Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI kios koran di dekat Gerbang Ali-Kapu, antara Masjid-I-Syaikh-Luftullah dan taman raja, anak-anak muda berkerumun. Mereka dengan tekun membaca surat kabar yang terpapar untuk dijual. Sesuatu sedang terjadi. Ini akhir 1999. Percaturan ide dan kekuasaan merundung Iran di tiap zaman, tapi yang sedang berlangsungjuga di Kota Esfahanadalah sesuatu yang istimewa.
Hari-hari ini ada Quran di satu pihak, dan seperti berbenturan, ada koran di lain pihak. Quran: sebuah ekspresi tentang hal yang kekal. Koran: dokumen manusia tentang waktu dan kebaruan, tentang hari dan perubahan.
Dalam benturan ini, wajah Esfahan seakan-akan sebuah ilustrasi bagaimana justru yang tua, lambang keabadian, tak mudah dikalahkan oleh yang baru. Misalnya marmar biru yang termasyhur di kubah Masjid-I-Syaikh-Luftullah itu. Misalnya suatu kepiawaian arsitektural tak jauh dari situ: masjid yang dulu dikenal sebagai Masjid-I-Shah yang tegak sejak abad ke-16.
Tapi Esfahan, seperti umumnya kota lama Iran, juga saksi sesuatu yang lain: sejarah kekuasaan yang berganti-ganti. Tak ada yang tegak selama-lamanya, juga mereka, orang Seljuk ataupun Afghan, yang menggunakan kekekalan Quran sebagai sandaran. Kini Esfahan punya kios surat kabar. Di akhir abad ke-20 ini yang tak kekal, yang berubah dan gelisah, mendapatkan kekuatannya dalam beberapa lembar kertas itu: koran. Itulah yang dibaca anak-anak muda. Itulah yang membuat berang para ulama yang berkuasa. Mereka membredel empat surat kabar, antara lain Salam dan Neshat. Sebuah undang-undang pers yang mengekang sedang disiapkan. Ketika mahasiswa turun ke jalan memprotes, dan kerusuhan terjadi, empat pemuda dijatuhi hukuman mati. Beberapa penulis dihukum.
Tapi ada ratusan penerbitan di Iran yang kian laris diikuti khalayak. Menurut catatan Chirstopher de Bellaigue, yang menulis tinjauan atas empat buah buku tentang Iran dalam The New York Review of Books 16 Desember 1999, sirkulasi semua surat kabar di Iran kini 2.750.000, dua kali dari angka dua tahun yang lalu. Koran jadi menarik perhatian, sebab di sanalah berbicara mereka yang menghendaki reformasi pemikiran dan kekuasaan di republik Islam itu. Koran jadi penting, karena suara proreformasi juga suara Presiden Khatami yang dipilih rakyat dengan kemenangan besar. Iran memang ganjil. Sang presiden kini terkadang seperti pemimpin oposisi. Ia berhadapan dengan ulama yang berkuasa di badan legislatif dan yudikatif, yang melihat reformasi sebagai usaha "liberal", "nasionalis", "sosialis", "sekularis".
Tapi kaum reformis tak gampang dianggap "tak Islami". Penerbit Salam yang diberangus itu, misalnya, Mohammad Musavi Khoeniha, adalah seorang ulama. Tokoh utama kaum reformis adalah Ayatullah Mohajerani, yang berada dalam posisi strategis, sebab ia menteri urusan kebudayaan. Mohajerani membiarkan ratusan koran baru terbit. Ia tak melarang produksi album lagu-lagu pop Persia. Ia mengizinkan film Dua Perempuanyang menggambarkan nasib buruk wanita yang terimpit perkawinan tradisionalberedar, setelah empat tahun menunggu.
Mohajerani mempertahankan "liberalisasi" itu justru dengan sebuah pidato di Parlemen, Mei yang lalu. "Kenapa Quran memuat juga kritik paling keras terhadap Nabi?" ia bertanya, dan ia menjawab, "Bukan sifat Nabi untuk membungkam diskusi antara pandangan yang bertentangan."
Para penentang reformasi tentu saja mengatakan bahwa pandangan bisa "bertentangan", tapi toh harus ada parameter yang membatasi. Akan dibiarkankah sebuah lakon kampus yang dianggap mencemooh Imam ke-12, yang bagi kaum Syiah sangat suci itu? Ijtihad "dinamis" boleh, tapi Islam bukanlah anarki.
Tapi anarki atau bukan anarki, soalnya adalah kekuasaan yang berhak menggariskan parameter. Dari mana kekuasaan itu datang? Ayatullah Khomeini sendiri tak sama dengan Quran. Setidaknya karena ia bisa salah dan bisa meninggal. Ayatullah Khamenei mewarisi posisinya sebagai vali-e-faqih, sang Pemimpin Luhur. Tapi Khamenei bukan Khomeini. Seorang Khomeini datang dalam sebuah momentum historis yang tak mungkin diulang, tak mungkin dirutinkan. Khamenei, sebaliknya, adalah hasil rutinisasi wibawa. Ia dipilih oleh majelis pakar dari calon yang telah diseleksi Dewan Para Wali. Ia adalah karisma yang hendak dijadikan institusi. Haruskah ia seperti Sri Paus? Dianggap tak bisa salah?
Tidak, jawab seorang ulama pemilik koran Khurdad, Abdullah Nouri. Islam tak punya lembaga kependetaan. Tiap manusia bertanggung jawab sendiri di depan Tuhan dan sebab itu ia bebas tapi juga bisa bersalah. Juga sang pejabat vali-e-faqih. Ia harus tak diistimewakan di depan hukum.
Menarik bahwa Nouri dihukum karena pendirian seperti itu. Tetapi soalnya tetap: otoritas telah jadi problematis. Quran "bertabrakan" dengan koran karena Quran sebagai ditafsirkan para ulama penentang perubahan berbeda dengan Quran sebagai diinterpretasikan oleh Mohajerani.
Lalu di mana gerangan Quran itu sendiri? Adakah Quran an sich yang hadir di luar tafsir? Di mana Quran yang tanpa pembaca yang tak kekal, berubah, seperti koran? Barangkali orang akan terus berlari, mencari, juga jika ia dapat hidup 1.000 tahun lagi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo