Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Zaman Gesek Telah Kembali

Bank-bank giat berekspansi ke kredit retail dan konsumsi. Mereka bersaing memberi diskon bunga dan layanan kredit tanpa agunan. Tampaknya, ini sekadar siasat bisnis, sebelum ekonomi kembali pulih.

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang disebut kegiatan bisnis sebenarnya tak pernah seratus persen berhenti. Di tengah kecamuk perang sekalipun, aktivitas bisnis jalan terus. Maka, jangan heran bila sekarang, ketika Indonesia belum lepas dari jerat krisis, pasar mobil dan rumah tampak bergairah. Lihat saja, berbagai penawaran kredit mobil dan KPR berjejal di halaman iklan koran dan majalah.

Anda ingin membeli mobil tapi tak punya duit kontan? Jangan pesimistis. Ada penjualan mobil secara kredit dengan tawaran yang menggiurkan. Tengoklah Daihatsu Taruna. Mobil seharga Rp 93 juta hingga Rp 120 juta itu ditawarkan dengan bunga hanya 5 persen setahun. Urusan pembiayaan selanjutnya diserahkan PT Astra International Daihatsu selaku distributor kepada Astra Credit Company (ACC), perusahaan pembiayaan yang juga berada dalam satu grup.

Mitsubishi Kuda pun tak mau ketinggalan. Mobil keluarga yang menjadi saingan Kijang itu ditawarkan secara kredit dengan bunga 5,2 persen per tahun. Syaratnya, kata Stephanus—petugas pemasaran PT Batavia Bintang Berlian yang mengiklankan Kuda—pembeli membayar uang muka, ''Minimal 50 persen." Akan terasa ringan memang, bila calon pembeli mampu membayar uang muka yang jumlahnya sekitar Rp 50 juta. Sisanya lalu diangsur dengan bunga kredit yang lumayan rendah.

Nah, kalau lembaga pembiayaan atau dealer mobil saja berani mengobral kredit berbunga murah, apalagi bank. Tawaran yang mereka berikan niscaya lebih menggiurkan. Dari pemantauan TEMPO bisa diketahui, sekarang bank-bank, baik asing maupun lokal, tampaknya sedang berlomba mengucurkan kredit retail dan konsumsi. Agresi langsung ke pasar seperti ini juga terlihat dari lonjakan portofolio kredit retail mereka.

BCA, misalnya, tahun ini akan melakukan ekspansi kredit retail Rp 1,4 triliun. Adapun Bank Mandiri, menurut direktur utamanya, Eddy Neloe, menyiapkan dana Rp 6,3 triliun. Citibank menambah anggaran kredit retail-nya menjadi US$ 120 juta, yang setara dengan Rp 10,8 triliun. Sementara itu, BNI hanya mengalokasikan 60 persen porsi kreditnya untuk kredit retail. Hal yang sama diakui Standard Chartered Bank, yang menambah portofolio kredit konsumsi menjadi 20-30 persen dari total kreditnya.

Kredit eceran yang ditawarkan bank-bank itu tak lagi terbatas pada kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan kendaraan bermotor (KPM), dan kartu kredit saja. Mereka mengembangkan produk baru berupa pinjaman pribadi untuk para profesional. Iming-imingnya, calon nasabah tak perlu memberikan agunan. Mereka hanya perlu memenuhi sejumlah persyaratan untuk menjamin agar pinjamannya bisa kembali.

BCA, yang dalam waktu dekat akan meluncurkan kredit tanpa agunan bagi para profesional, misalnya, menetapkan kriteria layak nasabah. Antara lain calon nasabah harus memiliki penghasilan yang memenuhi plafon minimal. Dengan demikian, mereka membayar angsuran bulanan yang besarnya sepertiga dari penghasilan—penghasilan sendiri ataupun suami-istri. Mereka juga harus membayar uang muka 20 persen. Selain itu, calon debitor harus sudah bekerja minimal dua tahun di perusahaan masing-masing. Maklumlah, kata Joko Suseno, seorang staf BCA, ''Kami harus tetap memegang prinsip prudential banking."

Dengan produk tersebut, BCA menjadi pionir bank lokal dalam pemberian kredit tanpa agunan. Tapi dari kelompok bank asing, Standard Chartered Bank (Stanchart) sudah lebih memelopori. Saat ini bank Inggris itu memberikan kredit tanpa agunan dengan plafon pinjaman maksimal Rp 50 juta, berbunga 15,5 persen. Namun, terobosan Stanchart itu belum bisa mengalahkan Citibank. Untuk kredit retail, bank Amerika ini tampaknya memang belum ada tandingannya. Apalagi dalam hal kartu kredit. Saat ini Citibank masih menguasai 42 persen pangsa pasar kartu kredit di Indonesia. Jumlah itu setara dengan 900 ribu pemegang kartu.

Dan Citibank tidak berhenti sampai di situ. ''Kami berencana menjaring 20 ribu pemegang kartu baru tiap bulan," ujar Th. Wiryawan, Direktur Marketing Communications Global Consumer Banking Citibank. Mungkin, untuk mencapai target itu pula, bulan lalu Citibank meluncurkan produk barunya: Eazypay. Produk ini adalah kombinasi antara kartu kredit dan kredit konsumsi. Seperti kartu kredit lainnya, pemegang Eazypay bisa berbelanja aneka macam barang dan membeli paket perjalanan ke mancanegara.

Namun, berbeda dengan kartu kredit biasa, pembayaran tagihan Eazypay harus dilakukan dalam waktu yang sudah ditetapkan dengan bunga yang berbeda-beda. Pembayaran dalam waktu 3 bulan bisa dikenai bunga 2,5 persen, enam bulan, 2,4 persen, sedangkan 9 bulan bunganya 2,3 persen. Selebihnya, untuk 12 bulan dikenai bunga 1,95 persen, 18 bulan bunganya 2,6 persen, dan 24 bulan berbunga 2,7 persen. Dengan paket itu pemegang kartu tak perlu pusing-pusing lagi memikirkan pembayaran kreditnya. ''Anda cukup bilang, saya mau Eazypay 12 bulan," ujar Humas Citibank, Riko Abdurrahman, ''Maka, begitu kartu digesek, akan keluar berapa tagihan tiap bulan selama 12 bulan itu."

Nah, ABN-Amro rupanya tak mau ketinggalan. Tapi bank Belanda ini cukup cerdik. Ia tak mau berhadapan langsung dengan Stanchart, yang memberikan kredit tanpa agunan, atau Citibank, yang merajai kartu kredit. Cara yang ditempuhnya adalah penawaran refinancing dari pintu ke pintu. Seorang karyawati sebuah perusahaan menuturkan kepada TEMPO, bagaimana ia ditawari untuk mengalihkan utang kartu kreditnya dengan bunga cuma 1,95 persen per bulan. Padahal, bunga kartu kredit biasanya 3 hingga 3,75 persen sebulan.

Tapi, mengapa bank-bank begitu getol melakukan ekspansi kredit retail yang akhirnya bermuara dalam ''perang" diskon bunga? Jawabnya pendek saja: saat ini perbankan kesulitan menyalurkan pundi-pundinya yang tersumbat. Maklum, sektor riil yang biasanya kesana-kemari mencari kredit ternyata masih banyak yang belum siuman alias tidak aktif. Akibatnya, banyak bank yang sudah harus puas dengan bermain di SBI, obligasi, atau pasar uang. ''Daripada modalnya nongkrong tak ada gunanya," ujar ekonom Nomura Securities, Adrian Panggabean, ''lebih baik diputar saja."

Di negara yang terlanda krisis ekonomi, sektor konsumsi biasanya adalah sektor yang pertama bergerak. Buktinya, beberapa jenis kredit konsumsi di Indonesia saat ini memang sedang meledak. ''Contohnya mobil," ujar Direktur Bank Buana Pardy Kendi. Bank yang likuiditasnya menumpuk di brankas, kata Pardy, tentu tak mau ketinggalan memetik untung dari kecenderungan membeli mobil yang kini luas di masyarakat. Apalagi pilihan terhadap sektor retail dan konsumsi sendiri sejauh ini dipandang cukup aman. ''Risikonya rendah," ujar Kepala Riset SocGen Indonesia, Lin Che Wei.

Lagi pula, buat bank, keuntungan kredit retail tergolong lumayan. Jangan salah, kendati kelihatannya memberikan bunga murah, sering bunga itu adalah bunga flat, bukan bunga efektif. Sehingga, bila bank menyatakan memberi bunga flat 7 persen, secara efektif bunga itu harus dikali dua menjadi 14 persen. Nah, angka ini tentu masih lebih tinggi ketimbang bunga SBI yang 13,11 persen.

Namun, bulan madu kredit retail belakangan ini agak terganggu gara-gara menguatnya dolar. Dalam upaya menjaga agar rupiah tidak lebih terpuruk, Bank Indonesia perlahan-lahan mulai mengerek suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI). Diam-diam, tingkat bunga SBI kini sudah mencapai 13,11 persen. Akibatnya, keuntungan bank dari kredit retail makin tipis. Nah, kalau bunga SBI masih terus naik, bank-bank tentu tak leluasa lagi mengobral diskon kredit. Kalaupun ada, tentu diskonnya berkurang atau malah suku bunga kredit ikut terbawa naik. Namun, bagi mereka yang masih berminat, silakan mencari kredit mobil atau KPR, asalkan diteliti tingkat bunganya dan dipelajari benar syarat pengembaliannya.

Nugroho Dewanto, Rian Suryalibrata, Wenseslaut Manggut, Gita W. Laksmini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus