marie. Jawaban yang sama dikemukakan Anwar Nasution. "Soal capital flight, itu tergantung pemerintah. Kalau kebijaksanaan pemerintah memberikan rasa aman, tak mungkin modal akan terbang," ujarnya. Jadi, kekhawatiran selama ini tak beralasan. Tinggal lagi nasib bank swasta nasional papan bawah. Apakah mereka bisa berkelit di tengah pertarungan bankir kelas kakap?Budi Kusumah dan Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini