Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Industri rokok rupanya masih menjadi andalan bagi pemasukan pajak pemerintah. Tahun anggaran lalu, industri rokok menyumbang cukai Rp 10,1 triliun atau sekitar enam persen dari pendapatan pemerintah. Angka itu adalah 90 persen dari seluruh pemasukan cukai ke kocek pemerintah. Maka, bisa dipahami jika pemerintah "sangat mendengar" setiap protes industri "anak emas" itu. Apalagi protes kerap dikirim langsung kepada presiden. Biasanya, tak lama kemudian pasti keluar kebijakan yang baru yang mengakomodasi protes mereka.
Kebijakan unifikasi cukai rokok adalah satu contohnya. Beleid ini diprotes pabrikan rokok putih karena dianggap pro-rokok kretek. Alasannya, dengan unifikasi cukai, produsen rokok putih harus menaikkan harga berlipat-lipat, jauh di atas biaya produksi. Harga "si putih" pun akan berada di atas "si kretek".
Pemerintah kemudian mengubahnya dengan memberikan waktu perpanjangan. Kebijakan baru ini ganti diprotes produsen rokok kretek. Pemerintah lagi-lagi manut dan mengubahnya. Terakhir kali, Menteri Keuangan menerbitkan keputusan nomor 89 tahun lalu. Dan ini pun dianggap tidak adil karena kenaikan rokok kretek hanya sepuluh persen, sementara rokok putih sampai 40 persen. Giliran produsen rokok putih memprotesnya. Bahkan, PT British American Tobacco Indonesia mengancam akan menutup salah satu pabriknya.
Cerita serupa terjadi atas peraturan pemerintah tentang pengamanan rokok bagi kesehatan. Aturan ini diprotes si kretek karena dinilai sebagai upaya si putih untuk menggusur mereka. Dalam aturan itu disebutkan produsen rokok kretek harus menurunkan kandungan tar yang sekarang rata-rata 60 miligram menjadi hanya 20 miligram dan kandungan nikotinnya menjadi 1,5 miligram. Sudah begitu, waktu penyesuaiannya pun mepet, yaitu dua tahun untuk produsen besar dan lima sampai sepuluh tahun untuk produsen kecil-menengah.
Kini giliran produsen kretek yang memprotes. Kebijakan ini dianggap akan menyebabkan banyak pabrik rokok kretek tutup. Sebab, untuk menurunkan kadar tar dan nikotin, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. "Untuk membeli mesinnya saja sekitar Rp 50 miliar," kata Ismanu Soemiran, Ketua Gabungan Perusahaan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri). Tentu saja si putih akan diuntungkan jika banyak pabrik kretek tutup.
Saat ini saja, si putih mulai merampas pasar si kretek. Produksi rokok putih tahun ini mungkin bisa sampai 18 persen dari total produksi rokok, sementara tahun lalu baru 13 persen, menurut data Direktur Humas PT Djarum Kudus, Soewarno Serad. Karena itu, aturan soal tar dan nikotin yang menyudutkan pasar si kretek itu diprotes. Hasilnya? Ya, pemerintah kembali manut: aturan itu diundurkan pemberlakuannya masing-masing tujuh dan sepuluh tahun lagi.
Kapan pertarungan antara produsen rokok putih dan kretek ini akan berakhir? Tak seorang pun bisa memperkirakannya. Padahal, pemerintah mestinya bisa mempertahankan kebijakannya tanpa harus tunduk pada keinginan produsen rokok. Dalam soal aturan tar dan nikotin, misalnya, pemerintah banyak mendapatkan dukungan dari masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengkhawatirkan menjangkitnya kebiasaan merokok di kalangan remaja. Di banyak negara, beleid seperti ini lumrah saja diberlakukan.
Lalu, mengapa di negeri ini sulit benar mengatur soal rokok? Jawaban utamanya: aparat pemerintah sendiri tidak punya satu sikap yang sama. Seorang pejabat Departemen Keuangan menyayangkan terbitnya aturan tar dan nikotin yang disiapkan Departemen Kesehatan. Alasan Pak Keuangan, kebijakan itu tidak dikonsultasikan dengan departemennya, yang artinya kalkulasi ekonomi belum dipertimbangkan. Sementara itu, Pak Kesehatan bilang, rakyat perlu diselamatkan dari bahaya rokok.
Ingin rakyat selamat dari rokok atau ingin fulus dari cukai rokok tak berhenti mengalir? Rupanya, pemerintah ingin dua-duanya.
M. Taufiqurohman, Bandelan Amarudin (Kudus), Adi Sutarwiyono (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo