Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indra Sogiyono menarik napasnya dalam-dalam sambil memandangi tumpukan kain batik yang tersusun hanya seperempat dari bagian lemari di teras rumahnya pada Jumat pekan lalu itu. Biasanya, rak lima tingkat itu penuh dengan pesanan batik dari pelanggannya. Tapi pengusaha UMKM itu mengaku omzet penjualannya turun drastis di masa pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Biasanya dalam satu minggu ia bisa mendapatkan omzet penjualan Rp 10 juta, tapi selama saat pandemi Covid-19 ini, dalam dua bulan omzet baru mencapai Rp 5 juta. “Sangat turun sekali,” ujarnya di kawasan Batam Center, Propinsi Kepri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun demikian, Indra mencoba terus bertahan. Beragam cara dilakoninya. Misalnya dengan menggelar promo besar-besaran melalui media sosial Instagram dan Facebook.
Harga jual kain batiknya juga didiskon gede-gedean. “Biasanya kita jual Rp 500 per helai kain, sekarang jadi Rp 350 ribu per helai kain,” kata pria asli Pekalongan itu.
Strategi pemasarannya itu sedikit membuahkan hasil. Terbukti, di sela wawancara bersama Tempo, ponsel Indra beberapa kali berdering. “Ini ada yang mau kasih DP,” katanya.
Tapi bukan berarti masa sulit di kala pandemi sudah terlewati. Sebab, usahanya juga masih terkendala aturan pajak. Masalah ini pun mendera tak sedikit UMKM di Batam, khususnya yang selama ini sering mengirim produknya ke luar daerah.
Aturan yang dimaksud Indra adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 199 Tahun 2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai dan Pajak Atas Impor Barang. Aturan yang berlaku 30 Januari 2020 itu menurunkan ambang batas barang impor toko dari US$ 75 menjadi US$ 3.
Artinya, barang yang dikirim keluar Kota Batam yang harganya lebih dari Rp 45 ribu (asumsi kurs Rp 15 ribu per dolar AS) harus dikenakan pajak sekitar 17 persen. Namun sebetulnya, barang yang dikenakan pajak itu adalah barang yang termasuk golongan eks impor. Namun pada pelaksanaannya, produk UMKM pun dikenai pajak yang sama.
Menurut Indra, aturan itu memberatkan konsumen sehingga membuatnya maju mundur dan akhirnya batal membeli kain batik dari Batam. “Itu masalahnya, kita sangat tercekik, konsumen berat di pajak, belum lagi ongkos kirim barang,” katanya.
Indra menjelaskan, selama ini bahan baku kain batik didapatkan dari Jawa. "Tentunya sudah dikenakan pajak sebelum dikirim ke Batam. Nah sekarang dikenakan pajak lagi," ucapnya. “Kecuali bahan baku kami berasal dari Singapura, ya tidak masalah dikenakan pajak."
Walhasil, kondisi itu membuat harga batik di Batam kalah saing dengan harga batik daerah lain. “Sehingga batik Batam termasuk lebih mahal daripada batik Jawa. Misalnya di Jawa harganya Rp 100 ribu, batik Batam Rp 150 ribu,” kata Indra.
Pengusaha lain yang mengeluhkan kebijakan itu adalah Dwi Eko Pramono. Ketua Al Ahmadi Entrepreneurship Center (AEC) Kota Batam ini mengaku harus mengeluarkan pajak yang tak sedikit, hanya untuk mengirim keripik pisang yang harganya Rp 60 ribu keluar dari Batam.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Kota Batam Rafki Rasyid menyatakan sebetulnya aturan itu bagus karena bertujuan untuk menahan laju impor barang. Jadi barang eks impor yang dijual ke luar Batam akan dikenai pajak penjualan.
Tapi dalam pelaksanaannya, kata Rafki, semua barang yang dijual ke luar Batam dikenakan pajak, termasuk produk UMKM. Sejumlah pertemuan dengan Bea Cukai Kota Batam sejak awal tahun lalu pun tak membawa hasil positif.
Bea Cukai Kota Batam hanya menyebutkan produk UMKM tidak dikenai pajak tapi sebelumnya harus terdaftar di Disperindag Kota Batam. Selain itu, perusahaan harus diusulkan oleh Disperindag untuk mendapatkan pengecualian pajak.
Sayangnya, tak semua UMKM tahu soal kewajiban pendaftaran ke Desperindag, apalagi mereka mempunyai keterbatasan biaya operasioanal. “Ini yang bermasalah, dalam prakteknya tentu tidak semua IKM terdaftar dan diusulkan oleh Disperindag ke Bea Cukai untuk dapat pengecualian tersebut,” kata Rafki.
Tak hanya itu, ketika proses pengiriman, perusahaan kurir juga tidak memiliki data apakah barang yang dikirim tersebut mendapat pengecualian pajak dari Bea dan Cukai atau tidak. “Sistem itu belum terintegrasi,” ujarnya.
Jika tak ada perbaikan dalam pelaksanaannya di lapangan, Rafki memperkirakan bakal lebih banyak UMKM yang dirugikan. UMKM akan sulit berkembang karena mendapat hambatan masuk ke wilayah lain di Indonesia.
Aturan itu, menurut Rafki, tidak akan sesuai lagi dengan tujuan awal yaitu melindungi produk lokal dari gempuran barang impor. “Ini kan sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan diberlakukannya PMK 199 tersebut,” kata Rafki.
Oleh karena itu, Apindo terus mengusulkan supaya PMK 199 tahun 2019 tersebut ditunda dulu pemberlakuannya di Batam sampai sistemnya benar benar sudah terintegrasi semua. Apalagi beleid tersebut juga diberlakukan ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi akibat Pandemi Covid-19. "Beban yang ditanggung UMKM di Batam bertambah, karena selain harus membayar pajak besar, juga harus beradaptasi dengan wabah ini,” kata dia.