Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Utang Terus Membengkak

UTANG pemerintah Indonesia terus membengkak. Maret nanti, utang luar negeri pemerintah diperkirakan naik US$ 3,5 miliar menjadi US$ 71,9 miliar. Di samping punya utang luar negeri, pemerintah menanggung beban utang ke dalam negeri (utang rupiah) dalam bentuk obligasi. Tahun depan, jika semua bank peserta rekapitalisasi sudah dinjeksi modal, obligasi pemerintah diperkirakan mencapai Rp 500 triliun atau sekitar US$ 75 miliar.

Jika ditotal, jumlah utang pemerintah kini sebanding dengan produk domestik bruto (PDB), sebuah tingkat yang mengerikan.


Target Inflasi Meleset?

TARGET inflasi lima persen tak akan tercapai? Jajak pendapat Reuters atas perusahaan sekuritas asing menyimpulkan laju inflasi Indonesia tahun depan akan mencapai 7,2 persen. Sekretaris Dewan Ekonomi Nasional Sri Muljani Indrawati juga memperkirakan inflasi akan menanjak sampai sembilan persen. Lonjakan ini terutama disebabkan oleh dorongan biaya produksi (kenaikan bahan bakar dan energi) serta tarikan expected inflation. Yang terakhir itu disebabkan oleh kenaikan gaji pegawai negeri (10-15 persen) dan upah minimum regional (20 persen).

Setelah kestabilan harga selama setahun (inflasi di bawah dua persen), lonjakan harga-harga sampai sembilan persen akan terasa mengguncangkan.


Tagihan Interbank Cair Sebagian

BADAN Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) minta Bank Indonesia mulai membayar klaim pinjaman antarbank senilai Rp 935 miliar dan US$ 19,6 juta. Berdasarkan uji tuntas yang dilakukan Erns & Young, total pinjaman interbank dari bank-bank yang ditutup pemerintah mencapai Rp 15 triliun. Pinjaman itu kini menjadi tanggung jawab BPPN karena pemerintah menggaransi seluruh kewajiban bank. Tagihan yang sudah macet sembilan bulan ini harus segera dilunasi agar tak menggerogoti modal bank-bank yang memiliki piutang.


"Welcome," Kata Astra

MANAJEMEN Astra Internasional akhirnya mengizinkan BPPN melakukan uji tuntas setelah lembaga pemerintah itu mencatatkan 20 persen sahamnya kepada Badan Pengawas Pasar Modal. Tapi izin itu, mungkin, sudah terlambat. Dua calon pembeli Astra, yaitu Gilbert Global Equity Partners dan Newbridge Asia, telanjur ngambek. Mereka memutuskan untuk mempertimbangkan kembali rencananya membeli pabrik mobil terbesar Indonesia itu karena "adanya penolakan dari manajemen."

Penolakan seperti itu juga terjadi di Bank Bali. Karyawan dan manajemen Bank Bali bahu-membahu untuk menggusur Standard Chartered yang mau menguasai mayoritas saham bank papan atas itu. Tak tahan dengan "teror" karyawannya, bank internasional dari Inggris itu akhirnya membatalkan rencananya.

Karena itu, batal-tidaknya kongsi Newbridge-Gilbert akan menjadi ukuran bagi investor asing untuk memutuskan: apakah akan berinvestasi ke Indonesia atau tidak.


Permintaan Gas Naik

SEMBAWANG Corporation Industries, Singapura, akan meningkatkan pembelian gasnya dari Indonesia. Permintaan gas Singapura diperkirakan naik sampai lima persen dalam 5-10 tahun mendatang. Awal tahun ini, SembCorp Gas, anak perusahaan SembCorp Industries, meneken perjanjian pembelian gas dari proyek Natuna. Pengiriman pertama akan dilakukan tahun 2001. Namun, sampai saat ini, pembangunan pemipaan Natuna Barat-Singapura belum dimulai karena pemenang tender proyek itu, McDermott Indonesia milik Bob Hasan, dianggap terlibat kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme.


Saham Multipolar Diburu

GRUP Lippo akan membangun jasa layanan internet terbesar di Indonesia. Kepada harian The Business Times, Rabu lalu, Wakil Ketua Grup Lippo, James Riady, mengatakan Lippo sedang berunding dengan Hutchison Whampoa (Hong Kong) untuk mendirikan jasa layanan telekomunikasi, termasuk jaringan internet dan telepon seluler.

Untuk itu, Hutchison sudah bersiap untuk membeli 5-20 persen saham Lippo di Multipolar Corp. Menurut koran Singapura itu, konglomerasi Hong Kong ini juga mengincar 40 persen saham TBS, perusahaan jasa provider milik Multipolar, seharga US$ 200 juta. Selain Hutchison, lembaga keuangan Amerika Serikat Goldman Sachs International diketahui telah membeli 6,2 persen saham Multipolar, akhir November 1999.

Dengan pelbagai serbuan ini, harga saham Multipolar melonjak sangat tinggi, hampir 80 persen, dari Rp 450 menjadi Rp 800, dalam sepekan terakhir.


Restrukturisasi Utang

GARUDA Indonesia akan melakukan restrukturisasi utang senilai US$ 1,8 miliar. Pinjaman yang sedianya berjangka delapan tahun itu akan diperpanjang menjadi 10 sampai 15 tahun. Selain rekabangun utang puluhan triliun itu, Garuda menerima bantuan pemerintah yang mengubah pinjamannya menjadi penyertaan modal. Dengan pelbagai keringanan finansial ini, Garuda menargetkan keuntungan US$ 34 juta tahun ini. Selain itu, perusahaan penerbangan terbesar Indonesia ini akan menawarkan saham kepada publik tahun 2003.

Selain Garuda, penghasil serat rayon terbesar Indonesia, PT Inti Indorayon Utama, mengaku telah mencapai kesepakatan rekabangun utang US$ 400 juta dengan para kreditur. Menurut manajemen Indorayon, restrukturisasi pinjaman ini meliputi utang bank dan obligasi. Menurut persetujuan awal itu, kreditur akan mengganti seluruh utang Indorayon, baik pokok maupun bunganya, dengan dua surat utang yang jatuh tempo pada 2003 dan 2006. Perjanjian itu disertai catatan: pemegang saham pengendali Indorayon menyatakan sanggup menyuntikkan modal kerja guna memutar kembali kilang rayon dan bubur kertas yang selama ini menganggur.


Perkawinan Danamon-PDFCI

PEMERINTAH akhirnya menyetujui rencana merger Bank Danamon dengan Bank PDFCI. Dua bank swasta yang diambil oper pemerintah itu akan dikawinkan 30 Desember mendatang. Kedua bank akan melebur ke dalam bank baru, dengan komposisi kepemilikan saham 82,7 persen akan dikuasai Bank Danamon dan sisanya untuk PDFCI.

Pemerintah juga berencana mengawinkan bank-bank papan tengah yang kini ada dalam penanganan BPPN. Mereka adalah Bank Tiara Asia, Bank Tamara, Bank Jaya, Bank Nusa Nasional, Bank Duta, dan Bank Rama.


Kredit Ekspor Bank Mandiri

BANK Mandiri menyiapkan dana Rp 8 triliun untuk memberikan kredit kepada perusahaan yang berorientasi ekspor. Presiden Direktur Bank Mandiri Robby Djohan menyatakan, jika Mandiri bisa menjual 10 persen obligasi pemerintah yang dimilikinya, sesuai dengan jadwal, kredit ekspor itu sudah bisa dicairkan Januari mendatang.

Saat ini Bank Mandiri telah menerima injeksi obligasi pemerintah sebesar Rp 103 triliun. Sekitar Rp 77 triliun lagi masih akan disuntikkan pemerintah akhir tahun nanti. Dengan kedua obligasi itu, Robby memperkirakan Bank Mandiri akan mendapatkan Rp 1,95 triliun dana segar setiap bulan. Dana ini akan sangat membantu kesehatan Bank Mandiri, yang kini kembang-kempis dihantam negative spread.

Robby mengakui, gara-gara hantaman selisih bunga negatif itu, Bank Mandiri merugi sekitar Rp 2 triliun setiap bulan. Sejak didirikan (Agustus lalu) hingga Desember ini, kerugian Bank Mandiri akibat selisih bunga negatif diperkirakan mencapai Rp 9-10 triliun. Kesehatan Bank Mandiri makin parah karena pemerintah terlambat menginjeksi modal. Rekapitalisasi Bank Mandiri baru dilakukan pada Oktober, dua setengah bulan lebih lambat dari jadwal.

Untuk menghemat ongkos, Bank Mandiri akan mengurangi pegawainya dari 19 ribu menjadi cuma 14 ribu orang. Selain itu, Bank Mandiri akan menutup sekitar 200 cabangnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum