Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bos Gapki Ungkap Industri Sawit Tengah Merosot: Jumlah Ekspor Naik tapi Nilainya Turun

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Eddy Martono mengungkapkan industri kelapa sawit Indonesia sedang memburuk.

24 Agustus 2023 | 08.48 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Eddy Martono dalam diskusi Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Sawit dan Kawasan Hutan di Bandung Barat, Rabu, 23 Agustus 2023. TEMPO/Riani Sanusi Putri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengungkapkan industri kelapa sawit Indonesia sedang memburuk. Dia berujar nilai ekspor Indonesia kini menurun dibandingkan pada periode yang sama tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sekarang kondisinya kurang bagus, ekspor sawit indonesia naik tetapi secara angka nilai itu turun," kata dia dalam diskusi di kawasan Bandung Barat, Rabu, 23 Agustus 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Musababnya, tutur Eddy, harga minyak nabati dunia sedang turun. Dia pun menyayangkan Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia tak mampu menjadi penentu harga komoditas ini. 

Berdasarkan catatan Gapki, ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya pada periode Januari hingga Juni 2023 sebesar US$ 14,6 juta. Angka ini anjlok jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu, yaitu US$ 17,63 juta. Padahal total ekspor tahun ini meningkat dari 12,040 pada periode yang sama 2022 menjadi US$ 16,313 pada 2023.

Lebih jauh Eddy menjelaskan sawit hanya memiliki pangsa pasar sebesar 33 persen, lalu sisanya ada minyak nabati lain. Sementara itu, menurutnya, sawit tidak bisa berdiri sendiri. Sehingga apabila terjadi sesuatu pada minyak nabati lain, maka akan berpengaruh ke harga minyak sawit.

Misalnya saat awal perang antara Rusia-Ukraina tahun laly, tutur Eddy, pasar panik karena biji bunga matahari tidak bisa keluar baik dari Rusia maupun Ukraina. Alhasil harga melonjak tajam. Namun untuk menghindari kelangkaan di dalam negeri, pemerintah Indonesia membuat kebijakan pelarangan ekspor sawit. 

Saat itu produksi sawit yang sedang bagus akhirnya dihentikan total. Imbasnya, tangki minyak sawit atau crude palm oil (CPO) tak bisa menampung pasokan yang masuk. Tandan buah segar (TBS) petani juga tidak tertampung dan banyak yang membusuk di pohon. 

Menurut Eddy, kebijakan larangan ekspor CPO tahun lalu itu juga menjadi biang kerok jatuhnya harga sawit Indonesia. Sebab, kata dia, pasar internasional mengetahui bahwa langkah itu pasti membuat stok CPO di Indonesia melimpah sehingga menunda pembelian hingga harganya turun.

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus